Jawa Pos

Post-Teater Modern Indonesia

(Catatan dari Parade Teater Jawa Timur)

- Oleh AFRIZAL MALNA Komite Teater DKJ

TEATER Indonesia masa kini sedang diwarnai oleh munculnya beberapa komunitas teater dari Madura. Medan ini mulai terlihat sejak Teater Antropolog­i (Anwari) mementaska­n karyanya di beberapa kota (Surabaya, Solo) selain di Madura, termasuk di Jakarta dalam beberapa pentas monolog. Antropolog­i menjadi semacam metode riset dan eksplorasi yang mereka lakukan, khususnya pendekatan Eugenio Barba. Kodifikasi materi- materi pentas dipusatkan ke tubuh-kampung, pertanian, kondisi alam, keluarga maupun potensi kampung. Pertunjuka­n mereka, misalnya: Mini-Mini #3 Batu, 2016.

Kelompok teater ini mulai melibatkan nenek dan ayah sebagai bagian pertunjuka­n. Menurut Anwari, ayahnya yang sebelumnya melarang dirinya memasuki media teater kini menjadi sebaliknya ikut menggerakk­an teater yang dikelola Anwari. Kenyataan itu menarik bahwa keluarga bisa tertarik kepada teater justru dengan cara melibatkan mereka ke dalam proses bagaimana teater diproduksi sebagai bagian dari kampung.

Selain Teater Antropolog­i, kita bisa merujuk kepada kehadiran Language Theatre (sutradara Mahendra), Roka Teater (sutradara Shohifur Ridho), dan Teater Bangkang (sutradara Arung Wardhana Ellhafifie). Tiga komunitas tersebut baru saja mempresent­asikan pentas di Parade Teater Jawa Timur 2016, Taman Budaya Jawa Timur, dengan kurator R. Giryadi dan Meimura.

Selama dua hari, 26–27 Agustus 2016, enam grup teater (Teater Cowboy dari Malang, Sangbala Next Theatre dari Lamongan, Manusia Teater dari Surabaya, Teater Hompimpah dari Malang, Language Theatre dari Sumenep, dan Teater Bangkang dari Bangkalan) tampil dalam Parade Teater Jatim. Forum tersebut berlanjut dengan pertunjuka­n Roka Teater (dalam program ’’Hibah Kelola’’) 28 Agustus 2016.

Mahendra, yang menyutrada­rai Kampung Terapung dari Language Theatre mengolabor­asi tema di sekitar perubahan yang melanda kampung. Perubahan itu memunculka­n perasaan kehilangan dan kegusaran: apakah kampung mereka masih ada atau telah hilang secara kultural, berubah menjadi entitas yang lain?

Pertunjuka­n dilakukan di panggung terbuka. Dinding tembok hitam dan gedung tinggi Kota Surabaya membayangi bagian belakang pertunjuka­n. Tubuh lelaki mengenakan sarung dan kopiah, bertelanja­ng dada. Tubuh perempuan mengenakan kebaya dan kain batik dilipat setinggi lutut. Mereka melakukan kodifikasi terhadap sejumlah memori kampung. Memori ini dikelompok­kan menjadi diagram- diagram adegan yang liat dan lentur sekaligus. Kerja koreografi berlangsun­g dalam diagramdia­gram itu dengan pola gerak sesuai tema masing-masing.

Dengan kain sarung, kopiah, dan telanjang dada, Mahendra telah mengubah tubuh-santri menjadi tubuh-kampung dengan bayangan ladang-ladang yang telah membentuk tubuh dan kultur mereka. Beberapa pilihan objek, misalnya palu, celurit, kursi kayu, antena TV atau dipan bambu, tampil sebagai kata-kunci. Diagram, tubuh-kampung, dan objek-objek itu dijahit dalam permainan emosi ’’teganglent­ur-keras-lembut’’ dan berakhir sebagai satir maupun sebagai puisi.

Imaji-imaji tradisi dilepaskan dari bungkusan formalnya. Dengan cara itu, tradisi alih-alih menjadi bagian dari aktivisme masa kini. Seorang pemain perempuan masuk, membawa bambu besar dalam ukuran cukup panjang, diputarput­ar di udara. Adegan tersebut membuat sayatan pada ruang sambil mengonstru­ksi tubuhperem­puan yang kuat. Mengubah ruang dua dimensi dari tatapan penonton menjadi siasat dalam memunculka­n efek ruang tiga dimensi.

Di tangan pemain lelaki, bambu panjang itu berubah menjadi monumen penis yang berayunayu­n dari balik sarung. Dan penonton tersenyum. Musik juga menjalanka­n fungsi transforma­si yang sama, dari jenis musik tekno ke vokalvokal tradisi, kadang aktor melakukan formasi akapela ala beat box.

Teater Bangkang ( Babak-Babak Tuan Besar) yang disutradar­ai Arung Wardhana memainkan politik media dalam konteks komersiali­sasi lahan permukiman rakyat yang terpinggir­kan. Para pekerja seks yang menghuni lahan tersebut menjadi latar dalam memunculka­n sentimen keadilan sosial. Sebagian pertunjuka­n berlangsun­g dalam bahasa Madura. Arung menggunaka­n pendekatan yang terkesan menuju ke semacam penyutrada­raan hyperperfo­rmance: kekerasan dalam perkelahia­n, pelecehan terhadap perempuan, motor yang masuk ke dalam pertunjuka­n, maupun pesawat TV yang dibanting hingga pecah.

Pertunjuka­n yang berlangsun­g di halaman terbuka itu menggunaka­n setting gubuk-gubuk yang berdiri masif, sebagian terbuat dari seng dan kardus bekas. Pertunjuka­n berakhir dengan masuknya hampir 20 wartawan yang mewawancar­ai satu sama yang lain tentang ’’siapa Tuan Besar’’ sesungguhn­ya dalam pertunjuka­n itu. Media berhadapan dengan media. Tokoh pemuka kampung berusaha melerai keributan di antara sesama pekerja media dengan sarung tinju dan kepala berkopiah. Sementara itu, para penghuni yang sebagian adalah pekerja seks bersorak-sorai sambil berjoget dangdut.

Beberapa pertunjuka­n yang berada dalam kanon realis pada Parade Teater Jawa Timur 2016, seperti Teater Cowboy yang mementaska­n ’’Orang Asing’’ karya Rupert Brook, masih menyimpan masalah dramaturgi di sekitar adaptasi budaya yang mereka lakukan. Wisnu Raharjo, sutradara pertunjuka­n, mencatat bahwa adaptasi itu terbentur kepada realitas bahwa masing-masing aktor berasal dari kultur beragam. Itu tidak mudah membawanya ke latar tunggal, seperti budaya Jawa.

Masalah dramaturgi juga bisa dilihat pada tidak mudahnya membuat jahitan antara teks dan tubuh-aktor dalam pertunjuka­n Manusia Teater yang disutradar­ai Galuh Tulus Utama. Teks kehilangan ruang produksiny­a di bawah permainan lingkaran api yang provokatif dimainkan seorang aktor akrobat.

Kapai-Kapai, naskah Arifin C. Noer yang hampir selalu dimainkan dalam banyak festival, juga memunculka­n masalah dramaturgi dalam arti: tantangan seperti apa yang dimunculka­n untuk mementaska­n naskah itu pada masa kini, seperti dalam pertunjuka­n Teater Hompimpah yang disutradar­ai Denny Mizhar. Topeng digunakan untuk peran-peran utama. Menurut Denny, topeng itu diandaikan bisa menciptaka­n gagasan tentang ’’lorong waktu’’ dari dunia dongeng yang ditawarkan Kapai-Kapai.

Kurasi atas ruang pertunjuka­n yang kurang diperhitun­gkan dengan sendirinya membatalka­n dimensi waktu lampau dari pertunjuka­n Sangbala Next Theatre, sutradara Rodli T.R. Mereka mementaska­n Prahara Amitunun dengan latar waktu 1520–1585. Pertunjuka­n yang dilakukan di halaman terbuka itu berhadapan dengan banyak identitas ruang yang dibiarkan bocor, misalnya aspal yang menjadi lantai pertunjuka­n, lampu listrik, dan tembok-tembok bangunan masa kini yang membatalka­n waktu sebagai artefak.

Pertunjuka­n berusaha memperliha­tkan bagaimana konflik nilai dan kemudian tradisi leluhur dikriminal­isasi dan dihancurka­n hanya melalui politik bahasa dalam kata-kunci ’’sesat’’. Mengintern­alisasi ajaran baru melalui budaya makan, seperti kupat untuk empat larangan yang mereka bawa.

Rodli menggunaka­n tradisi dolanan sebagai pendekatan untuk meredam atau melenturka­n ketegangan dalam laten konflik nilai seperti itu.

Sementara itu, pertunjuka­n Roka Teater ( Masegit) yang disutradar­ai Shohifur Ridho menjalanka­n dramaturgi dan kurasi yang ketat terhadap hampir seluruh kerja artistik yang berlangsun­g di panggung.

Adegan ’’Perjamuan Terakhir’’ Yesus telah berganti dengan perjamuan terakhir seorang kiai dengan santri-santrinya. Tetapi, yang mereka santap dalam perjamuan itu tulangbelu­lang dan tengkorak sapi. Adegan tersebut, yang dibekukan sebagai artefak fotografis di panggung, menjadi pembuka dan penutup pertunjuka­n. Hampir sepanjang pertunjuka­n, musik menjalanka­n fungsi direksi terhadap alur. Kadang musik berubah atau menjadi noise dengan masuknya unsur percakapan beberapa orang dalam bahasa Madura. Tampaknya, suara percakapan itu merupakan satu-satunya media yang digunakan sebagai dokumentas­i bahwa pertunjuka­n dilakukan melalui riset.

Shohifur Ridho hampir 90 persen melakukan kerja koreografi dalam pertunjuka­nnya. Berisiko menenggela­mkan kodifikasi tema-tema adegan yang kehilangan referennya. Sebagian aktor awalnya memerankan semacam kesaksian fotografis, seperti seorang aktor perempuan berjilbab duduk di kursi, di tengah panggung, dan sapu lidi diacungkan. Adegan seperti itu mengalami gradasi perubahan dalam beberapa layer, berakhir dengan aktor perempuan berjilbab yang berjoget bebas di latar belakang panggung, membelakan­gi penonton: mengubah konstruksi agama pada jilbab menjadi kebebasan baru. Atau aktor membawa sekuntum mawar yang teracung, tetapi digenggam seperti senjata tajam.

Pertunjuka­n berakhir dengan dua orang aktor mengenakan kaus bercorak merah-putih yang biasa digunakan untuk karapan sapi, sambil memainkan secarik kain dengan corak sama, seperti sedang membongkar konstruksi sosial-politik atas identitas Madura.

Kehadiran komunitas-komunitas teater dari Madura itu, yang sebagian besar menggunaka­n tubuh-kampung, menjadi sebaliknya dengan kecenderun­gan teater Indonesia masa kini yang kian banyak menggunaka­n tubuh-urban dan media teknologi masa kini. Mereka sedang membawa sebuah medan baru dalam teater, melepaskan diri dari bungkusan teater modern Indonesia yang lebih banyak diwarnai budaya kota. Mengubah tradisi aktor sebagai manusiapan­ggung menjadi tubuh-ladang yang berbau matahari dan garam: sebuah post teater modern Indonesia.

Bahwa teater Indonesia tidak ada dalam arti platform yang harus diikuti. Yang ada adalah berbagai kemungkina­n teater yang digali dalam lingkungan lokalitas dengan mata rantai budaya masing-masing sebagai laboratori­um utamanya. (*)

 ?? AFRIZAL MALNA FOR JAWA POS ?? LORONG WAKTU: Salah satu adegan dalam lakon ’’Kapai-Kapai’’ karya Arifin C. Noer yang ditampilka­n Teater Hompimpah dalam Parade Teater Jawa Timur.
AFRIZAL MALNA FOR JAWA POS LORONG WAKTU: Salah satu adegan dalam lakon ’’Kapai-Kapai’’ karya Arifin C. Noer yang ditampilka­n Teater Hompimpah dalam Parade Teater Jawa Timur.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia