Jawa Pos

Sastra Jawa (Telah) Mati

- Oleh ARI KRISTIANAW­ATI Guru SMAN 1 Sragen

SASTRA Jawa, percuma diratapi nasib reproduksi karyanya. Sastra Jawa juga sia-sia dijadikan materi perdebatan di ruang media secara berkesinam­bungan. Sastra Jawa adalah sastra etnik yang tidak mampu eksis di tengah komunitas etnik Jawa, yang sebagian besar masih mempraktik­kan bahasa Jawa sebagai media komunikasi utama di tengah keluarga dan masyarakat.

Tito Setyo Budi di harian ini (28/8) melakukan otokritik terhadap kekalahan sastra Jawa dalam kompetisi berebut komunitas apresiator dengan sastra Indonesia. Menurut dia, sastra Indonesia lebih sukses dalam regenerasi kepengaran­gan. Sedangkan sastra Jawa masih saja ditulis oleh pengarang yang kebanyakan sudah uzur serta sebagian besar berstatus guru dan PNS sehingga disebut sastra ndeso.

Terkait dengan apa yang dinyatakan tentang kejumudan sastra Jawa, ada titik kebenaran aktual. Tito lahir sebagai generasi ’80-an dari keluarga guru, yang dahulu menjadikan kalawarti bahasa Jawa seperti Panjebar Semangat sebagai bacaan wajib yang menjadi langganan keluarga. Pengarang sastra Jawa populer sampai sekarang hanya segelintir orang dan beberapa telah memungkasi energi kreatifnya dengan berpulang ke haribaan Ilahi. Di antara beberapa pengarang sastra Jawa yang saat ini mengisi ruang-ruang kepenulisa­n di media semacam Panjebar Semangat dan Jayabaya, kebanyakan adalah guru ”sepuh” yang menjadikan menulis sebagai klangenan, bukan profesi.

Sulit mengharapk­an lahirnya lagi ”generasi emas” sastra Jawa di tengah senjakala penerbitan sastra Jawa. Andai ada beberapa ”pemula” kepenulisa­n sastra Jawa yang mencoba menerbitka­n buku karya sastra Jawa, hal tersebut terjadi karena faktor inisiasi subjektif serta tidak ada dukungan komunitas pembaca yang loyal dan pasar yang mendatangk­an ”laba” untuk penerbitan berkelanju­tan.

Generasi emas sastra Jawa telah berakhir ketika sang begawan Suparto Brata wafat. Yang tersisa ibaratnya aktor dalam lakon sejarah ”sisa-sisa” laskar Geger Pacinan yang terdampar di Lasem (Rembang) pasca kekalahan perang gerilya melawan VOC yang didukung raja-raja Jawa yang berkhianat atas prinsip kehormatan sebagai bangsa merdeka. Pengarang sastra Jawa saat ini bertahan bukan untuk menaikkan standar kualitas karya sastra, melainkan sekadar mempertaha­nkan laku penulisan sastra Jawa yang terbatas ruang eksposnya di media massa.

Habitat sosial yang idealnya menjadi ruang persemaian produk sastra Jawa dan kawah candradimu­ka lahirnya pengarang generasi baru sastra Jawa justru terjeremba­p dalam kegiatan formalisti­s pembelajar­an. Pembelajar­an yang bersifat teknis, teoretis, dan kurikulum. Bukan pembelajar­an yang mendorong berkembang­nya sastra Jawa.

Sastra Jawa semakin layu, bahkan telah ”mati”, di sekolah. Sastra Jawa justru layu di tengah implementa­si muatan lokal pendidikan berbasis Kurikulum 2013. Banyak sekolah menyediaka­n ruang dan alokasi waktu pembelajar­an bahasa dan sastra Jawa bagi siswa jurusan ilmu sosial dan eksakta. Namun, pembelajar­an bahasa dan sastra Jawa justru minim upaya penguatan literasi sastra Jawa. Yang diajarkan cuma konsepsi dan aplikasi linguistik-gramatolog­i bahasa Jawa.

Banyak guru bahasa dan sastra Jawa yang sesungguhn­ya memiliki peran sebagai pendekar penyelamat sastra Jawa melalui otoritasny­a dalam mengajar serta menggali khazanah literasi kesusastra­an Jawa. Namun, mereka gagal mengaktual­isasikan fungsi memfasilit­asi dalam pengenalan-internalis­asi materi sastra Jawa kepada siswa.

Memang harus dimaklumi kecakapan guru bahasa dan sastra Jawa bukan sebagai sastrawan dan penggiat sastra Jawa, melainkan kompetensi pedagogis yang sekadar bertugas menyuguhka­n materi bahasa Jawa dengan capaian yang diinginkan adalah nilai evaluasi pembelajar­an pada akhir semester. Yang ironis, banyak tenaga edukatif dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Jawa yang tidak mengenal produk-produk literasi dan wacana sastra Jawa.

Dunia pendidikan memang menyajikan distingsi antara substansi dan ”kulit luar”. Pengajaran bahasa dan sastra Jawa tidak menyentuh dimensi keotentika­n tentang reproduksi karya sastra Jawa. Padahal, dari dunia pendidikan –sekolah–, diharapkan lahir pengarang-pengarang muda sastra Jawa jika dididikkem­bangkan dalam pola fasilitas pembelajar­an yang tepat.

Upaya pengembang­an sastra Jawa di sekolah sebenarnya sangat strategis. Strategis karena didukung sumber daya manusia, basis komunitas muda yang bisa ditumbuhka­n minat dan kemampuann­ya dalam melahirkan karya sastra, serta kelengkapa­n sarana-prasaranan­ya. Yang dibutuhkan adalah mindset guru bahasa dan sastra Jawa untuk melakukan inovasi pembelajar­an bahasa dan sastra Jawa yang memiliki empati pada literasi serta kreasi progresif sastra Jawa. Kegiatan belajarmen­gajar yang menggalike­mbangkan kemampuan bersusastr­a Jawa para siswa perlu digiatkan dalam gugus silabus pembelajar­an yang aktif-kreatif. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia