Dari Isolasi ke Globalisasi
Kekuatan utama buku ini terletak pada gagasan bahwa orang Toraja adalah aktor perubahan sosial di tanah mereka sendiri. Mereka tidaklah berada pada posisi yang inferior sebagaimana banyak dipahami orang.
MENDENGAR kata ”Toraja”, umumnya bayangan yang muncul ialah kopi, tongkonan, dan perayaan kematian. Pandangan tersebut sangat simplistik.
Penulis buku ini, Terance W. Bigalke, ketika kali pertama berkata kepada seorang sarjana sosial Bugis bahwa akan menulis sejarah Toraja, dia mendapat jawaban, ”Oh, apakah mereka memilikinya?”
Ketidaktahuan di atas tecermin secara akademik dan populer. Secara akademik, sejumlah studi komprehensif tentang Toraja lebih banyak mengupas segi antropologis seperti perayaan kematiannya (Budiman, 2013), kehidupan sosial-religiusnya (Nooy-Palm, 1979), dan sistem kekeluargaan serta relasi sosial masyarakatnya (Waterson, 2009; de Jong, 2013).
Pandangan populer terbentuk oleh banyaknya representasi Toraja yang difokuskan pada Toraja sebagai destinasi wisata. Akibatnya, kita tidak memahami arti penting berbagai kekuatan yang mengubah Toraja selama satu abad terakhir.
Yaitu, ketika Toraja mengalami transformasi paling drastis dalam sejarahnya. Tanpa pemahaman sejarah itu, kita cenderung melestarikan generalisasi bahkan stereotipe tentang Toraja.
Buku ini merupakan upaya luar biasa dalam mengulas sebuah masyarakat yang terlupakan. Kekuatan utama buku ini terletak pada gagasan bahwa orang Toraja adalah aktor perubahan sosial di tanah mereka sendiri. Mereka tidaklah berada pada posisi yang inferior sebagaimana banyak dipahami orang. Bahan yang dipakai membentang dari jurnal misi Kristen Alle den Volcke, laporan pejabat Belanda, hingga wawancara.
Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian, yang dengan tepat menggambarkan perkembangan Toraja seabad terakhir. Pertama, Toraja di dunia Sulawesi Selatan (Sulsel). Kedua, Belanda di dunia Toraja. Ketiga, Tana Toraja di dunia Indonesia.
Di bagian pertama, penulis mengupas istilah ” Toraja”. Awalnya, Toraja relatif terisolasi di dataran tinggi Sa’dan. Sebelum abad ke-20, belum ada ”Toraja” karena penduduk di sana mengidentifikasi diri dengan nama desa masing-masing.
Belanda-lah yang menguatkan konsep ketorajaan melalui ”batas wilayah, pajak, dan sekolah” (hlm. 7). Selain itu, penulis mengemukakan tiga aspek paling penting yang dengan cepat mengubah Toraja di abad ke-19: kopi, budak, dan senjata.
K Kopi, ditanam di sana sejak abad-17, menghubungkan Toraja dengan pesisir Sulsel dan pasar komoditas dunia. Ekonomi pasar memicu timbulnya perjudian, dengan perbudakan sebagai salah satu risiko bagi yang kalah. Senjata api dari Eropa dipakai secara simbolis untuk menunjukkan kekuatan guna mendominasi perdagangan serta untuk dibarter dengan kopi.
Di bagian kedua diungkap tentang peran sentral Belanda pada 1905– 1941 yang meng ubah Toraja untuk seterusnya. Masuknya Belanda adalah awal munculnya ide tentang ” Toraja” karena mereka mencoba menyatukan Toraja secara administratif demi konsolidasi kekuasaannya.
Belanda mengubah prinsip organisasi Toraja dari genealogi menjadi teritorial. Tak berapa lama, kota pun, dengan segala fasilitas modernnya, muncul di Toraja, menggantikan fungsi desa. Misi Kristen bekerja pula mengonversi orang Toraja, terutama dengan pendekatan etnografi dan pendidikan.
Efek lain ialah munculnya ”nasionalisme” Toraja. Pada pertengahan 1930an timbul sebuah ”massa kritis” anak muda Toraja yang berpendidikan dan sadar politik serta terekspos oleh pergerakan politik anti-Belanda di Jawa. Lahir pula berbagai organisasi ”kemajuan sosial” yang mulai menekankan kemajuan ”orang dan tanah Toraja”.
Bagian terakhir mengulas bagaimana Toraja mencari posisinya di tengah perubahan politik besar di sekelilingnya pasca-Belanda. Itu mencakup kedatangan Jepang, lahirnya Republik Indonesia, kedatangan kembali Belanda dengan federalismenya, pengakuan kedaulatan, pemilihan umum, kelahiran Parkindo, peran kaum muslim dari dataran rendah, pemberontakan daerah, kebangkitan PKI, dan kemunculan Orde Baru. Toraja, menurut penulis, berusaha melakukan ”negosiasi ulang” dengan dunia Sulsel dan ”penyesuaian diri” dengan negarabangsa Indonesia.
Ada beberapa hal yang masih belum dikupas tuntas. Berhubung Bigalke membahas hingga akhir abad ke-20, ketika Indonesia sudah sangat terkoneksi dengan dunia luar, dia seharusnya juga mengupas diaspora dan representasi Toraja. Tak hanya di luar Toraja, tetapi juga di luar negeri. Mungkin dengan sebuah subbab berjudul Toraja di Dunia Internasional.
Meski begitu, buku ini sangat penting untuk memahami bagaimana Toraja berinteraksi. Baik intra-Toraja maupun dengan dunia di sekelilingnya. Mengingat masih sedikit buku solid tentang Toraja, buku ini bisa disebut karya pelopor yang (seharusnya) mendorong lahirnya karya berikutnya. Sebagaimana dikemukakan penulis buku ini, tak ada yang lebih menyenangkannya selain bahwa buku ini akan membuat lebih banyak orang, khususnya orang Toraja sendiri, untuk menulis tentang Toraja dengan lebih baik darinya. Semoga ada yang menjawab ”tantangan” ini. (*)