Berpolitik dengan Landasan Etik dan Teoretis
Melalui gaya bertutur ala cerita sejarah yang diakronis (runtut), Martin Suryajaya sukses menguraikan teori-teori politik kuno secara lebih gamblang. Martin melacak bahwa sejak di tingkat gen sebelum manusia lahir ke dunia sudah terjadi fenomena politik.
AWAL melihat buku ini di sebuah lapak di Jogjakarta saya teringat kata-kata mantan Mendikbud Daoed Joesoef. Suatu waktu ketika ditanya mengenai program Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), Daoed berkata, ’’Berpolitik boleh saja bagi mahasiswa. Namun dalam tataran konsep, belajar dulu, baru dibawa ke dalam praktik. Coba lihat sekarang, politisi sekadar mengandalkan citra dan uang, mana konsepnya?’’
Ucapan, atau lebih tepatnya kekhawatiran, Daoed itu seperti berusaha dijawab Martin Suryajaya dalam proyek buku terbarunya ini. Memang buku-buku soal teori atau pemikiran politik sudah cukup banyak beredar di pasaran.
Namun, kebanyakan adalah hasil terjemahan cendekiawan luar negeri atau setidaknya berfokus kepada pemikiran satu tokoh saja. Hingga kini, untuk akademisi Indonesia baru Ahmad Suhelmi yang berusaha merangkum keseluruhan pemikiran politik Barat. Terbitnya seri pertama tetralogi Sejarah Pemikiran Politik ini diharapkan mampu memperkaya wacana pemikiran politik oleh akademisi dalam negeri.
Pembacaan yang Tidak Biasa Martin membuka buku ini dari pertanyaan mendasar dan klise: ’’Apa itu politik?’’ Dia melakukan itu sembari merangkum beberapa pendapat pakar, mulai Miriam Budiardjo hingga Robert Dahl, yang membawa dirinya kepada kesimpulan bahwa politik adalah soal kekuasaan.
Selanjutnya, penulis tidak langsung masuk kepada pembahasan pemikiran tokoh-tokoh, misalnya Plato, Socrates, atau Polybios, setelah menjelaskan ’’politik’’. Martin terlebih dahulu menunjukkan perbedaan ’’ilmu politik’’ dan ’’pemikiran politik’’ (filsafat politik) serta bagaimana ketegangan di antara ketiganya (hal 4–5).
Dia mencatat, sempat ada fase pada 1950an ilmu politik yang dianggap ilmiah memandang remeh kajian pemikiran politik. Kajian tersebut dianggap tidak ilmiah karena dinilai normatif, lahir dari angan-angan para filsuf belaka di ruang kosong, dan tanpa bersinggungan dengan kondisi riil masyarakat.
Dari perdebatan tersebut, Martin baru membahas perkembangan pemikiran politik peradaban manusia. Apakah tulisannya langsung berbicara era Yunani Kuno sebagai moyangnya sistem demokrasi dan asal lahirnya kata politik sebagaimana dipahami selama ini di berbagai buku teks? Tidak.
Lagi-lagi Martin menawarkan pembacaan yang tidak biasa. Dia melacak bahwa sejak di tingkat gen sebelum manusia lahir ke dunia sudah terjadi fenomena politik (hal 13). Ahli biologi William Hamilton dan Richard Dawkins mengatakan bahwa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri sendiri, termasuk dalam ranah politik, merupakan turunan dari perilaku sel gen yang berupaya mengalahkan gen lainnya melalui mekanisme menggandakan diri sebanyaks mungkin.
Martin menjabarkan pula bahwa fenomena politik sebagai mekanisme pengaturan hubungan sosial juga bisa diamati di dunia binatang (hal 17). Koloni lebah, rayap, dan semut adalah contoh terbaik.
Ribuan serangga tersebut hidup teratur layaknya masyarakat di bawah satu komando ratu semut atau ratu lebah. Pada bab-bab selanjutnya, b barulah penulis berbicara soal pemikiran pada masa manusia purba hingga tradisi dunia Timur di China dan India (hal 298).
Penutup Sebagai buku bertema berat dan sekilas tampakt seperti teks akademik perguruan tinggi,t upaya Martin Suryajaya perlu diapresiasi. Melalui gaya bertutur ala cerita sejarah yang diakronis (runtut), dia sukses menguraikan teori-teori politik kuno secara lebih gamblang.
Bagi pembaca pemula maupun awam, mungkinm hambatan utama adalah kesulitan melafalkan istilah-istilah Yunani seperti ’’tekhnes romenton nomon…kreitto’’ (hal 1 171). Penulis sudah mengantisipasi dengan memberikan tanda baca, terjemahan, serta glosarium untuk memudahkannya.
Konklusi Martin di bab Penutup (hal 317) menunjukkan bahwa sejarah memberikan pelajaran penting bagi kita di masa kini. Bagi para pemikir klasik, seorang pemimpin politik harus mengatur negara dengan berlandasan etika.
Sebaliknya, seorang politikus sudah s sepatutnya tidak meniru arogansi Hammurabi yang menghasilkan undang-undang ’’bersifat tumpul ke atas, namun tajam ke bawah’’. S Sebagai penambah wawasan, buku ini penting dibaca oleh siapa saja. Terutama kaum cendekia pergerakan serta pegiat politik p praktis agar mampu merumuskan program berdasarkan konsep yang matang. Tidak lagi mengandalkan pencitraan, apalagi uang b belaka seperti keluh Daoed Joesoef. (*) Pengajar Tamu Filsafat Estetika Universitas PGRI Adi Buana Surabaya