Kenyataan Bumbu Kecap
PESAN pecel Kawi datengnya pecel Kediri ndak udah diambil ati. Gunung Kawi dan Kota Tahu itu toh ndak terlalu jauh. Sama halnya menunggu pecel Ponorogo jebul keluarnya pecel Madiun. Kota Reog dan Kota Brem ini toh masih berdekatan.
Kalau ngordernya pecel Kawi munculnya pecel Ngawi?
Hmmm... Agak bermasalah. Tapi sejatinya ndak masalah. Antara Kawi dan kota perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur itu memang cukup jauh. Cuma, setidaknya, dua-duanya toh masih sama-sama mengandung kukusan kembang turi. Kalaupun tidak, minimal keduanya masih bernama pecel. Inilah, inilah... inilah... makanan yang enaknya di kala pagi kecuali bagi orang Sidoarjo. Di Kota Petis Udang ini tengah malam atau dini hari pun manusianya juga masih siap makan pecel.
Masalah baru timbul bila pesannya pecel yang terhidang karedok dari wilayah Budak Angon. Walaupun kalau tak dipermasalahkan malah lebih baik. Masalah di Nusantara ini sudah cukup banyak sejak stres lantaran salah sangka terhadap amnesti pajak sampai gaji lulusan S-1 yang rata-rata sudah ludes buat transport dan badokan.
Lagipula, pikir punya pikir, toh perbedaan antara pecel Jawa dan ’’pecel Sunda” itu tak sejauh antara janji pemilu dan kenyataan setelah terpilih. Pecelnya Sabdo Palon dan ’’pecelnya” Budak Angon sama-sama berkencur, kadang malah sama-sama pakai terong, walau yang Budak Angon masih dimeriahkan oleh rasa terasi. Yang Sabdo Palom pakai daun jeruk purut. Yang Budak Angon pakai jeruk limau. Dua-duanya masih jeruk jua. Sama.
Keduanya pun serupa ada putihputihnya. Yang satu dari kukusan kembang turi, satunya dari irisan kol. Singkatnya, serupa.
Lha, kalau di warung politik kita pesannya menu ’’kenyataan” jebul keluarnya menu ’’janji kampanye”? Nah itu baru runyam.
*** Zika bukan nama virus seperti halnya virus iri dan dengki. Zika adalah nama ibu-ibu tetangga ponokawan Limbuk. Ia protes di warung non-politik. Pesannya soto keluarnya kerang rebus. Untuk suaminya, ibu-ibu berbibir ranum itu pesan gulai kepala ikan patin, eh, keluarnya gulai ekor. Ekor domba pula!
Keteledoran ada pada Petruk. Si jangkung ini pelayan warung tersebut. Waktu Bu Zika pesan ini-itu, tangan si jangkung mencacat di kertas kecil tapi matanya terus melotot ke televisi. Saat itu televisi sedang menayangkan sinetron tentang Sabdo Palon-Budak Angon.
Petruk tak mau ketinggalan. Apalagi diiklankan bahwa sore itu serial Sabdo Palon-Budak Angon bakal menanggapi respons masyarakat yang makin luas percaya bahwa Menak Jinggo orangnya ganteng.
Iklan juga menyebutkan bahwa selain akan menyingkap hubungan Mbok Jamu dan Ki Amongraga yang kini sudah mulai meninggalkan Kihara Papak di Sukabumi, serial Sabdo Palon-Budak Angon sore itu juga akan didomplengi oleh pesan yang menyingkap suatu tabir.
Tabir itu adalah suatu misteri tentang kenapa setiap pergantian zaman selalu ditandai oleh munculnya tokoh-tokoh yang dikader oleh kaum rohaniwan. Sunan Bonang merabuk Jimbun, yang kelak lebih kondang dengan Raden Patah, untuk mendirikan Kesultanan Demak. Sunan Giri memupuk Mas Karebet alias Joko Tingkir sehingga menjadi Sultan Hadiwijoyo yang mengawali era Pajang dan mengakhiri era Demak. Tiba giliran Sunan Kalijaga menggadang-gadang Sutowijoyo menjadi Panembahan Senopati yang mendirikan Mataram untuk menjadulkan Pajang.
Sore itu, ketika mengoret-oret pesanan menu Bu Zika, Petruk sedang di puncak penasaran. Betulkah ramalan Sabdo Palon bahwa kader-kader itu akan melenceng dari arahan rohaniwannya saking sudah kuatnya tradisi spiritual di Nusantara, seperti juga ramalan Budak Angon terhadap Prabu Siliwangi terakhir, Kian Santang dan lain-lain?
Sutowijoyo, misalnya, tak penuh- penuh berkiblat ke Timur Tengah. Sultan yang diagungkan melalui tembang Sinom Parijoto ini akhirnya juga berkiblat ke Ratu Kidul (Dewi Nawangwulan), kakaknya Nyi Roro Kidul (Dewi Nawangsih), yang keduanya adalah adik Ki Ageng Sapujagad.
Betulkah ramalan Sabdo Palon dan Budak Angon bahwa segala yang masuk ke Nusantara pada akhirnya harus diramu menjadi satu dengan menu keyakinan yang sudah turun-temurun menjadi selera Nusantara, seperti pesan Sabdo Palon pada Syekh Subakir dari Persia?
Itulah kenapa mata Petruk terus melotot ke televisi ketika Bu Zika, sambil mematut-matut bibir ranumnya di cermin kecil, memesan soto dan gulai kepala ikan patin.
*** ’’Aduh. Mohon maaf, Bu,’’ datang tergopoh-gopohlah Ong King Hong, saudagar pemilik restoran. Ia ambil alih kesalahan anak-buahnya terhadap Bu Zika.
’’Maaf, maaf, bagaimana. Kejadian ini sudah dua kali. Kalau ndak salah pelayannya juga sama. Ya, masih masmas hidung panjang itu. Sampai berapa periode, sih, dia akan jadi pelayan? Dulu saya pesan ’ Janji Pemilu Bumbu Kecap’ yang keluar ’ Kenyataan Saus Tiram’. Itu pas zamannya teve muter Uttaran. Tapi masih mendinglah. Sekarang? Waktu sinetron India itu salah dia cuma satudua menu. Sekarang ini meleset total.”
’’Tapi Sutowijoyo juga meleset dari hasrat Sunan Kalijogo, Bu.”
’’Iya, tapi melesetnya ndak total. Setidaknya beliau masih pakai gelar ’Sultan’. Sultan itu kan dari bahasa Timur Tengah ’Sulton’. Artinya kemampuan karena ilmu, wawasan dan lain-lain. Baca Ar-Rahmaan ayat 33 deh. Ini MasMas hidung panjangmu melesetnya total. Jauh!”
’’Maaf, Bu. Sekali lagi mohon maaf,” Ong King Hong bertutur-bahasa sangat rendah dan lembut, campuran Jawa-Betawi, sembari ia rapikan kumis kucingnya. ’’ Minongko tondo permintaan maaf yang dalem abis dari owe, semoga Ibu kagak keberatan kalau owe bungkusin apa aje sesuai dawuh Ibu. Gratis.”
’’Pepes wader. Ikan bakar. Pete goreng dan kare ayam...” ’’Baik, Bu.” ’’Eh, satu lagi. Opor ayam dan sop buntut...,” Bu Zika menekankan pesanannya dengan tudingan telunjuknya. ’’Baik, Bu...” ’’Eh, tapi saya tetap marah lho ya. Jangan mentang-mentang Si Kokoh sogok aku dengan pete maka berarti aku sudah maafkan Kokoh...”
’’Pete plus opor ayam, sop buntut, kare ayam, ikan bakar, pepes wader...”
’’Ya, whatever lah. Ndak usah ngasih kesan bahwa pesanan saya terlalu banyak... Halah sop buntut cuma berapa sih harganya. Nggak lebih mahal dari serabi Solo... Eh, sebenarnya kenapa, sih, pelayan seperti itu masih Kokoh pertahankan di sini?”
’’Maaf, Bu. Sebenarnya seluruh pelayan di sini seperti itu. Ibu bukan satusatunya yang mengalami salah menu begini. Ada yang pesan menu ’Menak Jinggo Ganteng’ keluarnya ’Menak Jinggo Mainstream’... ” ’’Terus mereka ndak protes...” ’’Tidak, Bu. Kaum Kartini malah berterima kasih masih ada pemuda-pemudi yang peduli sama siaran lokal seperti tentang Sabdo Palon-Budak Angon. Abdi dalem di sini demen sinetron asli Nusantara...”
’’Oooo...’’ (*)