Jawa Pos

Fotografer Harus Punya Etika

-

SURABAYA – Seorang jurnalis foto yang baik harus memiliki etika. Itulah prinsip profesi yang terus dipegang oleh Stefano Romano. Fotografer dari Italia itu menularkan ilmunya kepada banyak calon pewarta foto. Salah satunya dilakukan di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) kemarin (3/9).

Etika itu, menurut Stefano, adalah memahami objek yang akan difoto. Jadi, sebelum mengabadik­an momen, fotografer harus mempelajar­i latar belakang objek yang akan dipotret. Misalnya saat memotret orang yang sedang salat. Dia mengajarka­n agar tidak mengambil foto dari depan saat objek sedang bersujud. Atau memotret seorang perempuan yang sedang bersujud dari sisi belakang. ”Karena tidak sopan,” ucapnya

Pria yang lebih suka disapa Kang Stef itu mengungkap­kan tidak suka potret penderitaa­n hidup manusia tanpa alasan yang jelas. Contohnya foto tentang pemulung, pengemis, atau kemiskinan. Apalagi jika foto diambil tanpa sepengetah­uan objek foto. Pemotretan angle tersebut harus disertai alasan yang jelas. ”Harus respek pada penderitaa­n orang,” tuturnya.

Untuk foto-foto humanistis, Stef selalu mengajarka­n kepada murid-muridnya agar meminta izin kepada objek. Apalagi potret kesulitan hidup atau cerita kegagalan. Setelah mengambil gambar, fotografer hendaknya mendalami objeknya dengan lebih dekat. Misalnya foto tentang anak-anak yang mengemis. Dia harus mencari tahu kenapa anak tersebut sampai mengemis dan cerita-cerita lain di balik itu. ”Jangan sampai kita dapat foto bagus, lalu ditinggal dan tidak peduli lagi dengan mereka,” tegasnya.

Selama ini, Stef memang memiliki prinsip untuk membantu sesama melalui foto. Saat mengambil potret tentang penderitaa­n hidup orang, dia selalu berusaha untuk kembali dan meringanka­n beban mereka. Bisa dengan memberikan hiburan dan hadiah kepada anak-anak. Bisa pula memberikan sumbangan melalui dana yang dikumpulka­n dari pameran foto.

Penjelasan Stef tentang prinsippri­nsip fotografi rupanya menarik perhatian para peserta seminar di Gedung Coklat Stikosa-AWS. Selama hampir dua jam, mereka mendengark­an paparan alumnus Jurusan Psikologi dan Estetika Fakultas Sastra dan Filsafat Universita­s La Sapienze, Roma, itu. Berbagai pertanyaan seputar teknik memotret yang baik juga terus berdatanga­n dari para audiens. Peserta seminar itu terdiri atas mahasiswa dan karyawan Stikosa-AWS, komunitas fotografi, perwakilan universita­s lain, siswa SMA/SMK, dan perkumpula­n wartawan Surabaya.

Di akhir acara, Stef menandatan­gani memorandum of understand­ing (MoU) dengan StikosaAWS. Isinya, kesediaan memberikan pelatihan kepada para mahasiswa kampus tersebut jika dirinya sedang berada di Surabaya. Selain itu, jurnalis lepas Frontiere News tersebut meresmikan peluncuran bukunya yang berjudul Kampungku Indonesia.

Buku setebal 172 halaman itu berisi tentang foto-foto humanistis yang diambil Stef ketika menjelajah kawasan Indonesia. Khususnya Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ke depan, dia ingin lebih mendalami daerah lain di Indonesia. Misalnya tentang keanekarag­aman kampung di Surabaya atau budaya-budaya Madura.

Ketua Stikosa-AWS Ismojo Herdono menjelaska­n, kegiatan yang juga dihadiri jurnalis foto Mamuk Ismuntoro kemarin itu sekaligus rangkaian orientasi mahasiswa baru. Sejak pukul 09.30, keduanya memberikan pengarahan tentang foto jurnalisti­k.

Ismojo berharap kerja sama antara kampusnya dan Stef bisa lebih erat sehingga mampu menjadi pemacu semangat bagi anak didiknya untuk menjadi jurnalis profesiona­l. Khususnya yang menggeluti bidang fotografi. ”Pengalaman Kang Stef sangat banyak dan bisa ditularkan kepada anak-anak,” tegas dia. (ant/c11/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia