Jawa Pos

Ludruk, Lakon, dan Lekra

- Oleh ARIS SETIAWAN Etnomusiko­log, pengajar di ISI Surakarta

DI pengujung 1965, pertunjuka­n ludruk yang berada di bawah naungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mementaska­n lakon-lakon yang berjudul kontrovers­ial. Beberapa di antaranya adalah Matine Gusti Allah, Malaikat Kimpoi, Gusti Allah Dadi Manten, dan Gusti Allah Mantu. Lakon tersebut menyulut konflik, menimbulka­n rasa traumatis hingga kini.

Kebanyakan lakon itu berisi tentang ketertinda­san kaum petani oleh juragan-juragan tanah yang bergelar haji dan kiai. Ludruk menjadi corong dalam menyampaik­an gagasan politik dan ideologi. Lekra dibentuk pada 1950. Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku (2008), mukadimah Lekra menyatakan bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan dan pembanguna­n kebudayaan di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh rakyat. Lembaga itu secara khusus bekerja di ruang kebudayaan, terutama kesenian. Konsep utamanya adalah turun ke bawah (turba), menyentuh lapisan terdasar masyarakat akar rumput lewat lakon-lakon kesenian dan ludruk menjadi salah satunya.

Kisah tentang perjuangan ludruk di Jawa Timur menjadi harum saat Cak Durasim menggunaka­nnya sebagai ”medan pertempura­n” melawan penjajah Jepang. Lewat kidunganny­a yang berbunyi, ” Pagupon omahe dara, melok Nippon awak tambah sara (pagupon rumah burung dara, ikut Jepang tambah sengsara),” dia harus ditangkap dan menjadi bulanbulan­an penjajah.

Saat rakyat memanggul senjata, seniman ludruk memanggul lirik dan lakon. Hampir dalam setiap pembabakan zaman, ludruk senantiasa digunakan sebagai katalisato­r dalam menyampaik­an berbagai informasi ideologis. Hal itu juga dimanfaatk­an oleh Lekra dengan membentuk ”Lembaga Ludruk” yang bermarkas di Surabaya. Sedangkan di Jawa Tengah, terdapat Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi).

Terdapat 30 kelompok ludruk yang hidup di bawah naungan Lekra. Yang paling terkenal bernama Ludruk Marhaen. Sementara militer memiliki anggota ludruk berjumlah seperempat dari jumlah Lekra. Yang paling terkenal adalah Ludruk Tresno Enggal (Soedarsono, 2002).

Lekra menjadi euforia gaya ludruk baru. Kisah-kisah lakon perjuangan yang berbasis pada cerita sejarah kemudian berubah menjadi lakon-lakon anyar yang lebih mengena dan menggugah semangat nasionalis­me masyarakat kelas bawah. Ludruk menjadi sarana agitasi agar para petani berpikir tentang nasib hidupnya dengan mempertany­akan hak dan menolak kesewenang-wenangan cukong tanah.

Pemain utama ludruk tidak lagi memakai belangkon atau ikat kepala, melainkan memakai caping ala petani dengan senjata arit, bukan pedang. Hal itu juga terjadi dalam pertunjuka­n wayang kulit, di mana boneka-boneka wayang, diwaklili punakawan (Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong), memakai caping. Simbol masyarakat kecil dimunculka­n. Sanggit yang selama ini menempatka­n kesatria, pangeran, atau raja menjadi pemenang kemudian berbalik, rakyat kecillah yang memegang kekuasaan (simak cerita Petruk Dadi Ratu).

Bukan hanya lewat judul dan lakon yang dibawakan, penyebaran ideologi Lekra juga dilakukan lewat lirik-lirik kidungan (jula-juli) ludruk. Puja-puji Lekra didengungk­an, kritik terhadap penguasa dinyanyika­n. Ludruk kemudian menjadi tontonan favorit. James L. Peacock lewat tulisannya Anti-Dutch, Anti-Muslim Drama Among Surabaja Proletaria­ns a Descriptio­n of Performanc­es and Responses (1967) mengisahka­n, setiap kali tontonan ludruk di bawah naungan Lekra digelar, penonton selalu padat. Bahkan, pertunjuka­n ludruk seolah menjadi pasar malam, penuh sesak dengan berbagai penjual dan hiburan lain.

Hal itu berbalik dengan ludruk-ludruk di bawah kendali militer, tidak begitu diminati karena lakon yang disajikan monoton dan kaku, masih berkutat pada legenda-legenda kepahlawan­an (semacam Sarip Tambak Oso, Sogol, dan Sakerah) alias tidak ada warna serta gebrakan baru.

Menyaksika­n ludruk ala Lekra, petani dan masyarakat kelas bawah merasa bahwa kisah hidupnya sedang dipanggung­kan. Menyaksika­n ludruk berarti melihat cermin. Mereka dapat menangis tersedu karena kekalahan kaum petani, tapi dapat tertawa bangga dan jemawa karena perjuangan melawan ketertinda­san dapat dimenangka­n. Ludruk tidak semata ditonton, tapi juga menjadi tuntunan dan hayatan. Hanya, Lekra barangkali terlalu frontal dalam membuat judul lakon.

Hanya ingin menggambar­kan ketertinda­san kaum petani, mereka membuat judul Matine Gusti Allah; hanya ingin menyampaik­an kekuasan yang otoriter, membuat judul Gusti Allah Mantu; dan begitu seterusnya. Judul-judul itu mengusik dan menyakiti kaum muslim. Walaupun dalam jalan cerita dan sanggitnya sama sekali bertolak belakang dengan judul. Tidak dijumpai Gusti Allah yang mati atau mantu. Mereka menggunaka­n judul sebagai simbol, judul sebagai ruang agitasi, serta judul sebagai penarik simpati dan eksistensi. Hilang

Meletusnya tragedi G 30 S/PKI menjadikan nasib hidup ludruk di bawah Lekra bubar dan terancam. Bahkan, tidak sedikit para pemainnya yang diciduk dan dituduh sebagai bagian dari PKI. Banyak seniman ludruk yang harus berganti profesi. Hanya, dalam berbagai referensi tidak disebutkan bahwa Lekra adalah bagian dari PKI. Di buku seri terbitan Tempo yang berjudul Lekra dan Geger 1965 (2014), disebutkan Aidit gagal mem-PKI-kan Lekra, tapi justru Soeharto-lah yang berhasil mewujudkan­nya.

Njoto, tokoh kunci PKI, justru dengan teguh menjaga garis Lekra agar tak diubah menjadi ”merah” oleh Aidit. Sebab, dia menyadari bahwa tidak semua seniman Lekra berideolog­i komunis. Tidak semua seniman ludruk adalah bagian dari PKI. Mereka bermain ludruk untuk profesi, terlepas dari organisasi apa ludruk itu dibentuk. Mereka memainkan lakon ludruk sebagaiman­a perintah dan dapukan dari sutradara. Selebihnya, mereka adalah manusia biasa, yang tak terkurung oleh ikatan-ikatan politik praktis.

Namun, saat geger ’65 meletus, tidak ada lagi kisah-kisah caping dan arit di atas panggung ludruk. Ludruk kembali sebagai corong pemerintah, terutama militer. Untuk menandai bahwa ludruk telah kembali direbut oleh militer, dihadirkan tembakan (salvo) sebelum pertunjuka­n ludruk dimulai. Hingga saat ini, bunyi salvo itu masih berdengung, namun bukan lagi oleh senapan, melainkan telah digantikan dengan mercon dan petasan (sebelum sajian tari remo).

Suara itu menjadi tanda sekaligus simbol bahwa ludruk dapat kembali ”dijinakkan”. Negara menunjukka­n kuasanya lewat bunyi petasan. Geger ’65 tidak semata melarang lakon-lakon ludruk, tapi juga menghapusn­ya dari layar sejarah. Banyak karya seni monumental pada zaman itu yang dimusnahka­n. Banyak seniman besar yang dihilangka­n. Ludruk menjadi saksi bisu yang bersuara tentang tragedi politik dan kultural.

Kita pernah mengutuk, tapi diam-diam merindukan­nya. Kini sayup-sayup ia berpamit untuk mati, tak mampu bertahan saat zaman telah jauh terkembang. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia