Jawa Pos

Tangani Perkara Tetap Pakai Ilmu Intelijen

Pada 2002 hingga 2006 nama Max Lesilolo cukup familier di lingkungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Dia adalah jaksa bidang intelijen yang sering menyelidik­i kasus korupsi. Sekarang Max beralih profesi. Max adalah advokat yang menangani terdakwa korupsi

-

TAMPILAN dan gaya Max Lesilolo tidak banyak berubah. Hanya pakaian yang membedakan dia sekarang dengan sosoknya 14 tahun silam. Saat datang ke sidang, Max tidak mengenakan seragam jaksa. Duduknya pun tak lagi di kursi penuntut umum. Tempat duduk pria kelahiran Ambon itu sekarang di bagian penasihat hukum. Berhadapan dengan meja dan kursi penuntut umum yang dulu sering ditempatin­ya.

Max juga lebih trendi. Atasannya adalah kemeja lengan panjang dipadu celana kain dan sepatu hitam. Tas selempang kecil tergantung di pundak. Satu tas ukuran besar yang berisi berkas perkara senantiasa dia bawa dengan tangan.

Saat sidang, pria 66 tahun itu tetap cool. Tak banyak bicara. Tapi, sekali bicara, Max melontarka­n pertanyaan yang mengena. Tidak sekadar menyampaik­an pertanyaan asal-asalan. Semua pertanyaan yang diajukan dilandasi dengan dasar dan aturan yang jelas. Bahkan, Max sering mengajukan pertanyaan untuk saksi maupun ahli dengan jawaban pilihan. Yakni, A, B, C, atau D. Seperti soal ujian sekolah. Dengan nada bicara dan logat Ambon yang kental seperti saat menjadi jaksa

Metode itu dilakukan Max demi mengorek keterangan berdasar fakta dan keyakinan saksi. ”Jadi, tidak perlu berdebat.

Cukup jawaban singkat,” kata pria bernama lengkap Marcus Lesilolo itu, lantas tersenyum. Saat persidanga­n kasus korupsi distribusi fiktif di KPU Jatim pada Senin (17/10), Max pun hanya sedikit bertanya. Namun, pertanyaan­nya juga pakai dasar berupa aturan undang-undang. Dia sampai maju ke hadapan hakim untuk menunjukka­n aturan tersebut.

Dalam dunia advokat, Max termasuk pendatang baru. Setelah pensiun pada 2012, dia ikut pendidikan khusus profesi advokat di Unair.

Max tidak langsung magang di kantor penasihat hukum setelah mengikuti pendidikan. Dia harus mengikuti ujian terlebih dahulu. Meski sudah puluhan tahun bekerja di bidang hukum, Max tidak bisa mulus menjalani tes. Dia harus ikut tes tiga kali sebelum mengantong­i izin sebagai advokat. ”Tesnya berulang-ulang,” lanjut bapak empat anak itu.

Max mengaku kesulitan saat menghadapi tes membuat surat gugatan perkara perdata. Bidang tersebut memang jarang bersentuha­n dengan dia saat masih menjadi jaksa. Keahlian Max di bidang intelijen. ”Kalau membuat dakwaan, lima menit pasti selesai. Kalau gugatan harus mikir dulu,” ucapnya, lantas tertawa.

Meski harus mengikuti ujian advokat berulang-ulang, Max tak patah semangat. Demi bisa lulus, tiap hari dia belajar. Satu per satu buku dan artikel dia pelajari. Praktik membuat gugatan pun dilakukan. Sampai akhirnya, Max lulus. Dia magang di kantor advokat selama dua tahun. Sekarang Max beracara secara rutin di pengadilan bersama rekan-rekannya di salah satu kantor hukum di kawasan Bendul Merisi Indah.

Di kantor tersebut, Max banyak belajar dari teman-temannya yang lebih dahulu menjadi advokat. Banyak yang lebih muda daripada Max. Tapi, ada juga yang sudah senior dan mantan jaksa.

”Teman-teman semua sangat baik. Membantu saya setiap ada kesulitan,” puji Max. Berkat bantuan mereka pula, Max merasa makin percaya diri menjadi advokat. Perkara yang ditangani pun beragam.

Bukan hanya kasus korupsi. Perkara perdata juga pernah. Tak hanya di Surabaya, tapi juga kasus-kasus di luar kota. Misalnya, Malang dan Pasuruan. Semua perkara itu ditangani Max dengan sepenuh jiwa. Tanpa memikirkan imbalan.

Sering pendamping­an terhadap terdakwa dilakukan secara cumacuma alias gratisan. Yang diterimany­a adalah sekadar ucapan terima kasih. Meski demikian, Max mengaku senang. Kakek lima cucu itu bahagia masih bisa berguna bagi sesama meski telah purna.

Max mengungkap­kan, banyak perbedaan yang dirasakan saat menjadi jaksa dan advokat. Dulu, ketika menjadi jaksa, dia harus ke kantor sesuai jam kerja. Meninggalk­an rumah pagi. Sering

Pkembali malam hari. ”Sekarang lebih santai (jam kerjanya, Red). Lebih fleksibel,” imbuh Max.

Pria yang mengawali karir jaksa dari Kupang, NTT, pada 1986 itu mengaku beruntung memiliki pengalaman di bidang intelijen. Ilmu di bidang tersebut sampai sekarang masih dipraktikk­an. Saat menangani perkara, naluri intelijen Max pun dipergunak­an. Dia tidak asal menerima perkara.

Terlebih dahulu Max menyelidik­i kebenaran kasusnya. Mulai latar belakang terdakwa sampai keluarga dan lingkungan. Termasuk peluang saat bersidang di pengadilan. ”Ilmu intelijen sangat membantu tugas advokat,” lanjut pria yang ke mana-mana masih nyetir mobil sendiri itu.

Mantan kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bangli, Bali, tersebut mengaku masih kaku saat awalawal sidang. Bahkan, pertanyaan yang dilontarka­n sering keliru. Dulu, saat menjadi jaksa, pria yang lahir pada 12 April 1950 itu harus mengajukan pertanyaan yang mendukung dan membuktika­n dakwaan. Sekarang, saat menjadi advokat, Max harus jeli membuat pertanyaan yang dapat meringanka­n terdakwa. Mencari celah dalam dakwaan yang lemah. Saat baru praktik advokat, Max sering salah. Pertanyaan yang diajukan lebih mengarah pada hal yang menguatkan dakwaan, bukan malah mencari celah. ”Setelah bertanya baru sadar. Lho, tadi kan pertanyaan­nya menguatkan dakwaan,” katanya, lantas tertawa dan geleng-geleng kepala.

Max lalu meralat pertanyaan keliru tersebut sampai akhirnya saksi maupun ahli melontarka­n pernyataan yang meringanka­n kliennya. Sekarang, setelah empat tahun menggeluti dunia advokat, Max pun sudah tidak kaku dan bingung saat beracara.

Namun, ada satu hal yang masih ”menghantui­nya” saat sidang. Max sering teringat masa-masa jadi jaksa. Ketika sidang dan berhadapan dengan jaksa, dia ingat masa lalunya. Teringat saat dia memakai seragam. Membaca surat dakwaan dan tuntutan. Pengalaman itu tak kan terlupa. Sama dengan pengalaman jadi advokat sekarang.

Menurut dia, menjadi jaksa dan advokat memiliki tujuan yang sama. Mencari keadilan dan kebenaran dalam sebuah perkara. Juga menegakkan hukum di masyarakat. Sekaligus memberikan pencerahan bagi masyarakat awam. ”Sebagai advokat, kami juga membantu orang yang masih awam untuk penegakan hukum,” katanya.

Max tidak punya cita-cita sebagai pengacara. Tapi, dia terpanggil untuk membantu sesama. Lagi pula, Max tidak ingin hanya berpangku tangan setelah pensiun. Dia tetap ingin otaknya terus bekerja. Tetap terasah meski usia bertambah.

Bagi Max, advokat adalah pekerjaan mulia. Dengan menangani perkara, wawasannya selalu terbuka. Pengetahua­nnya bertambah karena tiap perkara memiliki karakteris­tik berbeda. Dia dituntut untuk belajar dan belajar terus. Meski umur bertambah, proses belajar tetap berjalan dengan terarah. Membuat Max menjadi advokat yang tak kenal lelah. (*/c10/dos)

 ?? GALIH COKRO/JAWA POS ?? ALIH BAJU: Max Lesilolo (kanan) dan Arifin Sahibu menjadi penasihat hukum dalam perkara distribusi logistik fiktif KPU di Pengadilan Negeri Surabaya.
GALIH COKRO/JAWA POS ALIH BAJU: Max Lesilolo (kanan) dan Arifin Sahibu menjadi penasihat hukum dalam perkara distribusi logistik fiktif KPU di Pengadilan Negeri Surabaya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia