Jawa Pos

Misbach Bersejarah Merah

Misbach menulis dengan kalimat-kalimat galak serta menendang. Tak mau jera akibat penjara atau pembuangan.

- BANDUNG MAWARDI Penulis buku ”Pengedar Bacaan” (2016)

PENGGERAK sejarah itu lahir di Kauman, Surakarta, 1876. Ia besar di keluarga pedagang batik. Masa bocah, ia belajar di pesantren. Tahun demi tahun berlalu, ia moncer sebagai pedagang batik.

Pulang dari berhaji, orangorang mengenali lelaki itu bernama Haji Mohammad Misbach. Di kota religius dan politis, Haji Misbach turut dalam lakon revolusion­er meski terlambat diketahui publik.

Semula, Haji Misbach cuma dikenali sebagai pedagang dan mubalig, belum penggerak politik melawan kolonialis­me dan kapitalism­e. Ketokohan dalam sejarah mula-mula terdapat dalam buku berjudul Zaman Bergerak: Radikalism­e Rakyat di Jawa 1912–1926 (1997) garapan Takashi Shiraishi. Biografi politik Haji Misbach dimunculka­n berbarenga­n Tjipto Mangoenkoe­soemo, Mas Marco Kartodikro­mo, dan H.O.S. Tjokroamin­oto.

Shiraishi memberikan penjelasan memikat untuk latar kemunculan Misbach. Pada 1917– 1919, zaman dan dunia serasa bergerak di Surakarta. Pergerakan revolusion­er bangkit kembali setelah Sarekat Islam lesu.

Kebangkita­n itu memunculka­n tokoh propagandi­s Islam. Ia menulis dan berpidato mengenai Islam dan komunisme. Su- rakarta pun bergolak. Pemerintah kolonial dan kaum pergerakan di jalur berbeda biasa mendapat ” tendangan” dalam tulisan-tulisan Misbach.

Kaum feodal tak luput dari ejekan kasar. Marco Kartodikro­mo (1924) mengenang pesona Misbach turut disokong data diri sebagai mubalig, pendiri surat kabar Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917), membuka usaha hotel, serta memiliki toko buku dan sekolah. Segala kekuatan memuncak di tulisan-tulisan. Shiraishi menganggap Misbach menulis seperti sedang bicara. Orang mesti membaca keras-keras agar mudah paham.

Kini tulisan-tulisan Misbach terbit sebagai buku utuh, bersumber dari Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, 1915–1926. Puluhan tulisan dari masa lalu mengajak kita mengenang Surakarta sedang bergerak oleh kata dan aksi revolusion­er.

Misbach tampil dengan kalimatkal­imat galak dan menendang. Ia memang berperan sebagai propagandi­s. Setiap tulisan berdampak dalam pembesaran islamisme dan komunisme. Misbach menulis dan bersuara, tak mau jera akibat penjara atau pembuangan.

Tulisan- tulisan selalu jadi momok bagi kolonial. Misbach biasa diganjar hujatan dan hukuman. Di Medan Moeslimin nomor 2, 1916, Misbach bernasihat: ”Sifat adil tiada dapat ada pada segala orang jang masi soeka terima soewab.”

Lakon politik-ekonomi di tanah jajahan lumrah berisi orangorang mata duitan. Korupsi dan suap mewabah. Misbach pun marah! Suap itu larangan dalam Islam. Suap bukti wajah buruk kapitalism­e.

Kemarahan Misbach paling terdengar dalam artikel ” Seroean Kita” di Medan Moeslimin, 15 Desember 1918. Ia mengejek orang Islam berlimpah harta tapi pelit. Ia menuding orang Islam pandai tak mau ” menglebark­en kepandeann­ja.”

Pandai untuk menang dan untung sendiri. Kemanjaan pada harta dan keangkuhan akibat berilmu tinggi lekas ditendang Misbach. Simpulan: ”....Itoelah sebabnja bangsa kita moeslimin jang masi bodo-bodo banjak jang terdjeroem­oes dengan tipoe dajanja orang jang sengadja mengisep kita.”

Segala realitas buruk diladeni dengan kalimat menantang: ”Siapa jang merampas agama Islam, itoelah jang wadjib kita binasakan.” Di mata pemerintah kolonial, kalimat-kalimat Misbach itu menghasut dan menularkan onar.

Misbach jadi incaran. Peraturan-peraturan digunakan pe merintah kolonial untuk menjerat Misbach. Dipenjara dan dibuang menjadi kepastian dalam pembungkam­an suara dan penistaan kata-kata.

Misbach enggan kalah. Ia tetap menulis, berkhotbah, dan menendang. Di Islam Bergerak edisi 10 November 1922, Misbach mengumumka­n telah keluar dari penjara. Ia mulai lagi memimpin redaksi Medan Moeslimin dan Islam Bergerak setelah dua tahun ditinggalk­an akibat mendekam di penjara (Pekalongan).

Pesan Misbach ke pembaca: ” Islam Bergerak mementingk­an agama Islam dengan politiek tidak terpisah, tetapi Islam Bergerak tiada mementingk­an jang agama Islam boewat kata-kata dan boewat dasar pemboedaka­n pada sesama manoesia.” Misbach tak jera, menampik putus asa atau pembisuan atas seruan islamisme-komunisme.

Nekat dan melawan itu mendapat ganjaran berat. Misbach menjalani hukuman pembuangan ke Manokwari (1924). Di tanah jauh, Misbach tetap saja menulis untuk Medan Moeslimin terbitan 1925.

Para pembaca di Jawa berimajina­si Misbach mengucap kata-kata dengan keras: ”....Poen sebaliknja, orang jang mengakoei dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanja kommunisme, saja berani mengatakan bahwa ia boekan Islam jang sedjati, atau beloem mengerti betoel-betoel tentang doedoeknja agama Islam.”

Misbach kesepian dan menderita sakit, tapi suara keras tetap sampai ke Jawa. Kini, di zaman gelombang pasang radikalism­e agama, suara itu mungkin bakal lekas mendapat tuduhan buruk. Atau didemo karena dianggap melakukan penistaan agama. (*)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia