Misbach Bersejarah Merah
Misbach menulis dengan kalimat-kalimat galak serta menendang. Tak mau jera akibat penjara atau pembuangan.
PENGGERAK sejarah itu lahir di Kauman, Surakarta, 1876. Ia besar di keluarga pedagang batik. Masa bocah, ia belajar di pesantren. Tahun demi tahun berlalu, ia moncer sebagai pedagang batik.
Pulang dari berhaji, orangorang mengenali lelaki itu bernama Haji Mohammad Misbach. Di kota religius dan politis, Haji Misbach turut dalam lakon revolusioner meski terlambat diketahui publik.
Semula, Haji Misbach cuma dikenali sebagai pedagang dan mubalig, belum penggerak politik melawan kolonialisme dan kapitalisme. Ketokohan dalam sejarah mula-mula terdapat dalam buku berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912–1926 (1997) garapan Takashi Shiraishi. Biografi politik Haji Misbach dimunculkan berbarengan Tjipto Mangoenkoesoemo, Mas Marco Kartodikromo, dan H.O.S. Tjokroaminoto.
Shiraishi memberikan penjelasan memikat untuk latar kemunculan Misbach. Pada 1917– 1919, zaman dan dunia serasa bergerak di Surakarta. Pergerakan revolusioner bangkit kembali setelah Sarekat Islam lesu.
Kebangkitan itu memunculkan tokoh propagandis Islam. Ia menulis dan berpidato mengenai Islam dan komunisme. Su- rakarta pun bergolak. Pemerintah kolonial dan kaum pergerakan di jalur berbeda biasa mendapat ” tendangan” dalam tulisan-tulisan Misbach.
Kaum feodal tak luput dari ejekan kasar. Marco Kartodikromo (1924) mengenang pesona Misbach turut disokong data diri sebagai mubalig, pendiri surat kabar Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917), membuka usaha hotel, serta memiliki toko buku dan sekolah. Segala kekuatan memuncak di tulisan-tulisan. Shiraishi menganggap Misbach menulis seperti sedang bicara. Orang mesti membaca keras-keras agar mudah paham.
Kini tulisan-tulisan Misbach terbit sebagai buku utuh, bersumber dari Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, 1915–1926. Puluhan tulisan dari masa lalu mengajak kita mengenang Surakarta sedang bergerak oleh kata dan aksi revolusioner.
Misbach tampil dengan kalimatkalimat galak dan menendang. Ia memang berperan sebagai propagandis. Setiap tulisan berdampak dalam pembesaran islamisme dan komunisme. Misbach menulis dan bersuara, tak mau jera akibat penjara atau pembuangan.
Tulisan- tulisan selalu jadi momok bagi kolonial. Misbach biasa diganjar hujatan dan hukuman. Di Medan Moeslimin nomor 2, 1916, Misbach bernasihat: ”Sifat adil tiada dapat ada pada segala orang jang masi soeka terima soewab.”
Lakon politik-ekonomi di tanah jajahan lumrah berisi orangorang mata duitan. Korupsi dan suap mewabah. Misbach pun marah! Suap itu larangan dalam Islam. Suap bukti wajah buruk kapitalisme.
Kemarahan Misbach paling terdengar dalam artikel ” Seroean Kita” di Medan Moeslimin, 15 Desember 1918. Ia mengejek orang Islam berlimpah harta tapi pelit. Ia menuding orang Islam pandai tak mau ” menglebarken kepandeannja.”
Pandai untuk menang dan untung sendiri. Kemanjaan pada harta dan keangkuhan akibat berilmu tinggi lekas ditendang Misbach. Simpulan: ”....Itoelah sebabnja bangsa kita moeslimin jang masi bodo-bodo banjak jang terdjeroemoes dengan tipoe dajanja orang jang sengadja mengisep kita.”
Segala realitas buruk diladeni dengan kalimat menantang: ”Siapa jang merampas agama Islam, itoelah jang wadjib kita binasakan.” Di mata pemerintah kolonial, kalimat-kalimat Misbach itu menghasut dan menularkan onar.
Misbach jadi incaran. Peraturan-peraturan digunakan pe merintah kolonial untuk menjerat Misbach. Dipenjara dan dibuang menjadi kepastian dalam pembungkaman suara dan penistaan kata-kata.
Misbach enggan kalah. Ia tetap menulis, berkhotbah, dan menendang. Di Islam Bergerak edisi 10 November 1922, Misbach mengumumkan telah keluar dari penjara. Ia mulai lagi memimpin redaksi Medan Moeslimin dan Islam Bergerak setelah dua tahun ditinggalkan akibat mendekam di penjara (Pekalongan).
Pesan Misbach ke pembaca: ” Islam Bergerak mementingkan agama Islam dengan politiek tidak terpisah, tetapi Islam Bergerak tiada mementingkan jang agama Islam boewat kata-kata dan boewat dasar pemboedakan pada sesama manoesia.” Misbach tak jera, menampik putus asa atau pembisuan atas seruan islamisme-komunisme.
Nekat dan melawan itu mendapat ganjaran berat. Misbach menjalani hukuman pembuangan ke Manokwari (1924). Di tanah jauh, Misbach tetap saja menulis untuk Medan Moeslimin terbitan 1925.
Para pembaca di Jawa berimajinasi Misbach mengucap kata-kata dengan keras: ”....Poen sebaliknja, orang jang mengakoei dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanja kommunisme, saja berani mengatakan bahwa ia boekan Islam jang sedjati, atau beloem mengerti betoel-betoel tentang doedoeknja agama Islam.”
Misbach kesepian dan menderita sakit, tapi suara keras tetap sampai ke Jawa. Kini, di zaman gelombang pasang radikalisme agama, suara itu mungkin bakal lekas mendapat tuduhan buruk. Atau didemo karena dianggap melakukan penistaan agama. (*)