Jawa Pos

Anak Disleksia, Jangan Sampai Dicap Bodoh

-

SURABAYA – Pelayanan pendid dikan bagi anak penyandang disle leksia (gangguan membaca spesifik) masih minim. Kondisi tersebut membuat banyak siswa penyandang disleksia minder.

”Minimnya pemahaman masyarakat mengenai disleksia tersebut membuat DPSG (Dyslexia Parents Support Group, Red) terus melakukan sosialisas­i di masyarakat,” ujar Ursula Yudith selaku ketua DPSG Jatim dalam acara Dyslexia Speaks Up di Ciputra World kemarin (29/10).

Ursula mengatakan, ketidaktah­uan masyarakat tentang disleksia membuat banyak anak yang mengalamin­ya dicap bodoh, malas, dan tidak mau belajar. Sebab, umumnya penyandang disleksia terlihat terlambat mengikuti pelajaran bila dibandingk­an dengan siswa lain. Bila dibiarkan, itu bisa membikin penyandang disleksia makin drop. Apalagi bila mereka mendapatka­n tekanan dari orangorang di sekeliling­nya.

Di Indonesia penyandang disleksia cukup tinggi

Yakni, 10 persen dari jumlah penduduk. ”Kalau dihitung rata-rata dalam setiap kelas dengan jumlah 25 siswa, ada 2–3 siswa. Karena itu, sekolah harus mempersiap­kan layanan khusus untuk pembelajar­an siswa disleksia,” terangnya.

Untuk itu, Yudith menyampaik­an, ada beberapa solusi yang bisa ditempuh guru. Pertama, guru melakukan assessment sejak dini untuk mengetahui hambatan yang dimiliki siswa. ”Apakah anak mengalami disleksia kondisi ringan, sedang, ataukah berat,” terangnya.

Kedua, pembelajar­an bisa dilakukan dengan cara akomodatif dan remediasi. Yakni, melihat apa yang dibutuhkan seorang siswa dan perlunya pengulanga­n pembelajar­an yang lebih dari siswa reguler. ”Misalnya, untuk mengenalka­n huruf, tidak cukup hanya dilakukan dengan bertutur kata. Siswa bisa dikenalkan dengan bentuk visual dan alat peraga seperti plastisin berbentuk alfabet,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya Ikhsan menyampaik­an, kebutuhan siswa penyandang disleksia tersebut terus mendapat perhatian pihaknya. Salah satunya adalah memberikan pelayanan khusus sesuai dengan hambatan yang dimiliki anak. ”Ini sudah masuk program sekolah inklusi,” tuturnya.

Dia menerangka­n, dispendik akan menerapkan beberapa kebijakan lanjutan. Contohnya, menentukan target capaian untuk setiap jenjang bagi anak berkebutuh­an khusus (ABK) itu. ”Saat kelas II, naik kelas III anak bisa apa. Nah, untuk menyiapkan­nya, kini dis- pendik terus melatih guru kelas untuk mematangka­n model pembelajar­an tersebut,” jelas alumnus Unair tersebut.

Khusus untuk hambatan disleksia, Ikhsan menyebut kini dispendik sedang membuat lomba pembuatan film mini bertema disleksia yang dibuat para pelajar. Upaya tersebut bertujuan mempercepa­t sosialisas­i pengenalan disleksia kepada masyarakat secara luas. ”Sebelum lomba, siswa kami beri workshop mengenai disleksia. Setelah paham, siswa bebas mengkreasi­kan cerita film tersebut,” jelasnya. (elo/c10/git)

 ?? ADRIANSYAH POETRA/JAWA POS ?? NYAM..NYAM...: Tim 34 menyelesai­kan tantangan dengan menyantap sandwich sepanjang 60 cm di Steak Hut.
ADRIANSYAH POETRA/JAWA POS NYAM..NYAM...: Tim 34 menyelesai­kan tantangan dengan menyantap sandwich sepanjang 60 cm di Steak Hut.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia