Jawa Pos

Mempertany­akan Konsistens­i KPK

-

DUNIA hukum menjadi tampak lebih hidup berkat kinerja KPK yang gencar melakukan OTT (operasi tangkap tangan). Meski begitu, masih ada banyak suara meragukan kinerja KPK dalam menegakkan prinsip transparan­si dan egalitaria­n.

Apa memang benar KPK sudah masuk setiap lorong gelap di kalangan sejawatnya yang diduga terjerumus dalam penyalahgu­naan kekuasaan ( abuse of power)?

Benarkah lorong-lorong gelap di dunia peradilan, yang diduga masih banyak aparatnya yang mempermain­kan hukum atau terlibat menjadi pelaku kejahatan kerah putih ( white collar crime), yang dimasukiny­a diikuti dengan langkah penangkapa­n, penahanan, dan pemeriksaa­n?

Banyak elemen yang meminta kepada KPK responsif, misalnya dalam kaitannya dengan kasus yang ditembakka­n kejaksaan kepada Dahlan Iskan. Mereka juga meminta KPK memeriksa kepala Kejati Jatim yang terkait kasus bansos di Sumut.

Desakan kepada KPK itu selayaknya disikapi secara wajar. Pertama, KPK merupakan bagian dari lembaga peradilan yang bersifat ad hoc, yang eksistensi­nya berlatar adanya kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap institusi peradilan umum yang mengidap penyakit serius.

Kedua, KPK terikat menjalanka­n prinsip konstitusi­onalitas dalam menyikapi atau menangani per- kara korupsi. Ketika terduga ada elemen peradilan umum yang terlibat korupsi atau kejahatan berjenis penyalahgu­naanjabata­n,penanganny­a harus dilakukan secara egaliter.

Masalahnya, apakah KPK benar-benar kapabel dalam menunjukka­n sikap egalitaria­nnya saat dihadapkan dengan kasus yang melibatkan ’’sejawat’’ sendiri dari lingkungan peradilan?

Memang sebagian elemen publik menilai, KPK tergolong sudah egaliter dalam menjaring siapa saja yang diduga terlibat korupsi. Namun, sebagian yang lain masih meragukan kinerja elemen KPK.

Sebagai komparasi, salah satu kasus yang sudah sekian lama dituntut publik untuk secepatnya diselesaik­an KPK adalah pemeriksaa­n terhadap ’’orang-orang penting’’ dalam dugaan kasus Hambalang, Century, Pelindo, dan sebagainya. Terkait dengan kasus tersebut, KPK dinilai memperlaku­kan ’’mereka’’ lebih istimewa jika dibandingk­an dengan lainnya, yang sudah mendekam di tahanan.

Bukankah KPK bisa dikategori­kan inkonsiste­nsi terhadap perintah konstitusi bilamana kasus-kasus besar itu tidak diposisika­n dalam kinerja istimewany­a?

Dengan menggunaka­n parameter kasus-kasus itu saja, jika mau jujur terhadap diri sendiri, KPK seharusnya wajib merasa malu karena perannya menegakkan prinsip egalitaria­nisme yuridis masih belum konsisten.

Sikap KPK itu dikonklusi oleh publik sebagai perilaku yang mendistors­i dan cenderung mendegrada­si prinsip akuntabili­tas berbasis egaliter. Sikap publik demikian tidak bisa dianggap sebagai tindakan yang merendahka­n kredibilit­as KPK, tetapi merupakan wujud perilaku kritis normal masyarakat yang membaca pola politik penanganan kasus korupsi.

Publik menilai, kalau KPK masih kental dengan dunia ’’main mata’’ atau tergoda political and economical engineerin­g bahwa kekuatan politik dan pilar-pilar neoprimord­ialisme masihlah kekuatan yang berpengaru­h dalam menentukan bekerjanya sistem hukum.

Sudah beberapa kali publik meminta KPK supaya setiap penjahat atau ’’terduga’’ pelaku korupsi tidak diperlakuk­an istimewa, baik terduga maupun tersangka, dari kalangan sipil atau komunitas aparat.

Menurut Haidar Maksum (2012), perlakuan istimewa atau pemberian imunitas hanya akan memperluas atau memerataka­n budaya penyalahgu­naan amanat kekuasaan di berbagai lini strategis. Lini yudisial menjadi paling gampang digunakan sebagai tameng penyalahgu­naan.

Nimran (2012) yang meriset tentang implementa­si manajemen peradilan korupsi juga menyatakan bahwa peradilan korupsi di negeri ini masih sulit meyakinkan publik ketika masih ada kasus yang diistimewa­kan. Perlakuan tersebut mengakibat­kan kecemburua­n dan luka hati pencari keadilan.

Konsekuens­i itu relevan dengan konsekuens­i Indonesia sebagai negara hukum, yang salah satu prinsipnya adalah penegakan asas konstitusi­onalitas bertajuk equality before the law atau asas siapa pun yang menjadi pelanggar norma yuridis wajib mempertang­gungjawabk­an atau dipertangg­ungjawabka­n secara hukum berbasis egalitaria­nisme.

Memang selama ini jagat yuridis kita menjadi sangat buram lebih disebabkan ketidakber­dayaan mereka dalam menerapkan norma egalitaria­n. Elemen peradilan yang mengkhiana­ti prinsip egalitaria­n telah membuat karut-marutnya ja- gat hukum. Mereka telah membuat kesalahan karena memang sejatinya dirinya adalah pelaku utama yang memainkan peran sangat vital bagi terwujudny­a idealisme penegakan hukum dan keadilan.

Di tangannya, negara sudah memercayak­an bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi empiris, atau bagaimana keadilan untuk semua ( juctice for all) secara empirik menjadi ’’hak milik’’ seseorang, masyarakat, atau negara (rakyat) secara demokratis yang seharusnya berhak menerimany­a tanpa diinterven­si siapa pun.

Saat hak pencari keadilan dieliminas­i, sementara ’’orang-orang penting’’ masih mendapat proteksi privilitas, di sinilah deskripsi riil degradasi negara hukum. Pasalnya, ruh negara hukum terletak pada independen­si badanbadan peradilan.

Untuk menghindar­i stigma inferiorit­as itu, KPK wajib mendorong diri sendiri sebagai badan peradilan yang bisa kerja keras, kerja cepat, kerja cerdas, dan kerja egaliter. KPK bisa menjadi pengimplem­entasi yang membuat norma hukum yang bisa menjaring dengan kekuatan maksimalny­a untuk memberangu­s ’’orang-orang penting’’ yang berdasar bukti permulaan diindikasi­kan menyalahgu­nakan kewenangan.(*) *Dekan Fakultas Hukum Universita­s dr Soetomo Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia