Surabaya rasa eropa
Jejak Kolonial di Kawasan Utara
SURABAYA – Surabaya memang mempunyai sejuta cerita. Ada berbagai cara untuk menikmati Kota Metropolis tersebut. Salah satunya, melihat bangunan lama di daerah Krembangan dengan berjalan kaki.
Minggu siang (16/10) itu, hujan tidak dapat menghentikan langkah komunitas Love Suroboyo untuk menelusuri Kampung Eropa. Puluhan orang berkumpul di ruang pameran Museum Bank Indonesia. Awalnya, mereka akan mulai berkeliling pada pukul 08.00. Namun, start terpaksa ditunda lantaran hujan deras. Satu jam kemudian, intensitas hujan menurun. Walaupun gerimis masih turun, panitia tetap memutuskan untuk jalan-jalan.
”Ada beberapa gedung yang tidak bisa dikunjungi karena hujan,” tutur Ketua Love Suroboyo Shandy Setyawan. Sejatinya, ada 12 tempat yang akan dikunjungi. Panitia memutuskan hanya akan mendatangi gedung-gedung di kawasan Jalan Rajawali dan Jalan Jembatan Merah. Total, ada enam gedung yang didatangi
Di tempat start, gedung Eks De Javasche atau Museum Bank Indonesia, peserta dapat menikmati peninggalan bank.
Ada alat-alat untuk membuat uang hingga berbagai macam uang yang pernah dikeluarkan Bank Indonesia. Jika diamati lebih cermat, bangunan tersebut merupakan gabungan dari arsitektur nuansa neorenaissance empire dengan atap mansart serta pilar yang berornamen Hindu-Jawa.
De Javasche merupakan bank yang kali pertama berdiri di Batavia pada 24 September 1828. Satu tahun kemudian, tepatnya pada 14 September 1929, bank itu membuka cabang di Surabaya. Namun, bangunan aslinya telah dirobohkan pada 1907. Jadi, bangunan yang dapat dilihat sekarang bukan bangunan asli.
Gedung kedua yang dikunjungi adalah Hotel Ibis di Jalan Rajawali. Sayangnya, tempat tersebut sudah digunakan untuk bisnis sehingga peserta tidak bisa bebas keluarmasuk. Peserta hanya bisa menikmati dari luar.
”Dulunya, Hotel Ibis bernama gedung Geo Wehry & Co,” kata Shandy. Sejak awal, gedung itu berbentuk segi empat dan memanjang ke belakang. Bagian depan digunakan sebagai kantor dan bagian belakang untuk gudang.
Di samping Hotel Ibis, terdapat Gedung Cerutu. Gedung yang dulunya merupakan kantor Bank Bumi Daya tersebut sekarang juga masih digunakan untuk perkantoran. Bank Mandiri menggunakan gedung itu sebagai kantornya.
Gedung yang dibangun pada 1916 tersebut juga dikenal sebagai kantor Said bin Oemar Bagil. Arsitek yang membangun Gedung Cerutu adalah N.V. Maatschappij Tot Exploitatite van Het Technisch Bureau Gebroeders Knaud.
Perjalanan pun dilanjutkan ke Gedung Singa. Gedung yang dibangun pada 1901 itu tidak bisa dimasuki karena sudah tidak digunakan lagi. ”Dinamakan Gedung Singa karena ada dua patung singa di depan,” ucap Shandy sambil menunjuk patung tersebut.
Tempat keempat yang dikunjungi ialah Museum Hidup Polri. Museum itu berada di dalam area Polrestabes Surabaya. Di museum tersebut pengunjung dapat melihat berbagai atribut yang sering digunakan polisi. Mulai seragam, senjata, hingga pejabat-pejabat di lingkungan kepolisian. Pengunjung pun diperkenankan memukul lonceng yang dulunya digunakan sebagai penanda waktu.
Dari Museum Hidup Polri, peserta diajak jalan-jalan ke Gedung PTPN XI. Gedung itu semula bernama Namblodse Venotschaaf Handels Vereeniging Amsterdam. ”Dulunya merupakan perusahan milik Hindia Belanda yang mengontrol produksi gula di Jawa bagian Timur,” jelasnya. Setelah Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi pada 1958, gedung yang dimiliki Hindia Belanda tersebut menjadi Gedung PTPN XI.
Tempat terakhir yang dikunjungi adalah bungker di Jalan Rajawali. Berbeda dengan tempat lainnya, bungker itu digunakan untuk tempat tinggal warga. Bungker persegi panjang tersebut berukuran 8 x 8 meter dengan tinggi 2,5 meter. Ketika pengunjung masuk, ruangan terasa pengap karena sirkulasi udara kurang. Bungker itu berada di belakang deretan bangunan tua dekat kantor Korps Cacat Verteran Republik Indonesia.
Jalan-jalan tersebut tidak hanya dilakukan di Kampung Eropa. Rencananya, akhir bulan ini Komunitas Love Surabaya juga akan mengunjungi daerah Ampel yang terkenal dengan Kampung Arab. (lyn/c20/dos)