Telaah Feminisme gara-gara Cerbung
Prof Darni Pakar Ilmu Sastra Jawa Modern Unesa
SURABAYA – Penampilan Prof Dr Darni M Hum kemarin siang (2/11) begitu bersahaja. Busana bernuansa cokelat membuatnya tampil manis. Dia baru saja selesai mengajarkan mata kuliah sejarah sastra Jawa di Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Sesuai keilmuannya di bidang sastra Jawa, Darni hampir selalu berinteraksi dengan menggunakan bahasa Jawa. ” Kalawingi kitha sampun bahas cerkak. Kados pundi napa sampun dipun garap? Monggo dikempalaken rumiyin (kemarin kita sudah membahas cerpen. Apa sudah dikerjakan? Ayo dikumpulkan dulu),” katanya.
Darni mengaku lebih suka berinteraksi dengan para mahasiswa menggunakan bahasa Jawa halus alias basa krama. Selain karena kurang lancar dan tidak terbiasa berbahasa Jawa kasar atau ngoko, dia ingin mengajarkan tutur bahasa Jawa yang halus. ”Supaya terbiasa,” tegasnya.
Perempuan yang lahir di Magetan pada 26 September 1965 itu menamatkan studi S-3 pendidikan bahasa dan sastra di Unesa pada 2012. Sebelumnya, Darni kuliah S-1 pendidikan bahasa daerah di IKIP Negeri Surabaya. Dia lulus pada 1989. Kemudian, dia menapaki karir sebagai dosen di almamaternya hingga saat ini. Selama menjadi dosen, dia juga menempuh tugas belajar pascasarjana Universitas Indonesia bidang ilmu susastra.
Perempuan yang dikukuhkan sebagai guru besar ilmu sastra Jawa pada 6 Maret 2015 tersebut mengatakan sejak lama tertarik pada bahasa daerah. Maklum, cita-citanya sejak kecil menjadi pengajar. Saat di sekolah menengah, Darni memilih sekolah pendidikan guru (SPG). Dia tentu harus melanjutkan menjadi sarjana. ”Saya memang berminat pada bahasa. Waktu itu, saya memilih tergesa-gesa, tapi akhirnya diterima (di jurusan pendidikan bahasa daerah),” kenangnya.
Meski tergesa-gesa, Darni tidak asal-asalan. Kesungguhannya membuahkan hasil. Pada semester 3 saat jenjang S-1, dia mendapat beasiswa.
Istri Ragil Suparlan itu mengungkapkan, mulai jenjang S-2, dirinya menggeluti gender. Dia mengkaji sastra murni. Darni pun berkecimpung dalam mata kuliah kritik sastra feminis. Darni tertarik pada cerbung (cerita bersambung) berjudul Siti Aminah yang terbit secara kontinu di sebuah majalah berbahasa Jawa.
Kisah dalam cerbung tersebut cukup menarik. Seorang asisten rumah tangga cantik yang disukai anak bos. Bisa dibilang, itulah kisah perempuan muda yang dianggap lemah dan disepelekan laki-laki. Dari situ, Darni menelaah feminisme. Bahkan, pada 1997 penelitian pertamanya tentang studi kajian perempuan dibiayai Ditjen Dikti.
Di bidang ilmu sastra Jawa modern, Darni satu-satunya pakar di Unesa. Nilai-nilai tradisional dalam sastra Jawa, kata Darni, masih khas dan relevan dengan kehidupan masa kini. Meski begitu, dia menyayangkan dengan feminisme yang cenderung kebablasan. Misalnya, perempuan yang hanya berorientasi kerja. ”Ke depan butuh regenerasi kritikus untuk sastra Jawa,” harapnya. (puj/c7/nda)