23 Pasal RUU Pemilu Bermasalah
Menabrak Putusan Mahkamah Konstitusi
JAKARTA – Ketelitian dan pilihan politik pemerintah dalam menyusun draf Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu mendapat sorotan. Kajian yang dilakukan lembaga Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menemukan 23 pasal yang berpotensi inkonstitusional. Baik bertentangan dengan UUD 1945 maupun putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal-pasal yang dinilai inkonstitusional itu terbagi sembilan norma. Di antaranya, terkait penyelenggara, syarat calon, sistem pemilu, keterwakilan perempuan, syarat parpol dalam pengajuan capres dan cawapres, serta larangan kampanye pada masa tenang. Selain itu, ada norma ketentuan sanksi kampanye, waktu pemilu susulan, dan putusan DKPP terkait dengan etika penyelenggara pemilu.
Salah satu di antara beberapa pasal yang dinilai inknstitusional, pasal 14 ayat (1) huruf (i) yang hanya mewajibkan mundur bagi anggota partai, pejabat negara, dan pejabat pemerintah yang maju sebagai anggota KPU. Padahal, putusan MK No 81 Tahun/ PUU IX- 2011 mensyaratkan pengunduran diri dilakukan lima tahun sebelumnya.
Pasal 138 ayat (2) tentang sistem pemilu proporsional terbuka terbatas juga dinilai bertentangan dengan putusan MK No 22/ PUU IV-2008. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa penetapan calon terpilih adalah berdasar suara terbanyak, bukan didasarkan kepada nomor urut teratas.
Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, berbagai catatan itu harus menjadi perhatian pansus RUU Pemilu di DPR. Sebab, pada hakikatnya, produk perundang-undangan tidak boleh melanggar konstitusi. ’’Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, jadi harus diakomodasi,’’ ujarnya di Kopi Deli, Jakarta, kemarin (3/11).
Jika itu tidak diakomodasi, Veri khawatir produk yang nanti dihasilkan pemerintah dan DPR cacat hukum sehingga memantik arus judicial review di MK. Dikhawatirkan hal itu akan mengganggu tahapan pemilu yang berlangsung. ’’Ini tidak menguntungkan ba gi penataan grand desain kepemiluan,’’ imbuhnya. Pasal 428 ayat 2 dan 6 tentang sanksi pidana pemilu bagi pengumuman survei pada masa tenang bertentangan dengan Putusan MK No 24/PUU-XII/2014 yang menyatakan bukan termasuk pidana pemilu.
Saat dimintai konfirmasi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menjawab dengan enteng. Dia membantah pemerinah mengabaikan putusan MK. ’’Tidak mungkin inkonstitusional,’’ ujarnya saat di Kantor Kemendagri Jakarta.
Menurut dia, pihak yang merasa tidak sesuai dengan pemahaman pemerintah masih bisa diakomodasi dalam pembahasan di pansus DPR. ’’Umpamanya kami kan menyiapkan nasi padang; kalau ada yang gak enak, ya tinggal disingkirkan,’’ kata politikus PDIP tersebut.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menyoroti usulan pemerintah terkait dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Menurut Riza, setelah pihaknya mempelajari draf RUU Pemilu usulan Pasal 412 ayat (3) yang meminta penetapan pemilu lanjutan dilakukan presiden (jika pemilu tidak dilaksanakan di 40 persen jumlah provinsi) bertentangan dengan pasal 22E ayat 5 yang menegaskan KPU sebagai lembaga mandiri. pemerintah, sistem tersebut mirip dengan sistem proporsional tertutup.
’’Setelah kami lihat, ternyata yang dicoblos tidak lagi nama caleg atau nomor urut caleg. Ketentuannya dicoblos nama parpol, nomor urut parpol, atau tanda gambar parpol,’’ kata Riza.
Riza menilai, dengan kontestasi pemilu nasional yang berlangsung serentak, idealnya sebaiknya tetap pada proporsional terbuka. Pada era saat ini, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Karena itu, regulasi UU Pemilu sebaiknya cukup mengatur, tidak membatasi kedaulatan rakyat tersebut. ’’Kalau parpol tidak mau si A atau si B menjadi anggota dewan, ya tidak usah dicalonkan. Parpol kan punya kewenangan luar biasa dalam penjaringan dan seleksi calon,’’ kata Riza. (far/bay/c4/fat)