RUU Pemilu Potensial Terlambat Disahkan
Waktu Terbatas, Belum Kunjung Dibahas
JAKARTA – Tahapan Pemilu 2019 dimulai pada pertengahan tahun depan. Di sisi lain, waktu yang tersisa untuk menyelesaikan draf yang berisi kodifikasi tiga undang-undang (UU) itu tidak terlalu banyak. Padahal, pemerintah menargetkan selesai dalam dua kali masa sidang.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menjelaskan, waktu dua kali masa sidang sulit untuk tercapai. Sebab, jika mengacu pengalaman sebelumnya, setidaknya dibutuhkan satu tahun untuk menyelesaikan draf UU Pemilu.
”Ini makanya harus dipertimbangkan,” ujarnya di Jakarta kemarin (4/11). Fadli mengusulkan agar pembahasan dilakukan secara efektif. Salah satu caranya ialah menyelesaikan perdebatan di internal pansus.
Dengan begitu, lanjut Fadli, saat pembahasan nanti, perdebatan tinggal menyisakan pansus dan pemerintah. Berbeda halnya dengan kebiasaan sebelumnya. Perdebatan terjadi antara pemerintah dan berbagai fraksi. ”Kalau pemerintah menghadapi masingmasing fraksi, itu memperlama pembahasan,” tuturnya.
Jika mekanisme semacam itu tidak bisa terealisasi, konsekuensinya adalah pemerintah dan DPR harus menyelamatkan tahapan pilkada dengan mengesampingkan perdebatan isu-isu krusial. Misalnya, pembahasan sistem pemilu, metode konvensi suara, atau penataan kelembagaan tetap menggunakan sistem yang lama.
Pernyataan serupa disampaikan Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampouw. Dia menilai pembahasan RUU Pemilu memiliki titik rawan pada persoalan waktu. Dengan sisa waktu yang ada, draf RUU Pemilu harus selesai setidaknya saat tahapan Pemilu 2019 dimulai pada April 2017.
Namun, pembahasannya memiliki tantangan tersendiri karena draf yang diusulkan pemerintah. ”Pemerintah menawarkan sistem yang rumit. Saya agak khawatir pada target waktu. Kalau banyak substansi yang diutak-atik, proses pembahasannya akan banyak dan lama,” katanya.
Menurut Jerry, perubahan sistem pemilu akan menjadi topik pembahasan yang memakan waktu. Perbedaan antarfraksi diprediksi sulit mendapatkan titik temu karena terkait dengan strategi parpol menghadapi Pemilu 2019. Belum lagi jika berbicara tentang mekanisme penghitungan kursi ataupun terkait ambang batas pencalonan. ”Soal ambang batas ini apakah sudah disimulasi sama pemerintah, termasuk metode penghitungannya,” ujar dia.
Jerry menilai penetapan ambang batas, terutama untuk pencalonan presiden dan wakil presiden, berpotensi melanggar hak konstitusi. Semestinya semua parpol yang nanti dinyatakan sebagai peserta pemilu berhak mengajukan calon. ”Justru yang harus diperkuat adalah seleksi parpol peserta pemilu di KPU. Waktunya harus lebih panjang. Karena KPU dulu tidak cukup waktu melakukan verifikasi faktual,” ujarnya.
Jerry juga mengingatkan beratnya beban penyelenggara pemilu nanti. Berkaca pada pengalaman pemilu sebelumnya, masih ada sejumlah hambatan pelaksanaan pemilu yang berjalan terpisah. Saat ini, dengan pemilu legislatif dan presiden berjalan serentak, beban penyelenggara pemilu akan bertumpuk-tumpuk. ”Beban kerja akan menumpuk di waktu tertentu. Misalkan saat verifikasi parpol,” ungkapnya. (far/bay/c9/fat)