Pemkot Tetap Minta Underpass
Infrastruktur Pengurai Crossing Bundaran Dolog
SURABAYA – Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) VIII memiliki banyak opsi untuk mengurai crossing di bundaran Dolog. Setelah underpass ditolak karena dinilai tidak prestisius dan menelan anggaran jumbo, BBPJN VIII berencana menggantinya dengan flyover.
Namun, agaknya, rencana tersebut tidak bisa direalisasikan. Pemkot menolak proyek flyover di bundaran Dolog. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Agus Imam Sonhaji mengatakan, dirinya mendapat pemberitahuan resmi dari BBPJN VIII terkait dengan proyek underpass yang ditolak pemerintah pusat.
Namun, soal opsi flyover yang ditawarkan untuk mengurai crossing di bundaran Dolog, Agus menolak. ”Awalnya kan sudah deal underpass,” kata alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu
Dia menuturkan, perubahan rencana dari underpass menjadi flyover bertentangan dengan keinginan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Sejak awal, Risma menginginkan underpass karena flyover dikhawatirkan bisa mematikan bangunan yang ada di bawahnya. ”Bu Risma nggak mau kalau flyover. Maunya tetap underpass,” tegas Agus.
Selama ini proyek-proyek pusat yang berada di Surabaya selalu lamban. Sebut saja proyek angkutan masal cepat (AMC) dan pelebaran Jalan Kalianak. Lalu, mengapa proyek tersebut tidak dikerjakan pemkot saja? Toh, Surabaya bisa membangun Jembatan Suroboyo senilai Rp 199 miliar. Anggaran untuk membangun underpass di bundaran Dolog tidak jauh-jauh dari nilai tersebut, yaitu Rp 203 miliar.
Agus menambahkan, Jembatan Suroboyo menjadi proyek dengan nilai besar satu-satunya yang dikerjakan pemkot. Untuk mengambil alih proyek bundaran Dolog, dia merasa tidak mungkin. ” Duit teko endi (uang dari mana)? Kalau skala besar, kita mengandalkan dana dari pusat,” paparnya.
Anddys Firsanti, pakar arsitektur lanskap, menilai bahwa underpass dan flyover memiliki fungsi yang sama. Akan tetapi, masing-masing jalan punya sisi negatif. Misalnya, underpass memiliki desain yang lebih tertutup dan minim pencahayaan. Itu bisa memicu tindak kriminalitas. ”Kualitas ruang biasanya gelap. Sering kali tidak terawat sehingga potensi kejahatan dan vandalisme semakin besar,” katanya.
Sebaliknya, flyover dianggap lebih baik. Anddys memandang, flyover tidak selalu berpotensi mematikan bangunan yang ada di bawahnya. Salah satu contohnya adalah jalan di bawah tol Pondok Tjandra. Jalan tersebut tetap ramai sebagai aktivitas perdagangan.
Selain itu, di Bandung, ruang di bawah flyover justru dijadikan taman aktif, yakni Taman Film dan Taman Pasupati. ”Saya yakin di Surabaya mungkin bisa dieksplorasi lebih kreatif,” terangnya.
Sementara itu, Haryo Sulistiyarso, pakar lalu lintas dari ITS, mengungkapkan, pembangunan flyover di Jalan Ahmad Yani memang dianggap tidak sejalan dengan program wali kota. ”Surabaya pernah mendesain komuter elevated. Kalau di Dolog dibangun flyover, jelas nggak masuk dengan rencana kota,” tuturnya.
Dia menambahkan, nanti jalur komuter elevated dibangun di atas rel kereta api yang ada di sepanjang Ahmad Yani. Rencananya, transportasi masal tersebut melintas mulai Jalan Ahmad Yani, Waru, hingga Juanda. Lalu, komuter elevated bakal berputar balik ke Kandangan dan finis di Stasiun Semut. (rst/sal/c7/dos)