Jawa Pos

Dewan Minta Pekerja Realistis

Tarik Ulur Penetapan UMK

-

SIDOARJO – Dalam penetapan upah minimum kabupaten (UMK) Sidoarjo 2017, sejauh ini masih terjadi tarik ulur. Serikat pekerja belum sepakat dengan besaran UMK hasil perhitunga­n upah dari pemkab dan pengusaha. Yakni, sebesar Rp 3.290.800. Menyikapi tarik ulur itu, DPRD Sidoarjo pun ikut bersuara

Wakil Ketua Komisi D (Bidang Kesejahter­aan Rakyat) DPRD Sidoarjo Wiyono menyatakan, UMK memang harus dihitung sesuai Peraturan Pemerintah ( PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Inflasi dan pertumbuha­n ekonomi menjadi pertimbang­an. ”Saat ini acuannya bukan KHL (kebu tuhan hidup layak) lagi,” katanya kemarin (4/11).

Politikus PDIP tersebut menjelaska­n, pekerja harus melihat kondisi ekonomi saat ini yang belum sehat. Tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar. Jika pekerja menuntut kenaikan UMK yang terlalu tinggi, bukan tidak mungkin perusahaan akan pindah ke wilayah lain dengan UMK lebih rendah daripada Sidoarjo. ”Kita harus melihat kemampuan perusahaan. Sebab, kemampuan perusahaan satu dengan yang lain tentu tidak sama,” terangnya.

Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Hubungan Tenaga Kerja Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnake­r) Sidoarjo Joko Sayono mengakui, buruh belum sependapat dengan nilai UMK usulan dari pemkab dan Apindo. Mereka menuntut tetap mengacu KHL. ”Katanya, mereka melakukan survei sendiri,” ujarnya.

Sebelumnya, dalam survei versi pekerja, nilai UMK yang didapatkan jauh lebih besar. Nilainya mencapai Rp 3,7 juta. Joko kembali menegaskan bahwa metode perhitunga­n dengan menggunaka­n KHL sudah tidak lagi dipakai. Sebetulnya, dewan pengupahan sudah berkalikal­i melaksanak­an rapat penetapan UMK. Namun, hingga tujuh kali pertemuan, belum ada kesepakata­n. Pekerja belum bisa menerimany­a. ’’Dalam waktu dekat, kami undang lagi untuk rapat,” katanya.

Sementara itu, serikat pekerja sebetulnya tidak bermasalah dengan usulan UMK sebesar Rp 3.290.800. Namun, ada beberapa catatan. Antara lain, pemkab menjamin keberlangs­ungan tenaga kerja dan menindak tegas pelanggara­n yang dilakukan perusahaan.

Sedikitnya, ada lima pe- langgaran yang kerap dilakukan perusahaan. Salah satunya, tidak melakukan wajib lapor ketenagake­rjaan pada pemerintah setempat. Padahal, kebijakan tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagake­rjaan. Misalnya, data jumlah tenaga kerja yang baru didatangka­n, pemenuhan tanggung jawab terhadap pekerja, kemampuan produksi suatu perusahaan, hingga akuntabili­tas pendapatan perusahaan.

’’Masih banyak kewajiban administra­si itu yang belum dipenuhi,” ungkap Ketua DPC Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sidoarjo Bidang Logam Elektrik dan Mesin M. Soleh. (aph/c20/hud)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia