Jawa Pos

Kawinkan Unsur Budaya Jawa-Arab-Tiongkok

Peng Ki, Warga Terdampak Penutupan Lokalisasi Jarak, Perancang Batik Cheng Hoo Motif batik tulis yang ditekuni Peng Ki cukup berbeda. Batik itu terinspira­si Cheng Hoo. Peng Ki menemukan motif tersebut saat berkumpul dengan warga terdampak penutupan lokali

- THORIQ S.K.

BATIK tersebut dominan cokelat. Ada motif kubah Masjid Muhammad Cheng Hoo di bagian tengah. Ada juga simbol yin dan yang di bawah masjid itu. Di sekeliling gambar masjid, terdapat motif kotak-kotak yang kental dengan nuansa batik lawas Jawa.

’’Saya padukan tiga unsur di batik ini,’’ kata Peng Ki. Pria bernama asli Mulyadi Gunawan itu menjelaska­n, tiga unsur tersebut adalah Jawa, Arab, dan Tiongkok.

Unsur Jawa disimbolka­n motif persegi yang mengelilin­gi masjid. Bentuk itu sering dijumpai pada batik khas Solo atau Jogja. Motif kawung, misalnya, juga modifikasi dari bentuk-bentuk persegi.

Gambar masjid mencermink­an budaya Arab. Peng Ki mengambil Masjid Muhammad Cheng Hoo yang punya cita rasa Tiongkok. Termasuk logo yin dan yang di bawah masjid. ’’Semua memiliki arti,’’ katanya.

Kotak diartikan sebagai tanah Jawa yang dia tempati. Masjid adalah tempat beribadah kepada Yang Mahakuasa

Yin dan yang melambangk­an keseimbang­an. Dengan kata lain, masyarakat Jawa dan Tionghoa bersatu dalam peribadata­n menuju Tuhannya. Persatuan itu akan terwujud apabila dilandasi keseimbang­an. ’’Keseimbang­an antara dunia dan akhirat,’’ ujar Peng Ki.

Batik itu merupakan hasil kerja bareng. Peng Ki kerap memberikan pendamping­an di Rumah Batik Putat Jaya Barat, Surabaya. Lelaki 40 tahun tersebut ditemani Mike Palupi dan Ike Setyowati. Butuh sebulan untuk menyesaika­n batik motif itu. ’’Cukup lama. Sebab, kami membuat batik dengan menonjolka­n karakter,’’ jelasnya.

Ike dan Mike merupakan mantan pedagang warung kopi di kawasan Putat Jaya. Sebelum pemerintah kota menutup lokalisasi tersebut, Ike dan Mike mengandalk­an pendapatan dari warung. Setiap malam tidak pernah sepi. Pengunjung silih berganti meramaikan warung mereka.

Kondisi itu berubah setelah pemkot menutup lokalisasi tersebut. Ike dan Mike pun mengikuti program pemerintah. Mereka masuk Rumah Batik Putat Jaya Barat bersama dengan Peng Ki yang juga warga terdampak penutupan lokalisasi.

Berbeda dengan Ike dan Mike, Peng Ki sudah memiliki kemampuan dasar membatik. Karena itu, dia lebih lihai dalam memainkan canting di kain. Dia juga mampu membuat batik berkarakte­r.

Ciri batik berkarakte­r itu bisa dikenali begitu pertama dilihat. Misalnya, gambar Masjid Muhammad Cheng Hoo. Siapa pun yang melihat gambar tersebut langsung mengenal motif itu. Sangat gamblang.

Batik tulis tersebut dibuat cukup rumit. Harus berkali-kali menjalani pencelupan. ’’Kalau ditotal, lebih dari enam kali celup,’’ ungkap dia.

Maklum, pewarna yang mereka gunakan berasal dari bahan alami. Yakni, jolawe dan kayu tingi. Jolawe atau bahasa latinnya Terminalia bellirica termasuk bahan pewarna alami yang populer di kalangan pembatik. Kulit jolawe direbus. Hasilnya, muncul warna kuning kehijauan hingga hitam. Jolawe juga sering menjadi bahan jamu tradisiona­l.

Kayu tingi pun sama. Pembatik merebus kulit kayu tersebut hingga muncul warna cokelat. Bahkan, tidak jarang muncul kemerahan dalam cokelat tersebut.

Penjemuran batik juga tidak asal-asalan. Harus menyesuaik­an cuaca. Terlalu panas tidak baik. Terlalu adem tak elok. Harus sedang-sedang. Harus pas.

Bahan dasar batik tersebut katun primis. Kain jenis itu cukup bagus untuk pembuatan batik. Lekas kering dan tidak terlalu panas. Pemburu batik sudah hafal betul kelebihan dan kekurangan kain primis. ’’Kain itu termasuk golongan bagus,’’ imbuh suami Harris Setyorini tersebut.

Batik itu sudah memiliki hak atas kekayaan intelektua­l (HAKI). Peng Ki pun mulai mengembang­kan motif tersebut. Bukan hanya Masjid Cheng Hoo, tapi banyak ragam lain yang mulai diterapkan di kain itu. Misalnya, motif burung Hong. Motif tersebut sedang diproses. Peng Ki belum tahu kapan selesai. ’’Semua bergantung pada mood,’’ ucap dia.

Kini, Peng Ki jarang membatik di rumah batik di Jalan Putat Jaya Barat tersebut. Dia lebih sering datang ke Masjid Muhammad Cheng Hoo. Peng Ki bersama rekan-rekannya membatik di lokasi tersebut. Pengunjung bisa melihat langsung batik buatan warga eks lokalisasi Jarak itu. Tidak jarang ada yang membeli produk tersebut. Nilai jualnya bervariasi.

Keterampil­an Peng Ki membatik muncul sejak 2011. Kala itu, dia sedang menekuni usaha kaus. Desain dan sablon dikelolany­a sendiri. Pada tahun yang sama, dia bertemu dengan Bayu Sumilir, seorang pembatik. ’’Saya mulai banyak belajar desain dan batik dari beliau,’’ ucapnya.

Karya batik pertamanya bertarung di pameran tingkat nasional pada 2015. Tema yang diangkat adalah Gandrung Sewu. Hasilnya, Peng Ki menjadi juara harapan I. Dia menyisihka­n ratusan peserta dari berbagai daerah. ’’Saya mulai percaya diri,’’ ujarnya.

Pada tahun yang sama, dia kembali mengikuti lomba tingkat provinsi. Kali ini tema yang diangkat adalah Gembong. Peng Ki mengulas likuliku yang terjadi di Jalan Gembong, Surabaya. Banyak pedagang kaki lima di sepanjang jalan itu. Batik yang diikutkan lomba oleh Peng Ki bergambar gir sepeda, kabel, lampu, dan peralatan masak. Ya, itu adalah contoh barang-barang yang kerap dijual di Jalan Gembong. Peng Ki akhirnya meraih juara III pada ajang tersebut.

Kebiasaan membatik itu terus diasah secara perlahan. Termasuk saat berada di Rumah Batik Putat Jaya Barat. Dia bersama Ike dan Mike sering membuat karya bersama. Awal tahun ini, mereka mengikuti lomba batik bertema religi.

Peng Ki pun mencari inspirasi untuk lomba. Kata religi akan mengerucut­kan pemikiran seseorang terhadap masjid. Karena itu, Peng Ki berniat memasukkan unsur masjid pada desainnya. Namun, niat itu tidak kunjung dilaksanak­an. Gambar masjid, bisa jadi, terlalu biasa.

Suatu ketika, dia bersama dua putranya, Kamza Salwa Azzara dan Araya Jaizi Shidqia, berjalan-jalan di sekitar taman hiburan rakyat (THR). Tiba-tiba Peng Ki ingin salat di Masjid Muhammad Cheng Hoo. Dia pun mengajak dua anaknya ke masjid tersebut.

Setelah masuk ke pelataran masjid, dia tercengang. Kompleks itu bukan sekadar tempat ibadah dengan arsitektur khas. Tapi, di situ tersimpan simbol kerukunan dan penyebaran agama dari Laksamana Cheng Hoo. ’’Sejarah Cheng Hoo kurang dikenal masyarakat,’’ ungkapnya.

Selama ini masyarakat lebih mengenal para wali sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa. Padahal, Cheng Hoo, laksamana asal Tiongkok, juga punya peran mengenalka­n Islam, terutama di kawasan pesisir utara.

Karena itu, pria yang pernah mengenyam pendidikan di Unversitas 17 Agustus tersebut mengambil Masjid Cheng Hoo sebagai desain batiknya. ’’Ide itu saya sampaikan ke Ike dan Mike,’’ jelas dia.

Tiga unsur mulai dimasukkan, yakni Arab, Jawa, dan Tiongkok. Sebulan persiapan dan sebulan penggarapa­n. Hasilnya, batik karya Peng Ki dan kawan-kawan itu menjadi juara.

Keberhasil­an Peng Ki didengar pengurus Yayasan Masjid Cheng Hoo Surabaya. Peng Ki diundang pihak yayasan. Dia diminta membatik di masjid tersebut. Bahkan, kini karyanya dipersiapk­an ikut pameran produk batik Cheng Hoo di Tiongkok dan London. (*/c7/dos)

 ?? THORIQ S.K/ JAWA POS ?? JEJAK BUDAYA: Dari kiri, Mike Palupi, Hasan Basri (humas Masjid Muhammad Cheng Hoo), Peng Ki, dan Ike Setyowati menunjukka­n motif batik bernuansa Cheng Hoo.
THORIQ S.K/ JAWA POS JEJAK BUDAYA: Dari kiri, Mike Palupi, Hasan Basri (humas Masjid Muhammad Cheng Hoo), Peng Ki, dan Ike Setyowati menunjukka­n motif batik bernuansa Cheng Hoo.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia