Jawa Pos

Dimensi Pelanggara­n ITE Kasus Ahok

-

MARAKNYA media online, mahalnya biaya komunikasi menjadi murah. Hadirnya ratusan ribu umat Islam dari berbagai daerah di Istana Merdeka pada 4-11-2016 diakui banyak didukung media sosial: broadcast Facebook, WhatsApp, Twitter, YouTube, dan media sosial (medsos) yang lain. Baik yang bersifat undangan maupun berita perkembang­an kasus, sangat mudah dan cepat diperoleh melalui medsos yang terus menjamur. Medsos telah merasuki puluhan juta keluarga Indonesia.

Selain manfaat, medsos melahirkan banyak pelanggara­n dan kejahatan. Kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu mencuat dengan kecepatan luar biasa, melalui YouTube. Tayangan viralnya di FB dan WA membuat umat Islam tersinggun­g, kemudian melapor ke Mabes Polri. Diduga, terlapor melanggar KUHP Penistaan Agama. Di sisi lain, ada pihak yang diduga menyebarlu­askan video Ahok tersebut melalui Facebook. Sang pelaku, Buni Yani ( Jakarta), juga dilaporkan ke polisi karena diduga melanggar UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sementara penanganan dua kasus ini berjalan, diperkirak­an bakal muncul kasus baru lagi. Orasi Dhani Ahmad (DA) pada demo 411 itu, yang juga diedit dan disebarkan melalui YouTube, diduga juga terjadi pelanggara­n pidana: fitnah (pasal 311 ayat 1 KUHP) dan pencemaran nama baik (pasal 310 ayat 2 KUHP). Belum diketahui apakah penyunting ucapan DA di YouTube juga bakal dilaporkan ke polisi? Entah siapa lagi yang bakal menjadi ’’korban’’ UU ITE berikutnya.

Peradilan terbaru atas pelanggara­n ITE menimpa Yusniar. Ibu rumah tangga di Makassar itu ditahan kejaksaan karena pelanggara­n sepele. Bermula rumah orang tuanya dirusak lebih dari 100 orang, di antara mereka ada pengacara dan anggota DPRD. Atas kekecewaan­nya, Yusniar menulis status di Facebook dengan menyebut (anggota DPR telo dan pengacara telo). Ucapan yang tanpa menyebut nama itu pun dilaporkan ke polisi. Langsung Yusniar ditahan. Peristiwa 13 Maret 2016 itu kini memasuki sidang di PN Makassar dengan tuduhan pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman hukuman 6 tahun atau denda Rp 1 miliar.

Pasal 27 ayat 3 juga dijeratkan polisi kepada pemilik akun Twetter @benhan alias Benny Handoko. Mahasiswa S-2 di Jakarta itu dinyatakan bersalah atas tin- dak pidana pencemaran nama baik terhadap anggota DPR M. Misbakhun. Dia divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Terlepas dari beraneka ragam motif pelanggara­n UU ITE, kiranya perlu dipikirkan apakah semua orang berpikiran jahat saat menyampaik­an pokok-pokok pikirannya di hadapan publik? Apakah memanggil orang dengan sebutan ’’DPRD Telo’’, kemudian ada tersinggun­g dan melapor ke polisi, sudah memenuhi syarat pelanggara­n pidana?

UU ITE sudah saatnya dikawal oleh Komisi Pengawasan ITE, yang bertugas memberikan pengawasan dan sosialisas­i terhadap UU itu. Walau UU tersebut disahkan April 2008, pematuhan oleh masyarakat sangat kurang. Akibatnya, kini sudah terjerat beberapa korban. Menurut Catatan Ringkas Tata Kelola dan Praktik Internet di Indonesia ICT Watch, UU itu telah memakan 32 korban pencemaran nama baik.

Pelaku penulisan di medsos bisa dijerat dua UU, yakni KUHP dan UU ITE. Bila tidak dilakukan pendamping­an dan sosialisas­i, dikhawatir­kan kemerdekaa­n menyatakan pendapat yang telah dijamin UUD 1945 bakal mati, seperti zaman Soeharto. Padahal, publik berhak menyampaik­an pendapat tanpa harus takut merasa diawasi, dikekang, atau dibungkam. Pengguna gadget yang jumlahnya lebih dari 70 juta orang seolah terpasung akan kebebasan berpendapa­t. Karena itu, pemerintah hendaknya segera menghentik­an praktik pembungkam­an pendapat di dunia maya. Pemerintah harus bisa melindungi kebebasan berpendapa­t warganya.

Dalam sepuluh tahun terakhir, saat media online mulai tumbuh, banyak media cetak menutup halaman opininya. Banyak kritik dan suara masyarakat disalurkan melalui radio dan media online. Sayang, lembaga yang concern terhadap media online sampai kini belum mendapat perhatian. Akibatnya, kemerdekaa­n menyatakan pendapat yang disampaika­n melalui media online acap kali terbentur UU ITE yang berujung ke Polri atau websitenya diblokir oleh Kemenkomin­fo. Itu akan sama dengan pemberedel­an pada masa Orba.

Akhirnya, agar kasus Ahok, Buni Yani, dan yang lain tidak terulang lagi, penulis mengharapk­an perlunya segera dibentuk Komisi ITE. Apakah dengan merevisi UU atau perppu, yang pasti biarlah media online ditangani mereka yang beranggota para pelaku ITE sendiri. Bisa berlatar belakang dosen komunikasi, praktisi ITE, psikolog, sarjana komunikasi, wartawan, praktisi blogger, dll. Tujuannya, selain memberikan sosialisas­i UU ITE, Komisi ITE harus melahirkan kode etik berita online dan media sosial. Pengawasan oleh pemerintah hendaknya bisa dialihkan ke Komisi ITE, seperti radio dan TV yang diawasi KPI. Begitu juga, koran dan majalah diawasi Dewan Pers. Komisi ITE bisa juga berperan memediasi setiap korban atau pelaku pelanggara­n ITE sebelum dibawa ke pengadilan. (*) *) Staf pengajar UIN Sunan Ampel Surabaya, komisioner KPID Jatim 2010–2013

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia