Jungkir Balik di Negeri Orang
Rahmah Fithriani berangkat ke New Mexico, AS, pada Agustus 2014. Dua bulan kemudian, Ardian Yunizar, sang suami, dan dua putri mereka menyusul. Agustus 2016, ujian menghampiri. Suami divonis tumor otak. Di negeri orang, tanpa satu pun sanak keluarga, duni
KETIKA Rahmah mendapatkan beasiswa program doktoral (S-3) pada bidang
di University of New Mexico, AS, dia memboyong keluarga. Alasan utamanya, anak-anak masih sangat kecil. Nadine baru 3 tahun dan Nadia tepat 1 tahun. Rahmah, 37, dan Ardian, 38, tidak ingin anakanak kehilangan kasih sayang orang tua bila mereka tinggal terpisah selama masa pendidikan.
Selain itu, sang suami ingin memenuhi janji kepada orang tua Rahmah. ”Bahwa dia akan selalu menemani saya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,” ucap Rahmah yang merupakan dosen Departemen Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) saat diwawancarai melalui telepon.
Ardian pun melepaskan karir sebagai manajer akuntan perusahaan
di Medan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Ardian bekerja di University of New Mexico sebagai tenaga kebersihan. Pilihan pekerjaan itu didasarkan karena persyaratannya tidak sesulit melamar pekerjaan yang butuh skill. Seperti tenaga ahli data, misalnya, yang merupakan pekerjaan Ardian saat masih di Indonesia.
Rahmah dan suami bergantian menjaga anak. Suami bekerja Senin–Jumat, pukul 04.00–13.00. Kuliah Rahmah mulai 16.00–21.30 malam. ”Setelah suami pulang, saya baru ke kampus,” cerita perempuan kelahiran Medan, 23 Agustus 1979, itu.
Mereka menjalani kehidupan di Albuquerque dengan bahagia. Akhir pekan mengajak anak-anak mengunjungi museum atau pergi ke taman. Terkadang juga berkumpul dengan sesama WNI yang tinggal di sana.
Hingga ujian tersebut datang. Suami mengeluh matanya sakit. Teramat sakit. Sebelumnya, gejala yang sama dengan ditambah pusing dan mual beberapa kali dirasakan di tanah air. Namun, pada Agustus 2016 itu gejalanya semakin hebat. Rahmah membawa suami ke rumah sakit. Dokter menduga ada tumor. Suami masuk emergency room. Empat jam menanti, dokter menyampaikan hasil CT scan dan MRI. Ardian dipastikan menderita tumor ganas (glioma). Lokasinya di otak sebelah kiri. Menurut perkiraan dokter, tumor itu muncul sejak 5–10 tahun lalu.
Rahmah ingat betul, ketika dokter menyampaikan kabar tersebut, dirinya sedang bersama Nadia. ”Bagi saya, dunia saat itu benarbenar jungkir balik,” kenangnya dengan suara bergetar. Mereka hanya berempat di sana, tanpa keluarga yang lain.
Hal pertama yang terpikir adalah berhenti kuliah agar bisa fokus mengurus suami dan anak-anak. Rahmah ingin membawa keluarga pulang ke Indonesia. ”Saat itu saya tidak lagi berpikir bahwa pendidikan saya penting. Yang utama adalah bagaimana suami bisa sembuh dan anak-anak tetap terawat,” ucapnya.
Namun, ketika mengutarakan rencana itu kepada suami, Ardian menolak. ”Suami saya menangis sambil menggelengkan kepala. Dia bilang, kita datang ke AS untuk pendidikanmu. Kita sama-sama berjuang dan tidak akan berhenti sampai kamu menyelesaikan pendidikanmu,” tutur Rahmah menirukan ucapan sang suami.
Pada masa- masa berat itu, untungnya Rahmah sedang libur kuliah. Namun, dia harus menulis untuk ujian komprehensif. Setiap malam dia menjaga suami di RS setelah menemani anak tidur. Untung, ada tetangga sesama WNI yang membantu menjaga anak. Pagi sebelum subuh, Rahmah pulang ke rumah. ”Sebelum anakanak bangun, saya sudah di rumah,” ucapnya.
Lalu, dia mengantar Nadine yang sudah masuk preschool, kembali ke rumah, memasak, melakukan pekerjaan rumah, ke RS beberapa jam, dan menjemput anak sekolah. ”Seperti itu ritme kehidupan saya ketika suami sakit,” papar dia.
Pada 9 Agustus, Ardian menjalani operasi pengangkatan tumor selama delapan jam di RS University of New Mexico. Sebanyak 80–85 persen tumor terangkat. Dokter tidak berani mengangkat sisa tumor yang sangat dekat dengan fungsi penting di otak. Khawatir mengganggu sarafnya,” urai Rahmah.
Sisa tumor itu selanjutnya dikontrol melalui radiasi dan kemoterapi. Dokter menyarankan 33 sesi. ”Sekarang sudah 27 kali, jadi kurang 6 lagi,” lanjutnya.
Satu hari setelah operasi, Rahmah baru menyadari bahwa suami banyak kehilangan short term memory, terutama nama, tempat, dan tanggal. ”Suami mengenali saya dan anak-anak, tapi tidak ingat nama kami, di mana kami tinggal,” ucap Rahmah.
Ada momen yang begitu memilukan bagi Rahmah. ”Suami salah menyebut nama, terbalik antara Nadine dan Nadia. Anak-anak tertawa karena mengira ayahnya bercanda,” tutur Rahmah, tertawa getir.
Setelah operasi, Rahmah meluangkan waktu melatih suami kembali mengingat. Juga, terapi berbicara dan berjalan. ”Saat ini alhamdulillah memorinya sudah membaik. Meski belum pulih total. Kami terus berdoa agar bisa kembali seperti sedia kala,” harapnya. (nor/c6/ayi)