Gara-gara Bopda Belum Cair
SURABAYA – SMA/SMK semakin waswas dengan belum cairnya dana bantuan operasional pendidikan daerah (bopda) triwulan IV (Oktober–Desember). Maklum, selama ini banyak kegiatan di sekolah yang bergantung pada dana bopda. Untuk menutup kekurangan anggaran, banyak sekolah yang kini mencari pinjaman.
Kepala SMKN 2 Djoko Pratmodjo mengatakan, selama ini sekolahnya mendapatkan kucuran bopda Rp 1,2 miliar per tigaga bulan
Namun, sejak dana tersebut macet, pihaknya meminjam uang dari unit jasa produksi sekolah. Nilainya lebih dari Rp 150 juta. Duit itu lalu digunakan untuk membayar 57 orang guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) di sekolahnya. Beruntung, pinjaman tersebut tanpa bunga. ”Ya, mau bagaimana lagi. Kalau tidak pinjam, mereka tidak gajian,” katanya. ”Jaminan pinjaman itu saya,” sambungnya.
Djoko menjanjikan, pinjaman tersebut akan dikembalikan. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada pencairan bopda. Jika tidak cair, sebagai alternatif dia mengaku akan mencicilnya dengan menghimpun dana dari orang tua. ”Januari mulai bayar cicilan itu,” tuturnya.
Sebenarnya, di samping bopda, sekolah mendapatkan kucuran dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat. Meski demikian, tanpa pendamping bopda, operasional sekolah tidak bisa berjalan normal. ”Jadinya pincang. Selama ini ada dua biaya, sekarang sumbernya hanya satu,” katanya.
Dia mengungkapkan, bila bopda tidak kunjung tidak cair, sekolah akan kian puyeng. Karena itu, pihaknya akan menempuh segala cara agar operasional sekolah tetap bisa menggelinding. ”Kalau (bopda) terus belum turun, mobil sekolah mungkin akan saya gadaikan,” katanya.
Untuk menghadapi situasi itu, sekolah juga kian mengencangkan ikat pinggang. Termasuk uang yang dikelola oleh koperasi sekolah. Para guru yang biasanya mengajukan pinjaman untuk kebutuhan pribadi terpaksa ditangguhkan dulu. ” Tanpa bopda, para guru kini harus ngempet,” terangnya.
Dia berharap dana bopda tetap bisa dicairkan seperti sebelumnya. Jika tidak, terpaksa pihaknya akan menyampaikan kondisi sekolah kepada wali murid.
Keresahan juga dirasakan Kepala SMAN 21 Yatno Yuwono. Untuk membayar gaji GTT dan PTT, Yatno meminjam Rp 56 juta ke koperasi sekolah. Jumlah itu digunakan untuk membayar sekitar 15 orang GTT dan PTT.
Meski begitu, jika kondisi itu berlangsung hingga akhir November, dia mengaku sekolah tidak mampu lagi untuk membiayai operasional. Berbeda dengan Djoko, Yatno enggan mengungkapkan alternatif pembiayaan operasional selain menunggu. Selain dua sekolah itu, sekolahsekolah lain di Surabaya menghadapi situasi serupa.
Dana bopda yang tidak kunjung cair itu berawal dari sikap hatihati Pemkot Surabaya. Sebab, saat ini merupakan masa transisi peralihan kewenangan SMA/ SMK dari kabupaten/kota kepada provinsi.
Kewenangan pengelolaan SMA/ SMK oleh provinsi resmi berlaku mulai 1 Januari 2017. Kabupaten/ kota di Jawa Timur kini bahkan sudah menyerahkan P2D (personel, peralatan, dan dokumen) kepada Pemprov Jatim pada awal Oktober. Karena tidak ingin muncul masalah hukum di kemudian hari, pemkot memilih menunda pencairan bopda. Agar tidak disalahkan, pemkot kini berkonsultasi ke Kementerian Dalam Negeri. Namun, pemerintah pusat belum memberikan jawaban apa pun terkait masalah itu.
Anggota DPRD Komisi D Reni Astuti menyayangkan bopda yang tak kunjung cair. Padahal, dana bopda sangat ditunggu oleh sekolah. Pihaknya menerima banyak keluhan dari kepala sekolah terkait belum cairnya bopda. Termasuk keluhan terkait kondisi GTT dan PTT yang tidak menerima gaji secara penuh. ”Masih ada yang baru dibayar dengan besaran 50–70 persen,” katanya.
Anggota Dewan Pendidikan Surabaya Ali Yusa menilai bahwa langkah pemkot menahan kucuran bopda ke SMA/SMK tersebut merupakan langkah tepat. Sebab, payung hukum untuk mencairkan dana itu belum klir. ”Apalagi kini kewenangannya berbeda,” ungkapnya.
Ali melanjutkan, sebagai lembaga pemerintahan, kepatuhan terhadap peraturan itu memang seharusnya dilakukan Pemkot Surabaya. Sebab, dana yang dikucurkan ke sekolah-sekolah tersebut merupakan duit publik. Karena itu, harus ada aturan dan prosedur yang ditaati.
Kendati sekolah puyeng, Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya Ikhsan enggan menanggapi secara gamblang masalah itu. Yang pasti, kini pemkot sedang membahasnya. (puj/elo/c6/git)