Jawa Pos

Pusat Grosir Sangkar Burung

Saat memasuki Desa Temu, Kecamatan Prambon, banyak lahan yang ditanami tebu. Apalagi dekat pabrik gula. Namun, Desa Temu masih menyimpan potensi lain yang kerap jadi jujukan konsumen.

-

USAHA milik Muhammad Fathurrozi, misalnya. Saat memasuki lingkungan rumah Iwan Kurungan (panggilan akrab Muhammad Fathurrozi) di gang 1, RT 4, RW 1, Desa Temu, terlihat potongan kayu yang tercecer di depan rumah. Ada yang masih panjang, ada juga yang terpotong rapi membentuk pola. Juga, tampak jeruji dari bambu jenis apus yang diikat menumpuk di salah satu pojok bagian depan rumah.

Di depan rumah itulah Iwan biasa beraksi bersama tiga rekannya. Mereka menjadi perajin sangkar burung. Ada yang kebagian memotong kayu hingga membentuk pola yang dibutuhkan. Kayu dihaluskan dengan ampelas agar mulus, lalu dipasang jeruji kurungan. ”Ada tiga orang yang membantu. Namun, ada lagi karyawan ibu-ibu kampung yang membantu memasang jeruji bambu,” ujarnya.

Iwan menceritak­an, pada 2002, dirinya mempraktik­kan ilmu membuat sangkar burung yang diajarkan bapaknya, Muslik. Dia menyebutka­n, dibutuhkan waktu setahun agar bisa membuat sangkar yang bagus. ’’ Tak bisa sembarang. Salah paku sedikit, kayu bisa pecah. Sebab, sejak kecil, saya biasa melihat bapak, jadi lebih familier,” tutur bapak dua anak tersebut.

Setelah mahir, Iwan terjung langsung menggeluti usaha itu. Semula, dia membuat sangkar burung berukuran kecil khusus untuk burung jenis prenjak. Saat itu dia menjajakan langsung ke pasar- pasar. ”Dulu muter-muter bawa sekitar sepuluh kurungan kecil di bagian belakang sepeda. Seminggu masih dihasilkan lima kurungan,” kata suami Mainun Susana tersebut.

Rutinitas itu berlangsun­g hingga 2008. Setelah itu, namanya mulai membubung. Iwan tak lagi berkelilin­g dengan menggunaka­n sepeda. Dia tinggal menunggu pesanan datang. Bukan lagi jenis kurungan kecil yang dibuat. Sangkar besar dengan ukuran luas lebih variatif telah dibuat. ”Ukuran besar diperuntuk­kan burung yang berekor panjang. Saya membuat kurungan burung merpati,” ujar pria kelahiran Sidoarjo, 6 November 1982 tersebut.

Untuk harga, disesuaika­n ukuran dan tingkat kesulitan pembuatan. Sangkar standar dijual Rp 100–170 ribu. ” Yang pesan dengan hiasan-hiasan serta tambahan bentuk-bentuk tertentu, juga bisa,” ujarnya.

Dalam tiga hari, usaha yang dinamai Ilmia Jaya Sangkar tersebut mampu menghasilk­an rata-rata 15 sangkar. Jumlah itu hanya yang masih mentah (tanpa dicat). Sebagian besar pemesan membeli hasil produksi Iwan secara grosir untuk dijual. Para pemesan kembali memoles dengan menambahka­n cat. Sebagian besar mereka berasal dari Sidoarjo hingga Jombang.

Bukan hanya sangkar, nama Iwan Kurungan juga terkenal sebagai penyedia jeruji sangkar burung. Bahkan, di pasar-pasar Sidoarjo, banyak yang mengenal nama Iwan. ”Coba tanya di pasar-pasar, kalau ambil jeruji sangkar di mana? Jawabnya pasti ke sini,” tuturnya.

Iwan menambahka­n, tip untuk membuat usaha bertahan adalah menjaga kualitas sangkar. Bahan baku harus berasal dari kayu jati. Bagian satu dengan yang lain dilekatkan secara manual sehingga lebih akurat dan langsung dari tangan ahlinya. ”Kayu jati itu saya beli dari kayu-kayu sisa produksi di pabrik, jadi tergolong kayu sampah. Tapi, kami olah hingga mulus dengan alat-alat yang saya punya,” pungkasnya. ( uzi/c16/dio)

 ?? CHANDRA SATWIKA/JAWA POS ?? JAGA KUALITAS: Didik Restyo Wawan (kiri) dan Iwan Kurungan menyelesai­kan pembuatan sangkar burung yang dilihat perangkat Desa Temu Miskan kemarin.
CHANDRA SATWIKA/JAWA POS JAGA KUALITAS: Didik Restyo Wawan (kiri) dan Iwan Kurungan menyelesai­kan pembuatan sangkar burung yang dilihat perangkat Desa Temu Miskan kemarin.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia