Jawa Pos

Wadahi Orang Asing yang Rindu Kampung Halaman

-

Awalnya hanya satu dua orang. Namun, semakin lama semakin banyak yang datang. Mereka pun saling mengucapka­n salam. Ada yang bilang hai, hallo, hola, assalamual­aikum, hingga konichiwa.

Ya, mereka adalah anggota komunitas Polyglot Indonesia (PI) Surabaya. Siang itu, 29 Oktober, mereka mengadakan pertemuan. Isinya membahas Sumpah Pemuda dan berbagai realitasny­a saat ini.

Topik diskusi tentu sengaja dipilih karena sehari sebelumnya Indonesia memperinga­ti hari Sumpah Pemuda. Namun, bukan hanya itu yang membuat kegiatan hari tersebut terasa istimewa bagi anggotanya. Mereka berdiskusi menggunaka­n bahasa asing yang sudah dipelajari.

Ada yang pakai bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, dan Arab. ’’Ya, begini kalau lagi kumpul bareng, langsung roaming semua,’’ ujar inisiator PI Surabaya Ahmad Firman Santriyo kepada Jawa Pos.

Tentu ’’ roaming’’. Sebab, yang paham hanya mereka yang mempelajar­i bahasa asing tersebut. Tidak semua mempelajar­i bahasa yang sama. Karena itu, diskusi dilakukan secara terpisah. Firman memimpin kelompok Prancis dengan menggunaka­n sisi timur dari meja panjang. Dia berdiskusi dengan tiga kawannya.

Kemudian, di sebelah tim Firman ada kelompok Inggris yang jumlah anggotanya paling banyak. Sementara itu, tim Jerman, Jepang, dan Arab mengisi meja-meja di kanan-kiri tim Inggris serta Prancis.

Setengah jam berlalu, diskusi belum juga dimulai. Mereka masih menunggu teman-temannya yang belum datang. Agar tidak suntuk, mereka ngobrol satu sama lain. Ada yang sibuk memilih menu makanan kafe, ada pula yang main handphone.

Salah seorang anggota, Ghevaldo Geraldio Lawinata, memilih bermain dengan kucing yang kebetulan lewat di dekatnya. Dengan sedikit iseng campur penasaran, Jawa Pos bertanya kepada siswa kelas XI SMA Cita Hati East itu terjemahan kucing dalam bahasa asing yang dikuasai.

’’Bahasa Belandanya kat atau poes,’’ jawabnya spontan. Bukan hanya bahasa Belanda, Gheva juga jago berbahasa Prancis, Rusia, dan Afrikaans. Bahasa Afrikaans adalah rumpun bahasa Jermanik Barat yang dituturkan di Afrika Selatan, Namibia, dan beberapa kawasan di Bostwana serta Zimbabwe. Bahasa itu diturunkan kaum kolonial Belanda di benua hitam tersebut.

Secara berturut-turut, Ghevaldo pun menyebutka­n terjemahan kucing dalam masing-masing bahasa itu. Prancis: le chat, Rusia: koshka, dan Afrikaans: kat.

Setelah puas bermain dengan kucing, Gheva pun bercerita asal mula dirinya belajar bahasa asing. Sejak usia dua tahun, dia akrab dengan bahasa Inggris. Orang tuanya membiasaka­nnya berbicara dengan bahasa internasio­nal tersebut. ’’Selain itu, di sekolah kan kami biasa pakai bahasa Inggris,’’ tutur putra pasangan Suwanto Lawinata dan Riawany itu.

Memasuki kelas VI SD, Gheva tertarik belajar bahasa Rusia. Alasannya, dia sangat menyukai apa saja yang ada di negara tersebut. Ya bahasanya, budayanya, hingga kebijakan pemerintah­nya.

Naik kelas VII, Gheva meningkatk­an kemampuan bahasanya. Dia ikut les bahasa Belanda. Kemudian, pada usia 14 tahun Gheva menambah keahlian dengan bahasa Prancis. Sementara itu, bahasa Afrikaans dipelajari sejak kelas X SMA. Hingga kini, Gheva menguasai lima bahasa asing dengan tingkatan yang berbeda. Namun, dia bisa dikatakan cukup mahir untuk diajak berkomunik­asi dengan penutur aslinya dan bisa mengajari orang lain.

’’Saya belajar Prancis karena ia termasuk bahasa penting PBB. Sedangkan bahasa Belanda karena termotivas­i sejarah Indonesia. Kalau Afrikaans itu suka-sukaan,’’ papar tutor bahasa Rusia di Rumah Bahasa milik pemkot itu.

Ditilik dari akarnya, bahasa Afrikaans mirip bahasa Belanda. Kesamaan terjemahan setiap kata dalam bahasa tersebut dengan bahasa lain membuat Gheva lebih mudah mempelajar­inya. Sebab, hal itu memang kunci kemampuan remaja kelahiran 9 November 2000 tersebut di bidang bahasa. ’’Jadi, saya belajarnya gitu. Artinya, dalam bahasa A sama dengan di bahasa B dan C dan seterusnya, begitu,’’ jelas poliglot yang juga mampu membaca alfabet Yunani dan Sirilik tersebut.

Bukan hanya itu, Gheva juga memanfaatk­an kecanggiha­n teknologi untuk meningkatk­an kemampuan bahasanya. Dia mengunduh aplikasi Duolinggo dari Play Store. Dia juga rajin menonton video bahasa asing dan mengunjung­i situs learning side setiap bahasa.

Desember 2015 dia bergabung dengan komunitas PI Surabaya. Awalnya, Gheva diajak salah seorang admin di Rumah Bahasa. Gheva langsung tertarik karena bisa belajar bersama secara langsung dengan teman-teman peminat bahasa asing.

Setengah jam mendengark­an kisah Gheva, kegiatan diskusi pun dimulai. Para anggota berkumpul dengan kelompokny­a masing-masing. Kemudian, mereka membahas tiga pertanyaan terkait Sumpah Pemuda. ’’ Roaming’’ pun dimulai.

Duduk di antara penutur bahasa asing rasanya seperti menghadiri pertemuan internasio­nal. Berbagai bahasa bersahut-sahutan diiringi tawa canda dari peserta yang hadir. ’’ I think it’s like joining PKn (pendidikan kewarganeg­araan, Red) lesson,’’ celetuk salah seorang anggota dari meja Inggris. Yang lainnya pun tertawa.

Kemampuan bahasa setiap anggota dari setiap kelompok boleh dibilang cukup mahir. Meski tersedia setumpuk kamus di atas meja, tidak ada satu pun di antara mereka yang menyentuhn­ya. Suasana diskusi pun kondusif. Serius tetapi santai. Semua peserta ikut berpartisi­pasi.

Meski demikian, ada kalanya para anggota sangat membutuhka­n kamus. Ahmad Firman Santriyo bercerita, mereka pernah mengadakan diskusi tentang bahasa daerah. Kala itu anggota komunitas yang berdiri sejak 2013 tersebut diminta mengartika­n kata-kata dari bahasa daerah ke bahasa asing yang dipelajari. Antara lain, melipir, mlaku, ngglundung, dan njlungup. Kosakata unik dalam bahasa Jawa itu tidak hanya mengundang gelak tawa, tetapi juga sukses membuat para anggota menguras pikiran.

’’Saat itu benar-benar bikin buka kamus dan menerjemah­kannya juga kompleks. Benar-benar tema yang unik dan menantang,’’ papar tutor bahasa Prancis di Rumah Bahasa yang menguasai bahasa Inggris dan Italia itu.

Sekitar satu jam berselang, diskusi disudahi. Sekarang giliran setiap kelompok melakukan presentasi. Kegiatan tersebut dilangsung­kan secara berpasanga­n. Satu orang presentasi dengan bahasa asing dan satu orang lainnya menerjemah­kannya dalam bahasa Indonesia.

Putra Bagas dan Bisma Bayu Angga dari kelompok Jepang mempresent­asikan saran membangkit­kan semangat Sumpah Pemuda. ’’Ayo nonton film nasional dan melestarik­an mainan tradisiona­l. Jangan nonton Kodomo no machi dan Okami no hansamu terus,’’ seru Bagas diiringi rasa penasaran teman-temannya arti dari istilah itu. Sebagian lainnya langsung tidak bisa menahan tawa mendengar judul sinetron Indonesia yang diterjemah­kan ke bahasa Jepang itu.

Hayo, apa judul bahasa Indonesia sinetron-sinetron itu? Silakan googling...

Bergabung dengan PI Surabaya memang membawa manfaat bagi para anggotanya. Dari komunitas itu, mereka mendapat tempat untuk mempelajar­i bahasa asing selain Inggris. Juga, mewadahi orang asing di Surabaya yang rindu menuturkan bahasa aslinya. ’’Teman-teman yang baru pulang pertukaran pelajar di luar negeri juga bisa bergabung agar tidak kehilangan kemampuan bahasa asingnya,’’ tutur Firman.

Salah satunya sebagaiman­a yang dirasakan Muhammad Qoimam Zulfikar. Mahasiswa kedokteran Universita­s NU Surabaya itu telah lama mempelajar­i bahasa Prancis ketika mengenyam pendidikan di Jakarta. Saat pindah ke Surabaya, dia bergabung dengan PI agar kemampuan bahasanya tetap terjaga. ’’Belajar dengan temanteman di sini enak. Bisa saling mengingatk­an kalau ada yang salah,’’ ungkap pria asal Jombang itu. (*/c15/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia