Keistimewaan DIJ Terusik
SELAIN sektor ekonomi dan kewenangan yang menyangkut pembangunan, persoalan bernuansa politik dirasakan daerah otonomi khusus (otsus). Di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ), misalnya. Ketentuan UU Keistimewaan DIJ (UU KDIJ) yang mengatur gubernur Jogja harus berkelamin laki-laki meninggalkan keresahan bagi keraton.
Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi Kamis lalu, Sultan Hamengkubuwono menegaskan bahwa siapa yang menjadi gubernur merupakan urusan dalam keraton. Sultan meminta pemerintah pusat konsisten memberikan hak keistimewaan dengan tidak memaksakan kehendak melalui instrumen undang-undangnya.
Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman mendukung keinginan sultan. Menurut dia, sudah selayaknya kewenangan tersebut diserahkan ke keraton sebagai konsekuensi diberikannya kekhususan. ’’Ada betulnya sultan sampaikan begitu. Kalau diserahkan ke keraton, ya keraton yang ngatur. Ini kan kekhususan,” ujarnya. Karena itu, terlepas dari apa pun yang akan diputuskan MK, komisi II mendukung apa yang menjadi keinginan sultan.
Rambe menjelaskan, raja di keraton sudah otomatis menjadi gubernur di DIJ. Untuk itu, siapa pun yang menggantikan sultan sebagai raja, terlepas dari jenis kelaminnya, otomatis menjabat gubernur. ’’ Yang menentukan kan keraton, sebaiknya memang begitu,” jelas politikus Golkar tersebut.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto membantah bahwa ketentuan dalam UU KDIJ yang digugat ke MK sebagai bentuk intervensi pemerintah. Menurut dia, hak keistimewaan yang diberikan kepada DIJ tidak mungkin setengah-setengah. ’’Itu kan dibahas bersama DPD dan juga ada dari keraton,” tuturnya. (far/c7/fat)