Kagumi Anak-Anak dengan Toleransi Tinggi
Bila Mahasiswi Italia Kunjungi Masjid Muhammad Cheng Hoo
Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya menjadi salah satu jujukan wisata religi di Surabaya. Arsitekturnya yang khas Tionghoa, tetapi dibangun di Surabaya membuat para pengunjungnya terkagum- kagum.
ROSSELA Nicoletti memasang kerudung yang terkalung di lehernya. Pelan, tetapi pasti, dia lantas memasuki Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya. Baru kali ini dia masuk masjid. Mahasiswi kewarganegaraan Italia yang menjalani pertukaran pelajar di FK Unair itu beberapa kali mendongakkan kepalanya untuk melihat arsitektur masjid yang lebih mirip kuil tersebut. ’’ Terasa aneh. Seperti bukan di Indonesia,’’ ujar perempuan yang baru dua pekan tinggal di Surabaya itu.
Dia menyatakan selama ini hanya mengetahui bahwa masjid mempunyai kubah dan menara. Tulisan yang terpampang juga tulisan Arab, bukan aksara Tionghoa. Sebelum berkunjung ke sana, dia baru saja mengunjungi Kelenteng Sanggar Agung di Kenjeran Park. Karena itu, jangan heran bila komentarnya tidak jauh dengan yang dilihatnya. ’’ Lebih mirip Sanggar Agung ketimbang masjid,’’ kata perempuan berambut pendek tersebut.
Nicolleti semakin terheran ketika melihat anak-anak kecil bermain basket di depan masjid. Baru kali ini dia melihat tempat ibadah dilengkapi sarana olahraga. Anak-anak itu berhenti bermain basket saat azan asar berkumandang. ’’ Mereka sangat toleran,’’ ucapnya.
Selama di Surabaya, dia mengaku rin- du kampung halamannya di Cecilia. Dia rindu ibunya. Namun, dia belum puas menikmati Surabaya meski sudah berkunjung ke banyak tempat seperti Ken- jeran Park, Jembatan Suroboyo, dan Museum House of Sampoerna. ’’ Saya ingin pulang, tapi betah di sini. Serba salah,’’ ungkapnya, lalu meringis.
Nicolleti mengaku diajak teman satu kampusnya, Wiharjo Hadisuwarno, ke Masjid Muhammad Cheng Hoo. Mereka mengikuti tur rombongan kursus bahasa Mandarin Shin Hwa High School (SHHS) Surabaya. Di tempat itu, Wihardjo juga ikut kursus.
Kepala Sekolah SHHS Bambang Tjahjadi menuturkan, kunjungan tersebut dilakukan kali pertama. Dia ingin menunjukkan bahwa saat ini Indonesia hidup dalam kebhinekaan. ’’ Cheng Hoo juga Tionghoa. Dia saudara kami juga meski kami berbeda agama,’’ jelasnya.
Ketua Harian Masjid Muhammad Cheng Hoo Hasan Basri menyatakan, semua orang diterima di masjid yang mulai dibangun pada 15 Oktober 2001 itu, tidak memandang agama. ’’ Tujuan didirikannya masjid ini kan untuk syiar. Kalau orang mau tahu soal masjid, masak kami larang,’’ ucapnya yang mengawal rombongan untuk berkeliling masjid.
Menurut dia, syarat untuk masuk ke Masjid Cheng Hoo adalah berpenampilan sopan, tidak harus memakai hijab. Bila ada perempuan yang memakai celana pendek, pihak masjid sudah menyediakan kain untuk menutupi. Masjid Muhammad Cheng Hoo menjadi masjid dengan arsitektur Tiongkok pertama di Indonesia. Masjid tersebut memiliki desain yang mirip dengan Masjid Niujie di Beijing. Masjid itu dibangun pada 996 masehi.
Pada akhir pekan, Masjid Muhammad Cheng Hoo selalu ramai. Hampir tamu dari seluruh mancanegara pernah berkunjung ke sini. Warga dari negaranegara Eropa, Asia, Amerika, hingga Afrika tercatat pernah berkunjung untuk melihat keindahan masjid yang diarsiteki Aziz Johan tersebut. ’’ Yang belum tinggal orang-orang kutub,’’ canda Hasan. (*/c20/git)