Jaksa Agung Akui Nunggak Uang Pengganti Korupsi
Beralasan Butuh Waktu Panjang
JAKARTA – Jaksa Agung M. Prasetyo akhirnya mengakui ketidakberhasilannya menyelesaikan sejumlah pekerjaan selama dua tahun menjabat. Salah satunya, dia mengaku sulit mengeksekusi uang pengganti korupsi.
”Bahwa besar tunggakan itu iya. Tapi, bukan berarti kami tidak berupaya kembalikan aset itu,” ucapnya saat menghadiri acara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel JS Luwansa, Jakarta, kemarin (21/11).
Sebagaimana diketahui, Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya merilis sejumlah masalah yang menumpuk di kejaksaan dalam periode dua tahun kepemimpinan Prasetyo
Salah satunya terkait dengan piutang uang pengganti korupsi yang seharusnya disetor ke kas negara. Pada 2015, piutang itu mencapai Rp 15 triliun.
Prasetyo beralasan, untuk mengeksekusi uang tersebut, diperlukan upaya hukum perdata. Sebab, ada perbedaan aturan dalam mengeksekusi uang pengganti korupsi. ”Undang-undang lama tidak mengatur kalau tidak bayar seperti apa penyelesaiannya. Itu kan baru bisa diselesaikan dengan gugat perdata. Nah, itu perlu waktu panjang,” ujar mantan politikus Partai Nasdem itu.
Persoalan yang terjadi di kejaksaan era Prasetyo tak hanya menyangkut tunggakan eksekusi uang pengganti korupsi. ICW juga melihat bahwa Prasetyo tak berdaya dalam pemberantasan korupsi serta ada indikasi intervensi partai politik dalam penanganan kasus korupsi.
Satu-satunya prestasi yang dibangga-banggakan oleh Prasetyo hanya berupa pelaksanaan eksekusi mati. Tapi, ”prestasi” itu tetap saja menyisakan kontroversi. ”Ada indikasi pelanggaran dalam pelaksanaan hukuman mati tersebut,” kata peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana.
Pelanggaran itu tak lain terkait dengan adanya terpidana mati yang masih memproses permohonan grasi ketika menjalani eksekusi. ”Dengan kondisi seperti itu, tak sepatutnya jaksa agung tetap melaksanakan hukuman mati,” ujar pria yang tengah menempuh studi master di International Institute for the Sociology of Law (IISL), Spanyol, tersebut.
Selain polemik soal adanya terpidana yang sedang mengajukan permohonan grasi, penggunaan dana APBN untuk eksekusi mendapat sorotan. Staf advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Gulfino Guevarrato menyebut kan, ada indi kasi dobel anggaran dalam pelaksanaan eksekusi mati selama ini. Sebab, Polri dan kejaksaan memiliki anggaran yang sama untuk pelaksanaan eksekusi. Item-item penganggarannya pun sama.
Fino –panggilan Gulfino– menjelaskan, penganggaran pelaksanaan eksekusi mati di Polri diatur dalam pasal 29 Peraturan Kapolri (Perkap) 12/2010. Disebutkan, segala biaya yang timbul dalam pelaksanaan pidana mati dibebankan pada daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Polri.
Sementara itu, kejaksaan memiliki anggaran yang sama di pos penanggulangan tindak pidana umum. Dalam dokumen yang pernah ditunjukkan oleh Fitra, item-item penganggaran pelaksanaan eksekusi mati di Polri dan kejaksaan nyaris sama.
Misalnya, biaya rapat koordinasi, honor untuk regu tembak, penginapan pihak yang mewakili terdakwa, penerjemah, rohaniwan, hingga pemakaman. Total anggaran eksekusi mati di Polri mencapai Rp 247.112.000 per narapidana, sedangkan di kejaksaan persis bulat Rp 200 juta.
Catatan buruk kinerja Prasetyo juga mulai mendapat atensi DPR. Komisi III DPR sudah menyiapkan panggilan rapat kerja untuk Prasetyo. Ketua Komisi III Bambang Soesatyo mengatakan, rapat kerja sedianya akan digelar Rabu (23/11). Tapi, karena sesuatu hal, agenda tersebut ditunda pekan depan. ”Pekan ini mereka (kejaksaan, Red) ada raker internal,” katanya. (atm/jun/c11/nw)