Pasal Penghinaan Presiden Menggantung
JAKARTA – Keberadaan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam revisi UU KUH Pidana masih menggantung. Pasalnya, dalam proses pembahasan yang kini sedang berjalan di parlemen, beberapa fraksi meminta pasal tersebut didrop.
Ketua Panja RUU KUHP Benny K. Harman mengungkapkan, ada tiga fraksi yang tetap meminta pasal itu dihilangkan. Mereka adalah Fraksi Partai Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat. Lanjut atau tidaknya pembahasan pasal tersebut bergantung pada kesepakatan seluruh fraksi. ”Sekarang belum. Nanti kalau semua sudah oke, tinggal kita masukkan,” kata Benny di kompleks parlemen, Jakarta, kemarin (21/11).
Politikus Partai Demokrat itu membeberkan, pemerintah bersikeras memasukkan pasal tersebut karena berkaca pada sejumlah negara lain. Bahkan, di beberapa negara lain, ketentuan itu diterapkan dengan menggunakan delik umum. ”Itulah pemerintah. Mereka alasannya mengacu negara lain. Sebenarnya, yang seperti begini ini kan mentalnya penjajah,” sorotnya.
Anggota panja revisi UU KUHP dari Partai Hanura Syarifuddin Sudding mengakui bahwa pasal tersebut memang masih perlu dikaji lebih dalam. Terutama terkait relevansinya dalam kehidupan berdemokrasi pada era reformasi seperti saat ini.
Dia mengungkapkan, batasan ketentuan penghinaan terhadap presiden dan pemerintah berpotensi menjadi kabur. Sebab, perbedaan penghinaan dan kritik sering kali sangat tipis. ”Makanya, masalah (pasal) penghinaan itu masih kami perdalam lagi,” kata Sudding.
Dalam usulannya, pemerintah ingin pasal tersebut menjadi pidana materiil yang harus dibuktikan akibatnya. Bukan pidana formil yang serta-merta bisa menjerat seseorang seperti pada pasal penistaan agama.