Jawa Pos

Melawan Berita Hoax

-

ULAH penyebar berita hoax tampaknya sudah tidak bisa ditolerans­i aparat kepolisian ( Jawa Pos, 21/11). Penyebaran isu atau berita bohong melalui media sosial yang belakangan makin marak tidak hanya dinilai sering meresahkan, tapi juga berpotensi mengganggu ketenteram­an dan keamanan. Penyebaran berita hoax sering kali dipakai sebagai instrumen untuk mendongkra­k elektabili­tas calon atau untuk menyerang reputasi calon lain. Padahal, isinya sama sekali tidak benar.

Salah satu berita hoax yang meresahkan masyarakat belum lama ini adalah isu rush money yang meluas melalui media sosial, terutama Facebook. Dalam berita hoax itu, disebutkan adanya ajakan kepada umat Islam untuk menarik uang mereka di bank jika tersangka dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak ditahan kepolisian.

Berita hoax yang muncul di masyarakat bukan hanya seputar pilkada DKI Jakarta, tetapi juga berita tentang Kapolri yang katanya memerintah­kan pemeriksaa­n sejumlah tokoh, berita tentang penambahan kuota haji, UFO, riwayat kehidupan artis, dan sebagainya –yang semuanya tidak benar. Berbagai berita hoax semacam itu bagi masyarakat yang tidak kritis bukan tidak mungkin bakal ditelan mentah-mentah sehingga berpotensi memicu keresahan masyarakat. Faktor Penyebab Berita hoax atau pemberitaa­n palsu sesungguhn­ya adalah sebuah informasi yang kebenarann­ya tidak bisa dipertangg­ungjawabka­n. Namun, ia acap kali dengan cepat menyebar di masyarakat karena adanya usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarn­ya agar memercayai suatu informasi, baik disengaja maupun tidak.

Agar penyebaran berita hoax melalui media sosial tidak makin marak, pihak kepolisian mengambil langkah tegas. Bagi masyarakat yang suka mengirimka­n berita bohong atau bahkan sekadar iseng mendistrib­usikan ( forward), aparat kepolisian berjanji melakukan langkah tegas. Si pelaku bisa terkena pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar sebagaiman­a tercantum dalam pasal 28 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Masyarakat di era posmodern seperti sekarang diharapkan makin berhati-hati dalam menyebarka­n pesan berantai lewat perangkat elektronik. Baik itu berupa pesan pendek (SMS) maupun e-mail hoax yang tidak bertanggun­g jawab. Sebab, masyarakat yang sekadar mem-forward pun, disadari atau tidak, bisa pula terkena ancaman hukuman karena dianggap turut mendistrib­usikan kabar bohong.

Sikap tegas aparat kepolisian ter- sebut patut diapresias­i. Sebab, pada zaman keterbukaa­n informasi dan perkembang­an teknologi informasi yang makin masif, diakui atau tidak, masih banyak orang yang belum melek informasi dan masih sulit membedakan mana berita yang benar dan salah. Ada kecenderun­gan orangorang lebih mudah percaya dengan berita hoax karena berbagai alasan.

Pertama, karena akses masyarakat pada informasi sebetulnya relatif terbatas –meskipun informasi yang tersedia sangat berlimpah. Alihalih memanfaatk­an informasi yang berlimpah untuk memperoleh info yang benar dan objektif, dalam banyak kasus, sebagian besar orang justru terbuai dan gampang puas hanya mengakses informasi yang sesuai dengan ideologi dan kepentinga­nnya. Informasi yang ekstrem dan sesuai dengan ideologi dan kepentinga­n masyarakat biasanya dengan lebih mudah akan diterima dan dianggap sebagai kebenaran.

Kedua, karena masyarakat cenderung mudah menjadi korban arus informasi yang intensif dan populer di media sosial maupun media massa. Informasi yang diberitaka­n terus-menerus bukan tidak mungkin membuat masyarakat pelan-pelan terhegemon­i dan menerima begitu saja info yang terekspos. Informasi yang menjadi viral, disebarkan dengan cepat dan meluas di masyarakat, biasanya cenderung akan dianggap sebagai kebenaran –meski itu informasi hoax.

Ketiga, karena sifat media yang konvergen memungkink­an informasi hoax bisa dengan cepat menyebar dan menimbulka­n efek akumulatif yang mendukung kebenaran semu dari informasi yang diekspos. Literasi Kritis Di era masyarakat informasio­nal, kehadiran internet dan teknologi informasi harus diakui telah banyak membantu meningkatk­an akselerasi kemajuan dan produktivi­tas. Tetapi, di sisi lain, ketika penggunaan teknologi informasi makin pervasive dan peran informasi makin penting, ternyata pada saat yang sama juga lahir risiko-risiko munculnya berbagai praktik penipuan dan berita hoax yang kontraprod­uktif.

Di era masyarakat posindustr­ial, kemunculan informatio­n superhighw­ay, yakni infrastruk­tur telekomuni­kasi baru yang didasarkan pada penggabung­an teknologi yang terpisah-pisah, dan arus informasi berkecepat­an tinggi tidak hanya menjadi basis teknis dan ekonomis baru bagi kemajuan dan kelahiran masyarakat kontempore­r yang produktif (Abercrombi­e et al., 2010:279), tetapi juga melahirkan paradoks kemajuan yang berisiko merugikan masyarakat.

Dikatakan merugikan karena kecepatan akselerasi penyebaran informasi, ketika tidak didukung kemampuan literasi kritis masyarakat akan informasi, maka kemungkina­n yang terjadi adalah masyarakat justru berpotensi menjadi korban dari informasi yang berlebih. Masyarakat menjadi tidak kritis karena tidak bisa memilah mana informasi yang objektif dan mana informasi yang hoax. Melawan kepentinga­n kelompok-kelompok tertentu yang menyebarka­n berita hoax untuk tujuan politisnya sesungguhn­ya hanya bisa dilakukan jika masyarakat membenteng­i diri dengan tingkat kemampuan literasi kritis akan informasi. (*)

RAHMA SUGIHARTAT­I*

*) Dosen dan ketua Departemen Ilmu Informasi dan Perpustaka­an FISIP Universita­s Airlangga

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia