Jawa Pos

Dari Bojonegoro kepada PSSI

- Oleh: ANAS AG Pemimpin Redaksi Jawa Pos Radar Bojonegoro anasabdul1­6@gmail.com

BAPAK- Bapak pengurus PSSI yang terhormat,

Perasaan Bapak-Bapak saat ini mungkin sudah lega. Tak lagi disanksi FIFA. Roda organisasi berjalan lagi. Sudah resmi. Tak lagi dicap ilegal oleh Kemenpora.

Tapi, tidak dengan kami yang ada di Bojonegoro. Masih ada yang mengganjal hingga kini. Persibo Bojonegoro, klub kesayangan kami, dan enam klub lain belum lepas dari belenggu.

Persibo pernah dijanjikan oleh komite eksekutif di kepengurus­an sebelumnya. Dijanjikan, sanksi akan dihapus. Tapi, ujungnya tidak.

Lha wong janji itu seperti memberikan permen kepada anak kecil. Dapat permen, tapi diminta diam. Tidak usah banyak ulah dan rewel. Dituruti semua permintaan. Tapi ya itu, tetap saja janji tinggal janji. Khas janji seorang politikus saat kampanye.

Kongres PSSI beberapa waktu lalu seharusnya menjadi ajang islah semua perbedaan. Kembali ke semangat awal terbentukn­ya PSSI: persatuan.

Tapi, baiklah, sepak bola itu memang tak ubahnya demokrasi. Dan, demokrasi, seperti kata Dahlan Iskan, esensinya adalah sabar. Dan, sabar memang tak ada batasnya. Tuan-Tuan pengurus PSSI, Persibo memang pernah mengambil langkah berseberan­gan dengan PSSI saat itu. Namun, bukankah kesalahan itu sudah ditebus? Sudah minta maaf dan bersedia memperbaik­i hubungan lebih baik.

PSSI hanya disanksi FIFA tak lebih dari setahun. Dan, kini bisa tersenyum lagi. Tapi, kami? Kami yang merindukan Persibo kembali ke panggung sepak bola nasional belum tahu sampai kapan bisa tersenyum. Sudah lima tahun penantian ini berlangsun­g.

Kongres di Jakarta sebagai penanda awal kebangkita­n PSSI setelah disanksi seharusnya juga menjadi ajang syukuran kami kembali ke PSSI. Namun, Tuhan masih menguji kesabaran Persibo. Tetap harus sabar meski terusmener­us dijegal.

Sabar saat menerima musibah. Sabar pula saat menerima limpahan anugerah. Dan sekali lagi, sabar memang tak ada batasnya.

Jujur, saya sebenarnya bukan suporter Persibo yang fanatik. Nonton Persibo secara langsung pun hanya sekali di stadion.

Saya sekadar warga yang kebetulan senang sepak bola. Tapi, ya itu, sepak bola telah menjadi alat katarsis kami.

Di saat ekonomi lesu, pekerjaan di ladang migas juga sudah mulai surut. Apa lagi harapan hiburan kami selain sepak bola? Tak ada.

Kami rindu Samsul Arif melesakkan gol ke gawang lawan. Lalu berlari ke arah penonton, diciumnya logo Persibo. Lalu melambai kepada penonton. Terbang sudah pikiran dan perasaan yang galau karena penganggur­an di daerah kami semakin meningkat.

Ayolah Tuan-Tuan, berilah Persibo kesempatan bermain di kompetisi PSSI. Tak perlu kasta paling tinggi dulu. Biarkan Persibo pelan-pelan berjuang dengan kesabaran menuju kasta paling tinggi kompetisi di Indonesia.

Kami di Bojonegoro mungkin memang tak seriuh teman-teman Bonek dalam memperjuan­gkan nasib klub idola. Sedangkan kami mungkin masih terbelit dengan budaya Mataraman.

Kami sekadar membantu Bonek, itu pun hanya nasi bungkus untuk mereka sepulang dari Jakarta.

Tapi, tak masalah. Sekadar nasi bungkus telah menjadi simbol silaturahm­i dari kami kepada Bonek. Kami menghargai perjuangan mereka.

Sebab, mereka berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri. Tapi juga klub-klub yang dihapus keanggotaa­nnya dari PSSI.

Kami berharap kelak bisa meniru Bonek. Meniru perjuangan tanpa lelah mereka untuk nasib Persebaya. Pak Edy Rahmayadi yang baik hati, Saya haqul yakin, Pak Edy adalah militer sejati. Mementingk­an persatuan bangsa di atas segalanya. Karena itu, jika ada klub mengakui salah, lalu meminta maaf dan ingin kembali ke pangkuan PSSI, saya yakin Pak Edy pasti akan merangkuln­ya.

Kami di Bojonegoro turut mendukung penuh upaya Pak Edy menjadikan sepak bola sebagai industri yang terus bergerak ke masa depan yang lebih baik.

Oh ya, ngomong soal industri, sebenarnya peran pers dan PSSI hampir sama. Awal berdiri PSSI dan pers di Indonesia, tujuannya menjadi alat pemersatu bangsa.

Zaman terus bergerak, kata Takashi Shiraishi, dan kini pers adalah industri. Tentu sepak bola juga semestinya menjadi industri.

Tapi, sesekali kita menengok ke belakang juga lebih baik. PSSI berdiri untuk persatuan bangsa. Jika semua klub di Indonesia bisa bersatu, bermain indah, menghibur rakyat, yakinlah PSSI di bawah kepemimpin­an Bapak akan dicatat sejarah.

Pak Edy, mari sesekali mampir ke Bojonegoro. Kami punya kuliner yang maknyus. Ada kopi kothok, serabi ketan, hingga ikan asli Bengawan Solo yang disambel penyet. Mampirlah, kami akan senang hati menyambut Bapak.

Salam dari Bojonegoro. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia