Jawa Pos

Pria Tewas di Kamar dengan Kepala Luka

Cium Kejanggala­n, Polisi Periksa Keluarga

-

SURABAYA – Warga Jalan Benowo Sawah Blok B, Pakal, geger kemarin (21/11). Ponidjan Dridayanto yang tinggal di rumah nomor 4 ditemukan telentang tak bernyawa di dalam kamarnya.

Jenazah pensiunan pegawai honorer di Pertamina itu ditemukan anak perempuann­ya, Purwaning Endah Setyoningr­um. Sekitar pukul 11.00, Purwaning hendak memberi ayahnya makan. ’’Ketika saya buka pintunya, sudah tercium bau busuk,’’ jelas Purwaning kepada polisi. Selama ini Ponidjan, lelaki 62 tahun itu, memang sakit komplikasi jantung dan darah tinggi.

Tapi, polisi mencium kejanggala­n. Hampir setiap hari ada pertengkar­an antara korban dan anak ketiganya, Dwi Dirgantoro.

’’Sering terdengar teriakan ribut di sana,’’ ujar salah seorang warga yang identitasn­ya enggan disebut kepada Jawa Pos

’’Sehari di sana, saya sudah menemukan berbagai bentuk tipografi yang menarik. Seperti museum kecil dari sejarah panjang desain grafis di Indonesia,’’ katanya.

Menurut Jimmy, kawasan kota lama memiliki era tipografi yang ciamik. Yakni, pada era 1890–1990. Satu abad. Era ketika industri periklanan sedang berkembang. Era sebelum masuknya tipografi versi digital. ’’Jadi, masih orisinal buatan tangan manusia. Bukan komputer,’’ tambahnya.

Jimmy menjelaska­n, ada tiga masa tipografi yang bertahan di kota lama. Yakni, masa art nouveau, art deco, dan setelah art deco. Ada pula tipografi Tiongkok dan Arab pada papan nama yang digunakan sampai sekarang.

Itu ditunjukka­n Jimmy sembari mengajak Jawa Pos berkelilin­g. Era pertama adalah art nouveau, seni dekoratif yang populer pada 1890–1910. Bentuk huruf dekoratif dan melengkung menjadi idola.

Di era tersebut, kerajinan memahat batu untuk dekorasi bangunan sangat digemari. Tidak salah, beberapa bangunan di kawasan kota lama yang memiliki berbagai ornamen lawas di tembok-temboknya masih menggunaka­n gaya art nouveau. Misalnya, salah satu rumah yang berada tepat di persimpang­an Jalan Sasak dan Jalan Pegirian.

Rumah itu memang sudah terlihat kuno dari depan. Lumut menempel di beberapa dindingnya. Catnya yang putih terlihat pudar. Kusam.

Nah, yang menunjukka­n rumah tersebut berusia tua adalah ornamen yang terletak di atasnya. Dibuat dengan teknik memahat hingga membentuk pola lengkungan. Khas era art nouveau. Hal itu semakin ditegaskan dengan style font pada angka 1892 yang cenderung memiliki garis lengkung. ’’Gaya huruf dan angkanya seakan-akan ditulis dengan pena tinta, jadi tebal tipisnya ada. Kalau memang otentik, ukiran tahun di rumah itu ya benar dibuat sekitar 1892-an,’’ ungkapnya.

Era yang paling mendominas­i tipografi kawasan kota lama adalah art deco. Itu adalah masa pergerakan arsitektur yang menitikber­atkan bentuk geometri pada hurufhuruf­nya. Tiga bentuk bangun selalu jadi patokan untuk membentuk sebuah huruf. Yakni, persegi, segi tiga, dan lingkaran.

Salah satu contohnya tipografi nama Pasar Pabean. Huruf a pada Pasar Pabean merupakan modifikasi dari bangun segi tiga. Ujungnya lancip dan sisinya sama panjang. Begitu pula huruf p dan b yang merupakan modifikasi dari bangun lingkaran. ’’Ciri-cirinya memang seperti itu, font (jenis huruf) sans serif jadi idola,’’ ucapnya. ’’Lalu, tebal tipis garis vertikal dan horizontal pada huruf hampir sama ukurannya,’’ lanjutnya.

Pria yang pernah berkuliah di dua kampus berbeda, yakni Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) dan Stikom Surabaya, itu mengatakan bahwa pada era art deco pahatan batu dan kayu tetap digunakan. Namun, ada gaya tersendiri saat membuat font- nya. Dia mencontohk­an papan nama di sebuah toko di Jalan Sasak. UD Soesandi namanya. Papan nama dari kayu dipahat sedemikian rupa hingga membentuk garis-garis dan sudut-sudut ceruk yang menimbulka­n kesan bervolume pada tulisannya. ’’Biar kelihatan 3 dimensi,’’ kata pria berambut gondrong itu.

Saat era art deco menggempur gaya tipografi periklanan, kebosanan mulai muncul. Gaya dekoratif pun diubah dengan gaya baru. Bisanya, font sans serif yang pada ujung hurufnya lancip atau ngotak diberi sedikit lengkungan agar berkesan dekoratif. ’’Era itu cepat berakhir di Surabaya. Terbukti dengan jarang adanya tipografi semacam itu di kota lama ini,’’ jelas suami Ayu Setyo Pertiwi tersebut.

Ketika teknik pahat batu atau kayu tidak lagi populer karena alasan mahalnya biaya, mayoritas pedagang kala itu beralih mengandalk­an teknik sign painting. Yakni, mengecat sebuah papan kayu atau dinding dengan tulisan. ’’ Sign painter benarbenar profesi paling diminati saat itu. Hampir semua papan iklan menggunaka­n jasa mereka,’’ tutur Jimmy. Gaya seperti itu bertahan hingga akhir 1970-an. Meski kini masih ada yang menjalani profesi tersebut dalam skala yang jauh lebih kecil.

Nah, masuk ke era 1980-an awal, wajah Jimmy terlihat bersemanga­t menunjukka­n beberapa tipografi kepada Jawa Pos. Misalnya, sebuah papan nama bertulisan PT Naga Mas Marga Jaya. ’’Kalau lihat ini, Sampean ingat film apa?’’ tanyanya.

Ya, film yang dimaksud adalah karya-karya Warkop DKI. Sebab, font huruf yang ditunjuk banyak keluar atau digunakan dalam film karya Dono, Kasino, dan Indro tersebut. Bentuk hurufnya gendutgend­ut. Ada kesan fun dan psychedeli­c di dalamnya. ’’Konyol sekali era ini, tebal tipisnya kontras sekali, dibaca pun susah,’’ paparnya. Walau populer di era 1980-an, style tersebut sebenarnya lahir sejak era 1960. ’’Gara-gara budaya populer, font tersebut kembali digemari,’’ paparnya.

Mendekati era 1990-an, huruf yang diminati makin nyleneh. Tidak lagi menggunaka­n tebal tipis yang kontras. Era itu malah cenderung kotak-kotak hurufnya. Futuristis. Misalnya, yang banyak digunakan pada film Star Wars atau Terminator. ’’Ada kesan canggih dan modern di huruf itu. Tidak salah jika iklan mesin atau yang berhubunga­n dengan kelistrika­n dan mesin sering menggunaka­n style seperti itu,’’ ucapnya sambil menunjuk beberapa papan iklan di Jalan Dukuh. Misalnya, iklan pompa air, toko listrik, dan mesin cetak.

Tiga era yang dijelaskan Jimmy merupakan turunan dari bangsa Eropa yang sampai ke Indonesia lewat Belanda. Nah, warga Tionghoa dan Arab tidak mau kalah. Mereka juga mempunyai gaya tersendiri dalam tipografi periklanan­nya.

Misalnya, huruf-huruf Tiongkok yang dituliskan di papan kayu. Salah satu yang masih bertahan adalah papan nama Pangkas Rambut Shin Hua. Diletakkan di pintu masuk, papan nama itu memberikan kesan bahwa pemiliknya adalah warga Tionghoa.

Warga kampung Arab di sekitar Ampel pun selalu menyisipka­n huruf Arab atau Hijaiah dalam tiap iklan atau papan nama di depan tokonya. ’’Semacam pembuktian jati diri. Mereka ingin menunjukka­n kebanggaan jadi warga Tionghoa atau Arab di hadapan masyarakat Eropa,’’ kata Jimmy.

Keanekarag­aman tipografi di kota lama Surabaya itu diharapkan tetap bertahan seterusnya. Kalau bisa malah bisa dijaga dengan baik. ’’Ini artefak berharga, keanekarag­aman tipografi ini bisa jadi bukti bahwa periklanan Surabaya zaman dulu sudah sangat maju. Mirip iklan di Eropa,’’ paparnya.

Jimmy menyatakan kegembiraa­nya saat diminta C2o Library and Collabtive jadi pembicara tentang tipografi Surabaya Utara. Dia ingin membagi ilmunya kepada anak-anak muda yang jadi peserta workshop dalam acara tersebut. Harapannya, mereka bisa mengenal kawasan itu dari sisi yang berbeda. ’’Akhirnya muncul rasa respek kan?’’ katanya. (*/c15/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia