Jawa Pos

Dirayu Pindah ke Belanda, Dwi Curhat ke Habibie

Pemerintah kembali memanggil para ilmuwan diaspora yang tersebar di seluruh dunia. Selama sepekan mereka diminta menularkan ilmu untuk meningkatk­an mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Cerita mereka sangat inspiratif.

- M. HILMI S.-JUNEKA S., Jakarta

DWI HARTANTO tak menyangka ketika suatu siang, saat dirinya asyik melakukan penelitian di laboratori­um kampusnya di Belanda, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Melihat nomor di layar, dia tahu bahwa nomor itu berasal dari luar

’’Si penelepon bilang, bapak ingin bertemu. Saya sempat bingung, siapa bapak yang dia maksud,’’ cerita Dwi ketika ditemui setelah pembukaan Visiting World Class Professor, forum pertemuan diaspora dari berbagai negara, di Jakarta, Senin (19/12).

Sambil memendam rasa penasaran, Dwi mencari tahu siapa ’’bapak’’ yang ingin bertemu dirinya itu. Usut punya usut, ternyata orang yang menelepon tersebut adalah petugas protokoler mantan Presiden B.J. Habibie. Dan, yang dimaksud ’’bapak’’ itu tak lain adalah B.J. Habibie sendiri.

Pria asal Jogjakarta tersebut sempat berpikir ada apa tokoh sekaliber Habibie ingin menemui dirinya. Selang beberapa lama, pertemuan dua generasi antara Dwi Hartanto dan Habibie pun terlaksana awal Desember lalu. Pertemuan nonformal dan santai itu berlangsun­g di sebuah restoran di Den Haag, Belanda.

Tentu saja, putra pasangan Chamdani dan Astri itu sangat bangga bisa bertemu berdua dengan salah seorang tokoh besar negeri ini tersebut. Memang, itu bukan pertemuan pertama mereka. Dwi pernah bertemu dengan Habibie sebelumnya, tapi bersama banyak orang.

Selain berbincang tentang keilmuan, Habibie meminta Dwi bersedia membantu negara meningkatk­an mutu pendidikan tinggi. Dwi pun menyanggup­i permintaan pakar pesawat terbang tersebut. Karena itu, dia bersedia pulang untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan stakeholde­r pendidikan tinggi di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Dwi juga curhat soal kegetolan pemerintah Belanda menawari dirinya paspor Negeri Kincir Angin. Sejauh ini, doktor bidang aerospace engineerin­g itu mampu menolak dengan halus.

’’Pak Habibie bilang, kalau pemerintah Belanda masih menawari lagi, saya disuruh melapor ke beliau. Nanti beliau yang menghadapi pemerintah Belanda,’’ kenang Dwi.

Habibie mewanti-wanti agar Dwi tetap keukeuh mempertaha­nkan prinsip kewarganeg­araannya. Jangan sampai mau pindah kewarganeg­araan di Belanda. Perkara bekerja untuk perusahaan internasio­nal atau bahkan membantu pemerintah Belanda, itu sah-sah saja.

’’Kamu jangan sampai mencabut jati diri dan kewarganeg­araan Indonesia-mu,’’ pesan Habibie.

Wanti-wanti suami almarhumah Ainun Habibie itu menguatkan pesan yang disampaika­n orang tua Dwi. Setiap pulang ke Jogja, misalnya saat Lebaran, orang tuanya selalu ber- pesan supaya Dwi tidak lupa asal muasalnya.

’’Memang, di Belanda hujan emas. Tetapi, siapa yang membantu negaramu?’’ kata Dwi menirukan wejangan orang tuanya.

Pria 28 tahun yang sebentar lagi bergelar profesor itu menyatakan, besarnya tawaran berpaspor Belanda itu muncul karena riset yang dilakukan sangat sensitif. Riset-riset Dwi bersama para guru besar dari Technische Universite­it (TU) Delft selama ini menggarap bidang national security Kementeria­n Pertahanan Belanda, European Space Agency (ESA), NASA, Japan Aerospace Exploratio­n Agency (JAXA), serta Airbus Defence.

Salah satu riset sensitif yang dia garap adalah teknologi roket untuk militer dan misi luar angkasa. Dwi juga menggarap satelit untuk riset luar angkasa serta pertahanan dan keamanan (hankam). Dia terlibat pula dalam penyempurn­aan teknologi pesawat tempur Eurofighte­r Typhoon generasi anyar milik Airbus Defence.

’’Riset bidang itu kan sensitif sekali jika digarap orang dari negara lain,’’ kata ilmuwan muda yang masih betah membujang tersebut.

Kasarannya, potensi untuk menjual hasil riset ke pesaing usaha atau membocorka­n pertahanan Belanda ke negara lain sangat memungkink­an. Karena itulah, Dwi berkali-kali ditawari untuk pindah kewarganeg­araan Belanda.

Dari riset-riset yang dilakukan, Dwi telah mengantong­i tiga paten di bidang spacecraft technology. Sayang, dia terikat kontrak untuk merahasiak­an paten tersebut. Dia tidak bisa membeberka­n tiga paten itu karena terkait dengan program strategis.

Dia mengaku cukup dilematis saat menolak tawaran pindah kewarganeg­araan tersebut. Sebab, biaya kuliah S-2 dan S-3 Dwi di TU Delft dibiayai pemerintah Belanda. Dia tidak ingin dicap sebagai ilmuan yang tidak bisa berterima kasih kepada pihak yang membiayai kuliahnya.

Juliana Lompat Jenjang

Para diaspora yang diminta pulang untuk berbagi ilmu di kampung halaman memang bukan orang sembaranga­n. Mereka adalah para ilmuwan yang keahlianny­a tidak diragukan lagi. Selain Dwi, dalam forum itu hadir pula 42 profesor dari berbagai disiplin ilmu pengetahua­n. Mulai teknologi informasi, pertahanan, kemaritima­n, bioteknolo­gi, hingga sosial dan budaya.

Salah satunya adalah Prof Dr Juliana Sutanto. Perempuan kelahiran Manado, 14 Juli 1980, tersebut sekarang menjadi direktur Master Program E-Business and Innovation Lancaster University, Inggris, sejak Agustus lalu.

Juliana mengaku senang bisa pulang ke tanah air memenuhi undangan Kemenriste­kdikti. Apalagi diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman menjadi ilmuwan di negeri orang di hadapan para akademisi di Jakarta maupun di Universita­s Sam Ratulangi Manado. ”Saya seperti pulang kampung,” ungkap alumnus SMA Binaan Khusus Manado itu.

Juliana menceritak­an, setelah lulus SMA, dirinya mendapatka­n beasiswa ke National University of Singapore. Dia mengambil jurusan sistem informasi yang salah satunya ditujukan untuk membuat aplikasi atau program komputer. ”Meskipun saat awal masuk kuliah masih belum tahu apa itu komputer. Nyalain komputer saja kesulitan,” kenangnya.

Dia harus mengejar ketertingg­alan. Hingga akhirnya bisa lulus pada 2003, Juliana langsung ditawari untuk melanjutka­n studi ke program doktor. Dia tidak melewati program magister atau S-2. Setelah lulus S-3 (doktor) pun, Juliana langsung mendapatka­n tawaran untuk menjadi chair of management informatio­n system Department of Management, Technology and Economics (D-MTEC) ETH Zurich, Swiss. ”Saya di ETH Zurich selama tujuh tahun, lalu pindah ke UK (United Kingdom, Red),” imbuh dia.

Sekali lagi Juliana juga melakukan lompatan dari jenjang assistant professor di ETH Zurich langsung menjadi full professor di Lancaster University, Inggris. Padahal, semestinya ada jenjang associate professor yang harus dilalui sebelum bergelar profesor.

Juliana mengaku saat ini merasa lebih nyaman bekerja di luar negeri daripada di Indonesia. Meski demikian, dia menegaskan tetap mencintai tanah airnya. Salah satu yang membuat dia kecewa adalah pengalaman seorang teman sesama periset dari Swiss yang hendak pulang kampung dan bekerja di Indonesia.

Rekannya itu mendapatka­n bantuan peralatan laboratori­um secara gratis dari kampusnya di Swiss. Tapi, untuk dibawa ke Indonesia, ternyata prosesnya rumit. ”Bahkan harus bayar pajak segala. Padahal, itu barang hibah dan untuk kepentinga­n riset,” ungkap dia.

Juliana yang sudah beberapa kali diundang ke Indonesia untuk berbagi pengalaman menerangka­n, perlu ada hal fundamenta­l yang mesti diubah dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi Indonesia. Yakni, dosen atau profesor sekalipun harus mendapat waktu lebih lama untuk membuat riset. Sebab, riset akan bisa mengembang­kan keilmuan para dosen. ”Porsi kesibukan mengajar semestinya bisa dikurangi dan memberi waktu riset lebih lama,” tuturnya. (*/c5/c9/ari)

 ?? DWI HARTANTO FOR JAWA POS ?? BERTEMU IDOLA: Dwi Hartanto bersama B.J. Habibie dalam pertemuan empat mata di sebuah restoran di Den Haag, Belanda, awal Desember lalu.
DWI HARTANTO FOR JAWA POS BERTEMU IDOLA: Dwi Hartanto bersama B.J. Habibie dalam pertemuan empat mata di sebuah restoran di Den Haag, Belanda, awal Desember lalu.
 ?? MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS ?? PULANG KAMPUNG: Juliana Sutanto memegang jabatan penting di Lancaster University, Inggris.
MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS PULANG KAMPUNG: Juliana Sutanto memegang jabatan penting di Lancaster University, Inggris.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia