Memperkuat Diplomasi Energi
LAPORAN periodik per dasawarsa Badan Energi Internasional/International Energy Agency (IEA) yang dirilis pada 14 Desember menempatkan Indonesia pada peringkat ke-74 dari 180 negara dalam hal capaian ketahanan energi. Di Asia, menurut IEA, Indonesia berada di bawah Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Masing-masing berada di urutan ke-25, ke-39, dan ke-72. Peringkat Indonesia molorot selama dua dekade survei, dari urutan ke-34 menjadi ke-56, lalu sekarang ke-74. Apa yang salah dengan Indonesia?
IEA mendefinisikan ketahanan energi sebagai kemampuan mengeksplorasi, mengelola, sekaligus melestarikan sumber daya energi, baik terbarukan maupun tidak terbarukan. Artinya, kemampuan Indonesia dalam tiga elemen esensial sektor energi terus berkurang selama 20 tahun terakhir. Patut dipikirkan lagi mengapa kinerja di sektor energi belum memuaskan. Bukan hanya dalam konteks domestik, tetapi juga yang berorientasi ke luar negeri.
Khusus untuk aspek eksternal, yang mesti menjadi sorotan adalah kinerja diplomasi energi. Bagaimana para pembuat kebijakan pengembangan sektor energi melihat arti penting diplomasi energi serta tindakan dan strategi apa yang sudah diterapkan. Satu ilustrasi saja. Empat negara Asia dengan kebutuhan energi tertinggi, yakni India, Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, empat negara industri termaju di Asia, sudah sangat berfokus pada upaya penguatan diplomasi energi yang diarahkan pada lima bidangspesifik. Yakni, mencarisumber baru, antisipasi kebijakan kompetitor, pengamanan jalur transportasi, pencegahan krisis berdimensi luas, dan ekspansi pengaruh politik.
Secara global, ada empat tantangan diplomasi energi yang harus dihadapi Indonesia.
Pertama, multilateralisme sektor energi telah bertransformasi dari forum kerja sama menjadi arena kompetisi. Pada awal pembentukan rezim energi antar pemerintah, misalnya Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), para anggota bersemangat dengan maksud diplomasi kolektif guna mengatur tata kelola produksi serta mencegah permainan harga yang berpotensi menciptakan kerugian dan ketegangan di antara produsen serta konsumen utama. Namun, fungsi OPEC bergeser menjadi wadah unjuk kekuatan, tekanan, bahkan paksaan, baik datang dari internal maupun pihak luar. Sebagai konsekuensi, OPEC selalu gagal mengontrol dinamika ekonomi politik perminyakan dunia. Kemudian,
I GEDE WAHYU W. * harga pun berfluktuasi tanpa kendali. Anggota OPEC merugi, lalu terlibat polemik berkepanjangan.
Kedua, yang dialami OPEC berkaitan erat dengan intrusi pengaruh aktor energi global seperti AS, Rusia, dan Tiongkok yang berhasil memainkan kartu bilateral sehingga mengikis koherensi multilateral OPEC. Ketiga pemain besar bahkan telah mampu membentuk poros segi tiga pusat kekuatan diplomasi energi yang seolah beroperasi membatasi ruang gerak OPEC dari luar serta merongrong sinergi OPEC dari dalam.
Tiongkok sangat intensif di negaranegara Afrika yang kaya minyak dan mineral. Beijing menggelar Konferensi Tiongkok-Afrika secara rutin serta setiap tahun menambah kucuran dana untuk pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial di hampir 30 negara Afrika. Pada 2016, tidak kurang dari 60 miliar dolar AS sudah digelontorkan untuk diplomasi energi Tiongkok di Afrika. Hasilnya efektif, Tiongkok secara meyakinkan sudah memenangi sekitar 200 kontrak eksplorasi sumber minyak, gas alam, dan mineral baru di 30 negara Afrika, melampaui raihan Amerika Serikat dan Rusia.
Ketiga, berkaitan dengan intensitas kompetisi di level internasional dan perluasan kepentingan aktoraktor dominan, geopolitik energi di berbagai wilayah menjadi semakin keras. Saat ini memang belum tampak menyeruak konflik terbuka antara AS, Rusia, dan Tiongkok. Namun, letupan-letupan sporadis seperti Arab Spring, perang internal Syria, konflik perbatasan di wilayah Kaspia, serta gelombang panas di Laut China Selatan dan Timur mengindikasikan penguatan potensi militerisasi ekonomi energi global.
Keempat, fenomena relasi ekonomi politik energi dengan isu transnasional yang sebenarnya tidak punya urusan langsung dengan kebijakan energi. Ambil contoh Uni Eropa yang senantiasa menghubung-hubungkan impor produk minyak sawit Indonesia dengan masalah pelestarian lingkungan, perburuhan, dan korupsi.
Apa kebijakan Indonesia? Sayang sekali belum ada jawaban memuaskan untuk pertanyaan krusial itu. Kemenlu memang menunjukkan perhatian pada diplomasi energi. Setidaknya terbukti dari publikasi hasil riset, seminar akademik, dan pertemuan kelompok ahli, tapi lebih berorientasi justifikasi signifikansi isu energi bagi politik luar negeri Indonesia. Implementasi yang konkret masih sangat samar. Begitu pula dalam setiap paparan yang disampaikan menteri luar negeri pada awal tahun, biasanya minggu kedua Januari. Arah, prioritas, agenda, serta strategi diplomasi energi hanya disinggung sepintas, lalu secara garis besar dijadikan catatan kaki proyek diplomasi ambisius seperti poros maritim dunia.
Kapasitas produksi minyak Indonesia diprediksi akan terus menurun, bahkan cadangan dalam negeri bakal habis kurang dari 12 tahun mendatang. Pada 2025, tingkat kebutuhan minyak bumi dan gas alam, akan mencapai puncak. Sedangkan perbaikan tata kelola nasional masih terhambat masalahmasalah akut: korupsi, oligarki, dan kegaduhan politik kontraproduktif. Mari kita tunggu apakah awal tahun depan Kemenlu menyampaikan kepada publik gebrakan strategis diplomasi energi ke depan. (*) * Dosen hubungan internasional FISIP Universitas Airlangga, Surabaya