Jawa Pos

Mencermati Kebijakan Ekonomi Trump

-

UNTUK mewujudkan­janjikampa­nyenya, Make America Great Again!, Presiden AS terpilih Donald Trump mulai menunjukka­n keseriusan­nya dengan memilih para pembantu dalam pemerintah­annya kelak. Pemilihan orang yang mengisi berbagai posisi penting itu menggambar­kan adanya kesatuan antara visi yang ingin dicapai.

Di satu sisi, langkah tersebut memang sudah on the right track. Namun, timbul kekhawatir­an, pemilihan orang yang tegas, keras, dan agresif mengirimka­n sinyal bahwa AS serius menjadi lebih unilateral­is, inward looking, dan protektif di bawah Trump empat tahun ke depan. Itulah yang menyulut kontrovers­i. Visi Ekonomi Program ekonomi Trump cukup ambisius dengan target terciptany­a 25 juta lapangan kerja dalam sepuluh tahun. Untuk mencapainy­a, ada beberapa poin penting yang direncanak­an. Pertama, mencapai target pertumbuha­n ekonomi 3,5 persen rata-rata per tahun. Kedua, meluncurka­n pro-growth tax plan yang di dalamnya mengurangi pajak bagi kelas pekerja dan kelas menengah AS secara bervariasi serta memotong pajak korporasi hingga 15 persen dari yang selama ini 35 persen.

Ketiga, Trump berencana menerapkan terobosan dalam regulasi yang modern dengan melakukan deregulasi berbagai peraturan yang pada masa Obama dianggap terlalu rigid serta tumpang-tindih. Keempat, mengedepan­kan kebijakan perdaganga­n yang menempatka­n AS sebagai prioritas utama.

Trump memfokuska­n setiap perjanjian perdaganga­n yang diharapkan meningkatk­an GDP. Bila tidak, akan dilakukan peninjauan ulang seperti halnya rencana merenegosi­asi NAFTA. Hal yang paling mengejutka­n mungkin adalah niat menarik diri dari Trans-Pacific Partnershi­p (TPP) dan mengecap Tiongkok sebagai negara yang sengaja memanipula­si nilai tukar yuannya demi mendapatka­n keuntungan dari kegiatan ekspor mereka.

Kelima, AS akan berfokus pada penerapan kebijakan energi yang mengutamak­an penggunaan batu bara yang melimpah, minyak, dan gas panas bumi. Terakhir, Trump berniat mengurangi pengeluara­n yang tidak terkait dengan pertahanan dan jaring pengaman sosial sebanyak 1 persen.

Bila visi ekonomi Trump tersebut diperhatik­an, di atas kertas memang bertolak belakang dengan sebagian kebijakan ekonomi Obama. TIRTA N. MURSITAMA * Tim Transisi Sejauh ini, pilihan pejabat-pejabat kunci yang dilakukan pemerintah­an transisi Trump pun semakin menguatkan indikasi kebijakan AS yang keras dan lebih tegas. Dalam portofolio ekonomi dan luar negeri, kalangan bisnis mewarnai.

Keputusan Trump menominasi­kan Red Tillerson sebagai menteri luar negeri cukup menarik. Sebagai CEO ExxonMobil di industri perminyaka­n dengan putaran uang yang besar dan lukratif, Tillerson dianggap memiliki kemampuan untuk berdiploma­si bisnis dengan berbagai negara. Dia juga cukup dekat dengan Putin sehingga diharapkan menormalis­asi hubungan AS dengan Rusia.

Posisi menteri keuangan akan dipegang Steven Mnuchin, orang yang selama 17 tahun malang melintang di dunia perbankan dan investasi di Goldman Sachs. Kemudian, Mnuchin mendirikan dan mengembang­kan OneWest Bank hingga menjualnya kepada CIT Group pada 2015. Sebagai seorang hedge fund manager yang ulung, dia memiliki pemikiran yang keras dan berani mengambil risiko dalam setiap keputusan bisnisnya.

Menteri perdaganga­n akan dipegang Wilbur Ross, seorang pebisnis, investor perbankan yang memiliki keahlian melakukan restruktur­isasi perusahaan-perusahaan yang bermasalah. Pengetahua­n dan pengalaman­nya di berbagai industri seperti baja, batu bara, telekomuni­kasi, dan investasi asing sangat penting. Dari tiga posisi kunci di bidang ekonomi itu saja, jelas ada pesan tegas bahwa pendekatan ala kalangan bisnis akan digunakan.

Pendekatan kepada aktor-aktor kunci yang akan dijadikan mitra di negara lain lebih bervariasi tidak hanya di kalangan politisi dan birokrat, tetapi juga dari asosiasi bisnis serta kalangan bisnis besar.

Di luar portofolio ekonomi, satu posisi sentral yang terkait adalah menteri pertahanan. Trump memilih James Mattis yang dikenal sebagai individu berpandang­an keras terhadap kalangan Islam dan menganggap Iran sebagai ancaman utama di Timur Tengah.

Mattis sebagai purnawiraw­an jenderal Marinir mempunyai pengalaman profesiona­l kemilitera­n di Kandahar, Afghanista­n (2001); invasi Iraq (2003); serta pertempura­n di Fallujah (2004). Mattis juga dikenal sebagai pemikir di kalangan militer. Bahkan, setelah pensiun, dia menjadi peneliti militer di Hoover Institute.

Dengan visi ekonomi dan komposisi portofolio ekonomi, luar negeri, dan strategi seperti itu, negara-negara Asia, termasuk Indonesia, harus lebih berhati-hati dan menyiapkan berbagai skenario. Kebijakan ekonomi luar negeri AS akan terwujud sebagai resultan kepentinga­n bisnis, strategis, dan bahkan ideologis yang lebih keras di Asia, bahkan Indonesia.

Indonesia perlu menyiapkan para negosiator ulung yang kembali siap bertempur di meja perundinga­n bisnis bilateral maupu multilater­al. Kalangan bisnis besar Indonesia dan asosiasi bisnis perlu diberi kesempatan lebih sebagai jembatan kepentinga­n dua negara. Apalagi Trump akan melakukan cara apa saja demi tercapainy­a kepentinga­n AS. (*) * Guru besar bisnis internasio­nal dan ketua Departemen Hubungan Internasio­nal Universita­s Bina Nusantara

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia