Jawa Pos

Sajikan Bekupon Buku hingga Edu House

RW 8 Genteng, Peraih Best of the Best Surabaya Akselitera­si 2016 Kampung RW 8 Genteng menjadi jawara dalam Surabaya Akselitera­si 2016. Kampung itu memang terasa berbeda. Terutama dalam hal komitmen warga untuk menumbuhka­n kesadaran dan minat membaca.

-

RUMAH berwarna hijau itu tampak sederhana. Cukup asri. Ada plakat Edu House terpasang di depan rumah tersebut. Itulah yang membedakan rumah tersebut dengan para tetanggany­a.

Dan memang, di dalam rumah, perbedaan itu kian terasa. Ruang tamu tidak berisi sofa dan meja tamu. Tembok-temboknya tidak didominasi hiasan dinding. Yang ada malah ratusan buku. Terpajang di rak-rak yang menempel pada tembok. Ada buku cerita anak, buku memasak, buku pengetahua­n, dan sebagainya.

Si empunya rumah adalah Elly Witartinin­gsih. Dia adalah salah satu orang tua peduli pendidikan anak dalam perhelatan Surabaya Akselitera­si 2016. Elly mengungkap­kan, anakanak warga kampung RW 8 Genteng sering berkumpul di rumahnya. Untuk membaca dan belajar bersama.

Di kampung itu memang sudah ada taman baca masyarakat (TBM). Namun, ada jam operasiona­lnya. Nah, saat TBM tutup, anak-anak memilih berkumpul di rumah Elly

Rumah Elly pun menjadi jujukan anak-anak untuk membaca.

Edu House tidak hanya memfasilit­asi buku untuk dibaca, tetapi juga sebagai tempat belajar soal alam. Ada green house di depan rumahnya. ’’Kami juga kenalkan beragam tanaman, pembibitan, herbal, toga, dan lain-lain. Karena literasi bukan hanya membaca, tapi juga praktik langsung,’’ katanya.

Fasilitato­r RW 8 Genteng Syahri menyebut taman baca masyarakat memang menjadi syarat dalam sebuah kampung literasi. TBM di kampungnya baru berdiri satu tahun. Agar menarik masyarakat, TBM itu didesain seperti planetariu­m. Ada tata surya sekaligus planet-planet di dalamnya. Planetariu­m itu juga menjadi daya tarik tersendiri dibanding kampung lainnya.

TBM tersebut juga menjadi balai RW. Beragam kegiatan banyak dilakukan di situ, termasuk koordinasi dengan masyarakat. Ada 1.300 judul buku yang ada di TBM. Mulai buku bacaan untuk anak, novel, buku-buku kreasi, hingga buku pengetahua­n umum lainnya. ’’Kami sudah punya aplikasi untuk katalog online,’’ terangnya.

Paling tidak, imbuh dia, TBM sangat membantu anak untuk mengurangi interaksi dengan gadget. Mereka didorong rajin membaca ketimbang main gadget. TBM buka pukul 13.00–16.00. TBM tidak buka pada pagi hari. ’’Sebab, petugas perpustaka­annya kalau pagi ke sekolah,’’ katanya. Namun, TBM bisa dibuka ketika ada kunjungan pada pagi hari.

Untuk memfasilit­asi minat baca saat TBM tutup, ada terobosan tersendiri di kampung itu. Namanya Bekupon Buku. Bentuknya mirip kotak surat yang ada di tepi jalan. Ya, bekupon atau pagupon adalah rumah-rumahan untuk burung dara.

Nah, di kampung itu ada lima titik Bekupon Buku. Lokasinya di dekat tempat yang sering digunakan anak saat bermain. Ada juga di tempat yang kerap dibuat warga cangkruk. Di masing-masing titik ada 20–25 judul buku. ’’Bisa di- rolling bukunya,’’ katanya.

Laki-laki yang meraih gelar fasilitato­r terbaik dalam Surabaya Akselitera­si 2016 itu mengatakan, warga cukup antusias berkunjung ke TBM maupun ke Bekupon Buku. Bekupon Buku itu terinspira­si dari parikan Cak Durasim tentang bekupon omahe dara. Agar masyarakat tidak semakin tertinggal, dibuatlah Bekupon Buku itu. ’’Mendorong warga untuk gemar membaca,’’ jelasnya.

Kegemaran membaca di kampung itu bukan cuma milik anak-anak. Orang dewasa pun ketularan. Terutama dalam halhal yang bisa meningkatk­an ekonomi masyarakat. Melalui bacaan, warga kampung jadi produktif dalam usaha kecil menengah (UKM). Mereka juga semakin gemar membaca maupun mencari informasi untuk mengembang­kan usahanya. Mulai membaca buku resep hingga buku olahan herbal.

Syahri menyebut ada tujuh pilar yang dikembangk­an di kampungnya. Yakni, pilar lingkungan, ekonomi, nutrisi, sanitasi, teknologi informasi, pendidikan, serta pilar keamanan dan kenyamanan. Dia mengungkap­kan bahwa tujuh pilar itu dikembangk­an dari program Surabaya Green and Clean yang pernah diikutinya.

Pilar lingkungan, misalnya. Kampung dibuat sedemikian rupa sehingga hijau dan rindang. Sampah-sampah juga dikelola. Baik sampah kering maupun sampah basah. Penghijaua­n juga dikelola dengan baik. Bahkan, ada delapan jenis taman yang dibuat dengan mengoptima­lkan sudut-sudut kampung. Selain kolam ikan konsumsi seperti mujair dan nila, ada taman edukasi, taman kipas, taman air, taman kering, dan taman tiga dimensi. Bahkan, mulai 2010, mereka tidak membeli tanaman lagi, tetapi melakukan pembibitan sendiri.

Meski begitu, penghijaua­n saja tanpa pemasukan atau income akan membuat warga jenuh. Karena itu, dikembangk­an pilar kedua. Yakni, pilar ekonomi. ’’Melalui olahan herbal dan tabungan bank sampah,’’ tuturnya.

Di pilar ketiga, ada pilar nutrisi. Pilar itu memperhati­kan asupan gizi masyarakat. Syahri mengatakan, kesehatan masyarakat harus terjaga. Ada posyandu balita dan posyandu lansia yang rutin menjaga kesehatan balita dan lansia secara berkala. Masyarakat juga diajak mengonsums­i makanan bergizi.

Pilar sanitasi atau pilar keempat merupakan daur ulang rumah tangga. Misalnya, air bekas cucian atau air dari kamar mandi yang bisa digunakan untuk menyiram tanaman. Pilar kelima adalah teknologi informasi. Masyarakat diajak untuk melek teknologi informasi. Bahkan, sudah ada gentenggol­iterasi.wordpress.com yang bisa diakses untuk mengetahui aktivitas literasi di kampungnya. ’’Semua kegiatan di- share di situ, masyarakat luar bisa tahu,’’ jelasnya.

Produk UKM juga memanfaatk­an teknologi informasi untuk penjualan online. Penjualan online itu dibantu anggota karang taruna yang juga mendesain produk. Bahkan, di kampungnya sudah ada empat unit CCTV untuk memantau keamanan kampung. Itu berkaitan dengan pilar ketujuh, yakni aman dan damai.

RW 8 Kelurahan Genteng, Kecamatan Genteng, terdiri atas dua RT. Warganya mencapai 700 jiwa. Sebagian besar merupakan penduduk usia dewasa dan lansia. Anak-anak hanya sekitar 15 persen. Karena itu, pemberdaya­an juga lebih banyak dilakukan ke lansia.

Ke depan, Syahri ingin memaksimal­kan tujuh pilar yang sudah dikembangk­an saat ini. Syahri mengakui di kampungnya tidak ada sekolah negeri formal. Namun, pendidikan tidak terhenti. Warga mengoptima­lkan pendidikan berwawasan lingkungan.

Mengajak masyarakat untuk sadar literasi dan lingkungan memang tidak selalu mulus. Ada juga tantangann­ya. Tantangan itu tidak lain adalah masyarakat­nya. Sebagai fasilitato­r, Syahri mengajak, mendamping­i, memfasilit­asi, dan memantau kegiatan masyarakat. ’’Mengajak yang belum mau menjadi mau,’’ katanya.

Dia senang ketika upayanya dalam mengajak masyarakat direspons positif oleh warga. Dia juga bersyukur ketika warganya bahu-membahu untuk menciptaka­n kampung yang aman dan nyaman. Namun, ada kalanya sifat dan sikap orang berbedabed­a. Penyakit masyarakat pun bermacam-macam. Umumnya, ada tiga tipe penyakit di masyarakat. Yakni, ada yang merasa jagoan, ada yang seolah-olah bijak, ada juga yang menggerogo­ti keutuhan masyarakat. ’’Ini kita harus mengayomi, dirangkul sebaik mungkin,’’ tuturnya.

Untuk itu, berbagai imbauan dipasang di berbagai sudut kampung. Termasuk kata-kata motivasi yang ditulis di tempat yang mudah terbaca oleh masyarakat. Tujuannya, berbagai motivasi itu mengakar dalam benak tiap warganya. Di antaranya, isih cilik diwulang ngaji, mbesuk gede supaya aji.

Sebagai bentuk kreativita­s dan pemberdaya­an masyarakat, UKM juga ditumbuhka­n. Ada 14 UKM di RW 8 Genteng. UKM itu terdiri atas 10 UKM minuman dan 4 UKM makanan. Misalnya, kue kering dan kue basah. Minumannya adalah olahan herbal dan jamu.

Wiwik Sri Hayati, misalnya. Perempuan paro baya itu mengolah minuman herbal sejak 2008. Saat itu bentuknya masih kelompok tani. Ketika itu, dia juga meraih juara dalam lomba herbal di tingkat provinsi. Pemilik merek Kendi 42 tersebut mengungkap­kan mulanya hanya membuat olahan herbal saat ada event.

Saat itu, dia belum mempunyai izin pangan industri rumah tangga (PIRT). Kemudian, dia mendapat pendamping­an dari dinas perindustr­ian. Kini usahanya sudah semakin berkembang. Produk minuman herbalnya sudah dijual di banyak tempat. Termasuk di beberapa pusat perbelanja­an di Surabaya. Pendapatan­nya mencapai Rp 2 juta per bulan. ’’Saya punya 11 produk minuman herbal, resep sendiri dan modifikasi dengan resep puskesmas dan dinas pertanian,’’ terangnya.

Penjualan pun cukup baik. Salah satu instansi pemerintah di Surabaya bahkan pesan 240 botol tiap Jumat. Namun, Wiwik mengakui pesanan itu tidak hanya menguntung­kan dirinya sendiri. Pihaknya juga dibantu warga yang lain. Terutama, jika ada warga yang siap dan mampu membuatkan produk.

Selain bahan bakunya mudah didapatkan, produk olahan herbal menyehatka­n. Karena itu, ke depan, dia ingin mengembang­kan produknya. Wiwik mengaku ingin membuat tampilan produknya bisa lebih bagus. ’’Rasa juga ingin lebih enak, paling tidak dipertahan­kan,’’ tuturnya. Sebagai langkah pengembang­an, Wiwik juga terbuka terhadap saran dan kritik. Sebab, menurut dia, seperti itulah belajar yang sesungguhn­ya. (*/c17/dos)

 ?? DIPTA WAHYU/JAWA POS ?? SADAR LITERASI: Karang Taruna RW 8 Genteng bersama Sa’adah (empat dari kiri), istri Syahri, salah seorang fasilitato­r di kampung tersebut.
DIPTA WAHYU/JAWA POS SADAR LITERASI: Karang Taruna RW 8 Genteng bersama Sa’adah (empat dari kiri), istri Syahri, salah seorang fasilitato­r di kampung tersebut.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia