BW Bagi Pengalaman Kriminalisasi
SURABAYA – Kriminalisasi hukum telah terjadi di Indonesia sejak zaman kolonial. Seiring perkembangan waktu, masih sering ditemukan kasus serupa. Salah satunya dialami mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto.
Kemarin (20/12) pria yang akrab disapa BW itu berbagi pengalaman di hadapan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dia menjelaskan, kriminalisasi bukan masalah personalisasi. Namun, ada masalah struktural yang lebih besar di baliknya. Salah satu tujuannya adalah membungkam suara-suara rakyat yang kritis.
’’Itu memunculkan indikasi bahwa negara kita belum dalam situasi demokratis,’’ terang BW saat ditemui setelah acara bedah buku berjudul BEWE Menggugat: Kriminalisasi Membungkam Suara Rakyat.
Kriminalisasi pada zaman kolonial, kata BW, dialami sejumlah tokoh penting Indonesia. Antara lain, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Agus Salim. Hingga pergantian masa Orde Lama, Orde Baru, sampai era reformasi, kriminalisasi masih terjadi.
Bahkan, lanjut dia, kriminalisasi menjadi bagian dari imunitas untuk melindungi kepentingan tertentu sehingga memunculkan potential corrupt. ’’Ini juga mengancam munculnya peradaban membatasi hak ekspresi,’’ jelasnya.
BW mengungkapkan, hukum menjadi alat dan bagian dari kekuasaan untuk melakukan kriminalisasi. Dia mencontohkan kasus yang dialaminya. Pada 23 Januari 2015, BW ditangkap Bareskrim Polri terkait dengan kasus keterangan palsu soal penanganan sengketa pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, 2010.
Kasus tersebut memunculkan asumsi publik bahwa BW ditangkap terkait dengan penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka KPK. Kasus tersebut lebih dikenal dengan sebutan cicak versus buaya jilid II. Akhirnya, kasus BW berakhir.
Kisah tersebut akhirnya dibukukan sebagai proses pembelajaran bagi masyarakat. Khususnya mahasiswa fakultas hukum. ’’Sebab, mahasiswa adalah agent of change harapan bangsa,’’ tegasnya.
BW berharap kepedulian masyarakat semakin meningkat untuk mencegah kriminalisasi. Dia juga mengkritisi UU ITE yang baru ditetapkan karena bisa menjadi alat kriminalisasi baru. ’’Termasuk, media juga bisa kena pemberedelan karena hal ini,’’ ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Unair Iqbal Felisiano menegaskan, kasus-kasus hukum aktual bisa menjadi bahan pembelajaran dalam mata kuliah. Kemudian, membangkitkan partisipasi mahasiswa untuk melihat permasalahan tersebut. (ant/c5/nda)