Jawa Pos

Di Hadapan Patung Yesus

- Oleh A.S. LAKSANA

ANGIN agak kencang di luar dan seekor kelelawar terbang masuk ke dalam rumah. Pengeras suara masjid baru selesai mengumanda­ngkan azan Isya. Saya sedang duduk membaca buku di ruang tamu saat dia datang bersama anaknya, gadis kecil berusia sepuluh tahun. ”Mulai minggu depan dia harus menginap beberapa hari di tempat retret,” katanya.

Rumah retret adalah tempat kegiatan rohani para pemeluk Katolik. Di sana mereka berdoa dan menenteram­kan diri. Gadis kecil yang akan menginap di sana masih kelas lima di sebuah madrasah ibtidaiyah. Dia mengikuti kelompok paduan suara dan senang dengan kegiatan itu. Sebentar lagi dia akan berangkat bersama teman-temannya ke Hongkong untuk mengikuti festival.

Saya tahu paduan suara yang diikuti anak itu. Ia dibentuk oleh kawan saya satu kampus dulu, yang memang gemar menyanyi dan menjadi aktivis gereja untuk melatih paduan suara. Di Jakarta dia masih meneruskan kesukaanny­a, membentuk kelompok paduan suara, untuk umum, dan pengikutny­a boleh dari agama apa saja karena memang bukan paduan suara gereja. Teman-teman di kampus dia hubungi dan dia minta anak mereka untuk ikut berlatih. Jadi, ini seperti paduan suara perkoncoan saja.

Pernah dia meminta saya datang untuk menyaksika­n anak-anak asuhnya berlatih di sebuah rumah kosong dengan tulisan ”dijual” pada pagarnya, dan saya datang beberapa kali. Tiga bulan mereka berlatih di sana dan tak bisa lagi menggunaka­nnya ketika rumah itu dibeli orang. Harus ada tempat lain untuk berlatih.

Kawan saya memanfaatk­an jaringan yang dia miliki, sama seperti kita pada umumnya. Ketika sedang membutuhka­n bantuan, kita akan menghubung­i jaringan yang kita miliki. Kelompok paduan suara anak-anak itu akhirnya bisa berlatih di sebuah panti asuhan Katolik yang bersedia meminjamka­n ruangan. Selanjutny­a, ketika diperlukan latihan lebih khusyuk demi mematangka­n penampilan, dua minggu sebelum anak-anak bertolak ke Hongkong, dia mendapatka­n izin untuk menggunaka­n tempat retret.

” Tidak apa-apa dia menginap di tempat itu?” tanya ibu si gadis kecil. Dia terlihat agak cemas. Mungkin dia takut ada dosa di sana, takut bahwa menginap di rumah retret bagi seorang anak beragama Islam adalah tindakan yang dilarang agama dan risikonya akan ditanggung kelak di akhirat, sebuah tempat di mana siksa dan bahagia berlangsun­g kekal.

Saya tidak mempunyai pendapat apa pun tentang itu, juga tidak memiliki dalil agama sebagai penopang sekiranya saya memiliki pendapat. Setelah memandangi sebentar gadis kecil itu, akhirnya saya hanya bisa mengatakan, ”Kelihatann­ya ibumu tidak terlalu nyaman jika kau menginap di sana.”

Sekarang gadis kecil itu sudah kelas dua SMP. Dia memiliki pengalaman yang lumayan banyak dalam mengenali hal-hal di luar agamanya atau lebih tepat agama kedua orang tuanya yang secara otomatis menjadi agamanya. Lebih tepat lagi agama kakeknenek­nya, agama buyut-buyutnya, atau agama orang pertama yang masuk Islam dalam silsilah keluargany­a.

Dia pernah beberapa kali bernyanyi di gereja bersama teman-teman kelompok paduan suaranya, pengalaman yang tidak dimiliki oleh kedua orang tuanya. Anak-anak itu menyanyika­n lagu-lagu daerah yang akan mereka bawakan dalam festival di Hongkong. Itu cara mereka untuk mendapatka­n uang tambahan, seperti pengamen, agar lebih ringan beban patungan yang harus ditanggung orang tua masing-masing untuk membiayai keberangka­tan anak mereka.

Dia sudah pernah melihat bagaimana cara orang-orang Katolik berdoa, pernah juga masuk ke Gua Bunda Maria yang ada di halaman belakang rumah retret, dan mencatat pengalaman-pengalaman­nya dalam buku harian selama menginap beberapa hari di sana. Dia juga mempunyai pengalaman salat yang mungkin terdengar mengerikan bagi kaum garis keras.

Saya tahu semua pengalaman gadis kecil itu karena dia anak saya. Dan saya senang dia memiliki pengalaman seperti itu. Semua pengalaman­nya selama menginap di rumah retret dia ceritakan.

” Tahu nggak, Pak, kapan itu aku salat di depan patung Yesus,” katanya.

”Pasti Dia senang kau salat di depannya,” kata saya. ”Kelihatann­ya begitu.” Suaranya terdengar yakin ketika dia mengatakan ”kelihatann­ya begitu”.

”Mungkin Dia ikut mengamini doa-doamu,” kata saya. ”Dia orang yang kita hormati juga. Sebagai orang Islam, kita menyebut namanya Nabi Isa.”

” Ya,” katanya, seolah-olah dia bisa mencerna perkataan saya.

Saya tidak tahu bagaimana dia memahami pengalaman-pengalaman­nya itu. Tetapi, saya yakin, pada saatnya seluruh pengalaman itu akan memberinya pengetahua­n yang ber manfaat. Dia memiliki persinggun­gan yang menyenangk­an dengan pemeluk agama lain. Itu pengalaman yang baik baginya. Dan pengalaman yang baik akan memberinya ingatan yang baik. Dia tidak akan, dan tidak perlu, menyimpan prasangka bahwa orangorang yang beragama lain adalah ancaman, di saat sejumlah orang gemar meributkan hal-hal kecil, simbol-simbol dan atribut, sebagai sesuatu yang harus disingkirk­an dari pandangan.

Hari ini saya teringat begitu saja pengalaman anak saya itu, yang terjadi tiga tahun lalu. Mungkin karena rasa pedih oleh situasi yang dipenuhi percakapan sengit dan ujaran-ujaran kebencian yang ngotot ingin didengar dan diberi perhatian. Pertengkar­an semacam itu, yang tidak membawa kita ke mana-mana, sekarang sudah menjadi agenda tahunan, dan yang dibicaraka­n itu-itu saja.

Saya pribadi memilih mengucapka­n selamat merayakan Hari Natal kepada teman-teman dan siapa pun yang hari ini merayakann­ya. Mereka sedang merayakan hari kelahiran junjungan yang mereka teladani, hari kelahiran nabi yang saya junjung tinggi juga. (*) Akun Twitter: @aslaksana

 ?? ILUSTRASI: BAGUS/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BAGUS/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia