Jawa Pos

Puisi-Puisi RAUDAL TANJUNG BANUA

-

ya, kata cicak tidak, kata laba-laba cicak berdecak nyaring gemanya laba-laba bergerak merentang jaring demi jaring sarang sunyinya. orang-orang berkuda tertegun. terhentak batu debu gurun. tak mau buang waktu mereka kekang tali kuda kembali masuk kota. di dalam secelah pintu, cahaya yang mereka buru sedang dilimpahi berkah waktu. tak ada yang terbuang walau berada di batas kota, dan akan meninggalk­an kota nuju kota lain yang jauh, yang lebih menenggang, di utara, dalam gelanggang kabut baru: hijrah, hijrah! hening, sepasang cahaya bernapas dalam udara gurun yang panjang menyebut nama tuhan yang Esa. tuhannya Ibrahim, Musa dan Isa. dan demi kesempurna­an itu semua sejarah berpacu di sumbu semesta ya, kata laba-laba tidak, kata cicak cicak-cicak tercekat di celah gua, burung-burung merpati berdekur bersarang tenang di liang masuk bertelur banyak seketika laba-laba tetap menjalin sarang sunyinya cahaya dari luar membuat jaring-jaringnya berkilau tapi cahaya dari dalam membuatnya gilang-gemilang cahaya yang juga menyepuh telur-telur merpati menjadi seputih kristal, dan sayap-sayap yang mengeramin­ya kemilau emas suasa kemudian Asma’ datang berulang setiap petang membawa keranjang makan dan buah-buahan diikatnya dengan sebelah tali pinggang burung-burung merpati menyisih memberi jalan. laba-laba merelakan jalinan sarangnya dikuakkan tangan kasih yang lunak seperti senyuman dan air mata. sementara di jalanan berdebu masih tergores jejak sarung pedang, tombak, lembing, dan kaki-kaki kuda para pengepung. tapi Asma’ tak takut hatinya bukan lempung yang dapat ditekuk kehendak pedang, hanya ia bisa jinak oleh cinta kasih sayang. sebelum kembali pulang menitik air mata Asma’ ke pangkuan sang ayah dan mengembang di telapak tangan menjadi huruf menjadi kalam kekal di kandung badan. di gua Tsur, sejarah baru dimulai… tidak, kata cicak ya, kata laba-laba seperti jalinan sarang laba-laba peta-peta baru dirajut dan terbentang di sepanjang jazirah telur-telur emas menetas bagai air mata Asma’ merpati-merpati kasih membubung ke udara, ke sudut-sudut benteng yang terkepung seperti Tsur, ’’menyerahla­h atas nama-Nya, sebab ke semua kota suci kami akan kembali…” demikianla­h, terbaca kalam kekal itu lagi. dan atas itu semua, berabad-abad cicak dan laba-laba bersilang kata tanpa sahutan di kasau rumah. sebab di antara nyaring suara ada yang bergerak hening menjalin sarang kata-kata. /2016 : faishol hafidz di jalan lurus, pohon-pohon asam tegak menjulang seperti banser berbaris menjaga lintasan semua orang. pasar ikan, rumah-rumah berjajar ke pelabuhan. gema sholawat tersimpan dalam diam lautan. matahari yang membakar aspal dan bubungan kini redup di tepi hutan seakan kereta tebu sarat beban sandar di gudang tua penggiling­an kami, si pelintas fana ini pun berhasrat menjinakka­n waktu walau sebentar dengan kopi, ikan bakar dan ucapan salam di sebuah pintu yang lama menunggu. begitulah, di sebuah serambi yang teduh setelah salam berjawab salam, kuhirup kopiku, sepekat peci seorang santri sambil kusaksikan pohon-pohon asam masih seperti banser, hijau, tenang menjaga lintasan, rumah ibadah dan muktamar. /2016

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia