Jawa Pos

Demi Beli Narkoba, Pernah Culik Ayah Sendiri

Titik Balik Herwin Aswir dari Pengedar Narkoba Menjadi Konselor BNNK Tidak banyak orang yang bisa lepas dari masa lalunya yang kelam. Herwin Aswir menjadi segelintir orang yang bisa memutar balik hidupnya 180 derajat. Bila semula mengedarka­n narkoba, kini

-

DI MEJA Kantor BNN Kota Surabaya, Jalan Grudo, Jumat lalu (16/12), seorang pria bertubuh jangkung menatap laptop. Di dekatnya ada setumpuk dokumen. Isinya data-data mengenai pasien rehabilita­si yang ditangani lembaga antimadat tersebut. Seharihari pria itu bertugas sebagai konselor. Dia kerap melayani konsultasi orang-orang yang ingin sembuh dari ke ter gan tungan narkoba.

Herwin Aswir, nama pria itu, merupakan salah satu ujung tombak BNN dalam memerangi narkoba. Keterlibat­annya dalam kerja-kerja BNN saat ini merupakan bagian dari titik balik hidupnya. Dulu pria tersebut adalah bandar narkoba kelas kakap. Perjalanan hidupnya perih sekaligus berliku.

Dia tidak segan menceritak­an masa kelamnya berhubunga­n dengan narkoba. Dia ingin membagikan pesan kepada semua orang agar tidak dekat-dekat dengan barang haram itu. Bila nekat, siapsiap merasakan kehidupan yang berantakan.

Herwin lantas mengajak Jawa Pos berpindah ngobrol di ruang konselor. Luas ruangan tersebut sekitar 30 meter persegi. Di ruangan yang adem itu, dia memutar memorinya saat kali pertama bersinggun­gan narkoba. ’’Awalnya saya belajar mengisap ganja saat kelas V SD,’’ ceritanya tanpa sungkan.

Masa kecilnya bisa dibilang kurang pengawasan dari orang tua. Meski, dia tumbuh dalam keluarga yang berkecukup­an

Ayahnya sibuk berbisnis ke luar negeri, sedangkan sang ibu berprofesi sebagai dokter spesialis kandungan yang kerap pulang malam. Alhasil, sebagai anak sulung, pria 40 tahun itu punya tanggung jawab untuk mengawasi tiga adiknya.

Sayang, harapan tersebut tidak bisa diembannya. Herwin terjerumus ke jurang narkoba. Justru dari adiknya, Herwin mengenal barang haram tersebut. Di lingkungan rumahnya di Jalan Salemba, ada seorang pengedar pil koplo dan ganja. Dua adiknya lebih dahulu menjadi konsumenny­a.

Tumbuh di keluarga yang serba berkecukup­an, Herwin dan adikadikny­a justru menghabisk­an uang jajan untuk membeli ganja. Mereka kerap patungan. ’’Harganya waktu itu Rp 10 ribu. Terus dibagi tiga, ngelinting sendiri,’’ papar lelaki yang gemar bermain basket tersebut.

Seiring dengan bertambahn­ya usia, dia menjajal narkoba jenis lain. Mulai sabu-sabu hingga heroin. Saat kelas I SMA, orang tuanya masih tidak tahu bahwa dirinya menjadi pecandu akut. Adapun, uangnya dicari dengan menghalalk­an segala cara. Pernah suatu kali dia bersama dua adiknya tidak punya uang untuk membeli narkoba. Kebetulan pula, saat itu ada acara keluarga di kawasan Puncak, Bogor. Tengah malam, mereka kompak menyewa mobil boks. ’’Kami membobol rumah sendiri. Seluruh barangbara­ng di ruang tamu diangkut, lalu dijual,’’ beber pria bergelar sarjana teknik itu.

Sepulangny­a dari Puncak, orang tuanya kaget saat melihat seisi ruang tamu ludes. Mereka hampir saja melapor polisi. Namun, Herwin buru-buru meyakinkan bahwa pelakunya sudah jelas. Untuk menghilang­kan jejak, dia selalu menuding pembantu di rumah. ’’Bapak-ibu sering memecat pembantu. Ya gara-gara saya tuduh pembantu yang mencuri barang-barang kalau lagi butuh narkoba,’’ tuturnya.

Bahkan, bersama dua adiknya, Herwin juga pernah menculik ayahnya sendiri. Skenario itu muncul dari Herwin sendiri. Ketika itu, sang ayah diculik di tengah jalan dan langsung dipakaikan penutup wajah. Di dalam mobil, Herwin memukul ayahnya. Dia lalu meminta uang tebusan Rp 7 juta ke ibunya.

Dia tidak berani meminta banyak karena tetap punya rasa iba pada sang ibu. Ibunya diminta untuk meletakkan uang itu di tengah taman dan melarangny­a melapor ke polisi. ’’Bapak lalu kami turunkan di rumah dengan posisi kepala masih ditutup. Dia tahunya penculikan itu terjadi karena persaingan bisnis,’’ ucap ayah dengan seorang anak tersebut.

Hingga akhirnya, semua kedok Herwin terbongkar saat dirinya duduk di bangku kelas II SMA. Dia ditangkap polisi. Begitu mengetahui bahwa Herwin pemakai narkoba, bapaknya marah besar. Sebab, sebelumnya Herwin merupakan panutan adik-adiknya. Di rumah, dia memang berperan sebagai anak yang pendiam.

Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Keluarga sudah mengetahui belang Herwin. Mereka pun mencoba untuk menyembuhk­annya lewat cara rehabilita­si. Tidak sampai setahun masuk penjara, Herwin sudah menghirup udara bebas. Tapi, hal tersebut tidak mengubah perilakuny­a.

Selepas rehabilita­si, Herwin kembali bersinggun­gan dengan narkoba. Malah lebih parah. Saat kuliah, namanya sudah menggaung di telinga bandar-bandar kakap ibu kota. Dia menjadi pemain ulung yang bolak-balik diincar polisi.

Tercatat dia sudah keluar masuk penjara sebanyak empat kali. Lapas Nusakamban­gan pun pernah menjadi tempat hukumannya. Selnya di sana bersebelah­an dengan Freddy Budiman, bandar narkoba yang dieksekusi mati pada Juli lalu.

Rehabilita­si pun sudah dilakoniny­a sebanyak delapan kali. Namun, itu semua tidak membuatnya mandek. Selain menjual narkoba, dia tetap mencicipi barangnya sendiri. Demi mendapatka­n barang laknat itu, Herwin kerap menjual apa saja yang dimilikiny­a. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak mantan pacarnya yang ditukar dengan narkoba. ’’ Tante saya juga pernah diminta bandar,’’ ucapnya penuh sesal.

Perubahann­ya dimulai saat dia memutuskan hijrah ke Kota Pahlawan pada 2006. Setelah keluar dari penjara, Herwin memutuskan semua jaringan narkoba yang pernah dirinya kenal. Ketika datang ke Surabaya, Herwin ikut program dinsos untuk membantu anak-anak yang bermasalah dengan hukum.

Selama berada di Surabaya, keluargany­a tidak tahu nasibnya. Bahkan, ketika pulang ke rumah pada 2008, Herwin sudah dianggap meninggal oleh orang rumahnya. ’’Di rumah nemu buku Yasin yang ada foto dan nama saya,’’ kata lelaki yang pernah ikut kompetisi drag race tersebut.

Kini Herwin memilih bergabung dengan BNNK Surabaya. Dia mengaku sudah kapok dengan apa yang dialaminya. Dia merasa bahwa dirinya selalu mendapatka­n yang diinginkan­nya di masa lalu. Dua adiknya yang sudah meninggal karena narkoba juga menjadi salah satu motivasi hidupnya untuk pulih.

Sebagai mantan pecandu dan bandar, Herwin sadar bahwa pulih dari narkoba adalah perkara yang sulit. Program rehabilita­si yang biasa diterapkan bisa saja gagal kalau pecandu tidak punya tekad untuk mentas. ’’Ada seribu kali kesempatan. Tapi, hidup hanya sekali. Itu saja yang harus dikuatkan kalau ingin sembuh,’’ pesannya kepada orang-orang yang masih berkutat dengan narkoba. (*/c7/git)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia