Terkesan dengan Event Youth Camp
Belajar Semangat Toleransi dari Kampung Wonomlati Belum banyak yang tahu bahwa di Desa Wonomlati, Krembung, terdapat sebuah tempat menarik. Yakni, masjid yang berhadapan dengan gereja. Selama ini dua tempat ibadah beda agama itu juga menjadi salah satu co
LONCENG di depan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mlaten di Wonomlati, Krembung, terukir tulisan: ’’Mojokerto 1907’’. Ukiran timbul tersebut berwarna biru tua. Mencolok, bersih, dan begitu terawat. Lonceng yang tergantung tali biru itu bersembunyi dari terik matahari dalam menara setinggi sekitar 10 meter. Tingginya tidak lebih dari atap gereja di belakangnya
Pendeta-pendeta GKJW yang pernah memimpin ibadah di gereja itu menyimpan sejumlah kepercayaan terhadap lonceng tersebut. Salah satunya kepercayaan bahwa gereja yang bisa menampung 120 kepala keluarga (KK) itu memiliki usia yang sama dengan sang lonceng. Lonceng tersebut menjadi penanda sekaligus prasasti sejarah pinutur yang hingga kini terus ditelusuri pengurus. Gereja itu juga dipercaya sebagai sebagai salah satu yang tertua di Jawa Timur.
Pengurus gereja tidak sendiri mencari bukti-bukti asal usul itu. Mahasiswa dan akademisi lain kerap datang untuk menelusuri kepastian berdirinya gereja di Jalan Raya Wonomlati itu. Misalnya, melalui foto-foto tempo dulu yang masih tersimpan rapi. Sebab, penelusuran dari segi fisik tidak memungkinkan lagi.
Pada 2000 gereja direnovasi besar-besaran. Karena itu, penelusuran dari hasil kajian arsitektur dan bahannya tidak memungkinkan. ’’Kami (pengurus gereja, Red) selalu punya komitmen bahwa ada sesuatu yang ditinggalkan atau diukir di gereja,’’ kata Pendeta Natael Hermawan saat ditemui Jawa Pos pada Kamis (22/12) di rumahnya yang berjarak hanya 1 kilometer utara GKJW Mlaten.
Siang itu Pendeta Anggraini Mahardini Tinupikso juga ikut mendampingi. Dia adalah pendeta yang hingga kini bertugas membimbing jemaat GKJW. Sejak 2013 dia mengemban amanat tersebut. Anggraini lantas bercerita sambil menyerahkan beberapa file foto digital GKJW Mlaten tempo dulu. Foto berkomposisi hitam putih tersebut menyibakkan banyak cerita. Di dalamnya terekam berbagai macam kegiatan gereja. Mulai Misa Natal, latihan paduan suara, hingga prosesi pernikahan dari masa ke masa.
Beberapa sudut ruangan gereja juga terjepret dan tampak tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Mulai posisi jendela, bentuk bangunan yang bertahan dengan model atap limas segi tiga, model rumah adat Jawa Timur, hingga kondisi menara lonceng. Namun, dari sekian yang tetap, ada beberapa hal yang berubah. Salah satunya pagar kayu yang mengelilingi bangunan utama gereja. Pagar itu dihapus setelah bangunan gereja mengalami perbaikan besar-besaran sekitar 2000.
Selain terus menggali data mengenai umur gereja, pengurus tengah berupaya mencagarkan bangunan tersebut. Sebab, ada banyak benda kuno dan bernilai sejarah. Sebut saja, lonceng yang berusia ratusan tahun. Gereja juga memiliki keunikan lain. Yakni, lokasinya berhadapan langsung dengan Masjid Darussalam. Dua tempat ibadah itu hanya terpisahkan jalan selebar 5 meter.
GKJW Mlaten berada di sisi timur, sedangkan Masjid Darussalam di barat jalan. Selama ini keduanya selalu hidup damai. Warga tetap hidup dalam kerukunan. ’’Masjid dan gereja yang berhadapan ini menjadi pertanda bahwa kita hidup rukun sejak zaman nenek moyang dan harus kita pertahankan,’’ tutur Natael dengan nada optimistis.
Selama ini banyak pihak yang pernah melakukan kegiatan bertema wawasan kebangsaan di tempat tersebut. Mulai seminar kebinekaan, orasi kebangsaan, hingga kemah kepemudaan atau youth camp. ’’Yang paling berkesan adalah youth camp pertengahan 2012 lalu,’’ kata Pendeta Natael.
Pada momen itu, lanjut dia, seluruh pemuda asal Sidoarjo dan sekitarnya berkumpul dan mengikuti kemah selama dua hari satu malam. Mereka terdiri atas beragam latar belakang agama. Ada Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Pesertanya mencapai sekitar 200 orang. Kegiatannya berupa dialog dan materi wawasan kebangsaan. Kegiatan tersebut berlokasi di GKJW Mlaten dan Masjid Darussalam.
Para tokoh agama dan pemuda kala itu melakukan serangkaian kegiatan bersama-sama. Tidak ada beda. Mereka yang berbeda agama dan latar belakang juga tidur di masjid serta gereja. ’’Suasana waktu itu luar biasa dan kita merasakan kebinekaan,’’ ujar tokoh agama yang mengaku penggemar Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Hal lain yang begitu spesial dalam kegiatan tersebut adalah kehadiran Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur. ’’Kesederhanaan dan kehadiraan beliau (Alissa Wahid) memberikan wawasan baru bagi para Komunitas Gusdurian,’’ jelasnya.
Sejauh ini pelaksanaan youth camp tidak tentu lagi. Meski demikian, dialog kebangsaan dan seminar masih rutin dilangsungkan. Hampir setiap setahun sekali seminar kebangsaan diselenggarakan. Bagi Pendeta Natael, Natal tahun ini juga terasa begitu istimewa. Mengapa? Selain merayakan Natal dan tahun baru, dia dan kelompok Gusdurian Sidoarjo memperingati Haul Gus Dur pada Jumat malam (30/12).
Ternyata, Pendeta Natael sejak 2011 mau merepotkan dirinya untuk menduduki jabatan sebagai sekretaris Gusdurian Sidoarjo. ’’Bagi saya, Gus Dur itu sosok toleran yang patut dicontoh semua pemimpin. Soalnya, tanpa Gus Dur, semua repot,’’ ujarnya, lalu tergelak.
Natael masih ingat betul petuahpetuah Gus Dur yang merupakan mantan ketua umum PB NU tersebut. Karena itu, dia pun ingin terus ikut menjadi bagian dalam perjuangan dan menjaga toleransi dengan ikut bergabung dalam Komunitas Gusdurian. Selain itu, Natael turut berkecimpung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jatim sejak 2012. ’’Sudah sepatutnya setiap warga negara hidup dalam toleransi,’’ paparnya.