Fokus Tangkal Paham Radikal
VIRUS lain yang menyebar lewat dunia maya adalah radikalisme. Berdasar laporan KPAI, angka kasus menyangkut agama dan budaya meningkat tajam, yakni 219 kasus. Naik 82 persen jika dibandingkan dengan 2015.
KPAI tengah berfokus mengawasi gerak-gerik empat anak yang terindikasi paham radikal
Pengawasan secara intensif dilakukan sejak 2013. Dimulai dari mencuatnya kasus di Cirebon, Jabar. Sebuah lembaga pendidikan terendus menyisipkan paham radikal pada anak didik mereka.
Kemudian, ada kasus terorisme di Klaten, Jateng, pada 2014 yang pelakunya adalah anak. ”Prosesnya (radikalisasi, Red) tidak dilakukan dalam waktu pendek. Jauh sebelumnya,” kata Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh.
Di antara empat anak tersebut, satu orang berada di penjara atas kasus percobaan pengeboman tempat ibadah. Seorang lainnya juga dibui karena mengancam meledakkan kantor berita asing.
”Dua lainnya dalam rehabilitasi dan pengawasan intensif. Mereka memang belum tersangkut kasus, tapi sempat ada keinginan untuk melakukan,” ujar Komisioner Penanggung Jawab Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak KPAI Rita Pranawati.
Mereka tumbuh di tengah keluarga normal. Tapi, pola asuhnya bermasalah. Anak mengalami perubahan dalam pola pikir dan tindakan. Orang tua mendiamkan karena tidak mampu mengatasi. ”Cirinya mudah. Anak tidak mau lagi berkumpul dengan sekitar. Cenderung pendiam. Ini harus segera ditindaklanjuti,” tuturnya.
Selain melalui internet, radikalisasi sangat dekat dengan kehidupan di penjara. Anak-anak yang berhadapan dengan hukum sangat rawan terpapar. Karena itu, KPAI mendesak pemerintah memisahkan terpidana anak dengan dewasa.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengakui bahwa anak-anak rentan teracuni paham radikal. Saat ini ada 500 orang yang bergabung dengan ISIS di Syria. ”Sebagian besar berusia 15 hingga 30 tahun,” ungkapnya.
Radikalisme juga menyebar di penjara. Sebab, tidak ada pemisahan antara napi kasus teror dan napi kasus lain. Contoh paling nyata terjadi pada Afif, pelaku aksi teror Thamrin. Dia merupakan anak didik Aman Abdurrahman di penjara. ”Makanya, saat ini Aman diisolasi,” katanya. Ke depan, diperlukan penjara khusus untuk napi kasus terorisme.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin mengatakan, upaya radikalisasi juga terjadi di lingkungan sekolah. Potensi itu muncul karena pola pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) yang tidak tepat.
Penyebabnya antara lain adalah kurangnya guru agama di sekolah umum. Nah, kekurangan guru agama itu diisi guru dengan kompetensi lain. Misalnya, guru bahasa Indonesia dipaksa mengajar agama. (mia/wan/idr/c9/ca)