Saatnya Diet Gadget
Kasus pornografi dan cyber crime yang melibatkan anak meningkat tajam. Kesalahan pola asuh atau ada faktor lain?
KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, ada 414 kasus pornografi dan cyber crime anak yang diadukan masyarakat sepanjang 2016. Itu menempati peringkat ketiga di antara total aduan
Pemicunya adalah anak bebas mengakses internet dengan beragam konten. Banyak orang tua merasa tenang saat anak diam di rumah dan tidak keluyuran karena asyik main gadget. Lalu, ada kelonggaran pengawasan.
Komisioner KPAI Bidang Pornografi dan Cyber Crime Maria Advianti mengatakan, peningkatan laporan pornografi dan kejahatan di dunia maya beriringan dengan besarnya jumlah anak yang menggunakan internet. Data Unicef pada 2014, sedikitnya 30 juta anak dan remaja Indonesia intensif menggunakan internet. ”Penggunaannya bisa di atas lima jam per hari,” ungkapnya.
Kondisi itu bisa berdampak negatif. Terkait dengan pornografi, misalnya, anak bisa menjadi pecandu. Ada lagi soal ancaman pihak-pihak tak bertanggung jawab. Misalnya, soal update status di media sosial. Status ”sendiri nih di rumah” berisiko menimbulkan kriminalitas seperti pencurian atau pemerkosaan. ”Kurang edukasi membuat mereka jadi korban kekerasan dunia maya. Anak memang sudah harus mengenal teknologi, tapi harus didampingi dan diedukasi,” tuturnya.
Di sisi lain, kasus kekerasan terhadap anak masih tinggi. Ironisnya, pelakunya adalah sang ibu sendiri. Dari 702 kasus kekerasan kepada anak, sebanyak 55 persen dilakukan oleh ibu.
Kekerasan itu meliputi upaya menghalangi akses bertemu, pengabaian hak pengasuhan, penelantaran, hingga kekerasan dan eksploitasi. Hal tersebut dipicu beberapa hal. Misalnya, konflik rumah tangga, perceraian, dan perebutan hak asuh anak.
Komisioner Penanggung Jawab Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak KPAI Rita Pranawati mengungkapkan, kekerasan tidak hanya terkait fisik, tapi juga intimidasi. Ibu merasa jadi tempat terbaik untuk anak. Hingga akhirnya, dia melarang anak bertemu sang ayah. ”Meski telah bercerai, untuk anak tidak ada yang namanya mantan orang tua,” ungkapnya.
Persoalan utama atas kekerasan dalam keluarga adalah lemahnya pola asuh. Hampir 70 persen orang tua hanya mengadopsi pengasuhan yang diterima sebelumnya. ”Tidak dilihat lagi apakah itu baik untuk anak atau tidak. Cenderung sama dengan yang dialami,” kata Rita.
Dampak dari konflik rumah tangga itu sangat besar. Anak terancam stres. Hal tersebut berpengaruh buruk pada tumbuh kembang sang anak. Bahkan, ada anak yang berupaya bunuh diri karena tidak mampu menghadapi stres yang dialami.
KPAI mendesak pemerintah merevitalisasi pendidikan pranikah. Pendidikan itu diberikan secara intensif kepada calon pasangan. Bukan hanya soal kewajiban menjadi pasangan suami istri, melainkan juga tentang pola asuh anak yang baik. ”Selama ini pranatanya sudah ada, yaitu kursus calon pengantin. Tapi, sangat tidak berdaya. Di beberapa KUA ada yang tidak diberikan,” kata Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) diminta memberlakukan mata kuliah perlindungan anak di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) diminta membuat regulasi mekanisme untuk rekrutmen pendidik dan kependidikan yang tidak memiliki riwayat dan berpotensi menjadi pelaku kekerasan di satuan pendidikan.
”Berkaitan dengan cyber crime, Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu menerbitkan regulasi dan kebijakan yang dapat menekan tayangan pornografi dan konten tidak sehat lainnya. Tentunya dibarengi dengan upaya hukum bagi pengunggah dan perekam,” tegasnya.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, pihaknya tengah mengembangkan perlindungan anak berbasis masyarakat. Caranya, meningkatkan sensitivitas keluarga dan anak terkait konten pornografi atau cyber crime lain. Pemerintah menyiapkan 1.300 lebih fasilitator desa yang akan mendampingi.
Cara itu paling pas daripada hanya menunggu pihak-pihak bersangkutan menutup konten. Berdasar laporan Bareskrim Polri, setidaknya ada 25 ribu situs per hari yang bisa di- upload. ”Khusus untuk cyber crime, kami memberikan fasilitas kepada keluarga agar mampu mendampingi anak dalam penggunaan IT,” paparnya.
Ketua Dewan Konsultatif Nasional Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi menuturkan, temuan KPAI bahwa pelaku kekerasan terhadap anak didominasi oleh ibu cocok dengan temuan pihaknya beberapa tahun lalu. Ada beberapa alasan. Pertama, waktu ibu bersama anak lebih banyak. Dengan demikian, potensi adanya kekerasan oleh ibu kepada anak lebih tinggi.
Kedua, ibu kerap menjadi korban kekerasan oleh ayah. Nah, untuk pelampiasan kekesalan itu, si ibu meluapkan kepada sang anak. Faktor lainnya adalah beban ekonomi.
Kak Seto mengusulkan solusi berupa pemberdayaan rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT). RT dan RW harus bisa menjadi media untuk para ibu mencurahkan unek-unek sehingga tidak disimpan sendiri, kemudian dilampiaskan kepada sang anak. Upaya melindungi anak perlu dilakukan warga satu kampung. Tidak bisa diberikan kepada kedua orang tuanya saja.
Mengenai potensi anak-anak terlibat cyber crime, Kak Seto mengatakan, perlu ada diet menggunakan gadget dan menonton teve. Di sela-sela itu, orang tua mengajak ngobrol anak-anaknya dengan santai. ”Misalnya, main dakon atau sekadar makan malam atau minum teh sore-sore bersama,” ujarnya.
Dia tidak ingin anggota keluarga sibuk dengan gadget masingmasing. Orang tua tetap perlu untuk melek IT supaya bisa ikut memantau sang anak. Namun, tetap tidak boleh berlebihan. (mia/wan/c10/ca)