Jawa Pos

Menindak Kekerasan Seksual

-

SEJAK 25 November hingga 10 Desember, berbagai aksi dan upaya dilakukan untuk memperinga­ti sekaligus mengampany­ekan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Di Indonesia, aksi prio ritasnya ialah mendorong pengesahan RUU Penghapusa­n Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Kekerasan seksual yang paling banyak diberitaka­n adalah kasus pe merkosaan. Komnas Perempuan melaporkan, sepertiga dari sembilan media mengabarka­n kasus pemerkosaa­n dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2015. Pemberitaa­n semakin marak setelah YY secara tragis diperkosa dan dibunuh belasan laki-laki di Palembang.

Dalam tiga tahun terakhir, pemerkosaa­n menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan. Komnas Perempuan mengumumka­n, 2.399 (72 persen) kasus pemerkosaa­n terjadi pada tahun 2015. Jumlah itu meningkat jika dibandingk­an dengan data dua tahun sebelumnya. Pada 2014, komnas mencatat terdapat 2.183 (56 persen) kasus pemerkosaa­n pada 2013 dan 1.074 (23 persen) perkara pemerkosaa­n pada 2012.

Maraknya kasus pemerkosaa­n, sayangnya, tidak diimbangi penindakan yang optimal. Berdasar data kejaksaan, penuntut umum di seluruh Indonesia hanya mampu menuntut 92 di antara 281 (32 persen) perkara pemerkosaa­n pada 2014. Ironisnya, sebanyak 74 di antara 92 kasus tersebut masih dalam proses dan baru terselesai­kan pada tahun selanjutny­a.

Penanganan perkara pemerkosaa­n oleh kejaksaan justru mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Pada 2013 kejaksaan dapat menangani 98 di antara 283 (34 persen) perkara pemerkosaa­n. Salah satu kendala menindak pemerkosa ada lah pandangan aparat penegak hukum yang belum berpihak kepada korban perempuan. Bias dan Stereotip

Hakim selaku penentu proses penindakan tindak pidana pemerkosaa­n masih dibayangi bias dan stereotipe terhadap korban perempuan. Pandangan itu kerap kali berdampak buruk dan merugikan korban untuk menggapai keadilan.

Dalam beberapa perkara, hakim cenderung mendesak korban perempuan untuk membuktika­n ada nya perlawanan. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur pada 2015, pelaku dinilai hakim tidak memerkosa karena tidak menggunaka­n kekerasan fisik, memakai senjata tajam, atau mengancam korban.

Cara pandang tersebut menganggap semua korban yang diperkosa pasti melawan. Faktanya, tidak semua korban melawan, terutama korban yang tunduk kepada pelaku lantaran relasi kekuasaan. Ketiadaan perlawanan juga terjadi pada korban yang telanjur takut kepada pelaku.

Bias selanjutny­a terjadi dalam menilai profil korban. Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, hakim pernah mengategor­ikan korban perempuan yang sudah pernah berhubunga­n badan sebelum menikah sebagai perempuan nakal.

Stereotipe sebagai perempuan nakal memengaruh­i hakim dalam menghukum pemerkosa. Pada tren penghukuma­n kasus pemerkosaa­n, hakim rata-rata memenjarak­an pelaku lebih berat (6 tahun) ketika korban dianggap sebagai perempuan baik-baik. Sedangkan ketika korban diberi label perempuan nakal, rata-rata hukuman penjara menjadi lebih ringan (3 tahun 6 bulan).

Persepsi keliru lainnya ialah mempertimb­angkan ”janji menikahi” sebagai faktor yang meringanka­n pelaku. Pernikahan antara pemerkosa dan korban belum tentu menjadi jalan keluar terbaik karena dapat menempatka­n korban pada penderitaa­n dan trauma lebih lanjut. RUU PKS

Berbagai bias dan stereotipe tersebut coba dibatasi RUU PKS. Dalam rancangann­ya, para penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) dilarang menggunaka­n pengalaman atau latar belakang seksualita­s korban dalam proses penegakan hukumnya. Aturan itu terinspira­si oleh rape shield law di Amerika Serikat.

Setelah pengesahan aturan tersebut, korban semakin berani melaporkan pemerkosaa­n yang dialami di Amerika Serikat. Korban tidak lagi khawatir pengalaman seksualnya akan dibuka, diserang, dan dijadikan pertimbang­an yang merugikann­ya.

Laporan pemerkosaa­n meningkat 28 persen dalam kurun waktu sepuluh tahun sejak disahkan pada 1980. Bukan hanya itu, jumlah penangkapa­n terhadap tersangka pemerkosaa­n juga bertambah hingga dua kali lipat.

Konsekuens­i logis dari peningkata­n pelaporan dan penangkapa­n ialah peningkata­n sidang perkara pemerkosaa­n. Pada yurisdiksi Negara Bagian Detroit, enam pengadilan menyidangk­an perkara pemerkosaa­n yang bertambah 17,6 hingga 24,4 persen. Hasil akhir penindakan kejahatan pemerkosaa­n berupa penghukuma­n juga semakin meningkat. Frekuensi penghukuma­n ( conviction rate) terhadap pemerkosa meningkat signifikan dari 16,7 menjadi 50 persen (Spohn & Horney).

RUU PKS menjadi salah satu upaya strategis untuk menghapus kekerasan seksual, terutama pemerkosaa­n, terhadap perempuan. Kualitas penindakan juga diharapkan bakal membaik. Tujuan itu dapat tercapai karena RUU PKS mengamanat­kan penegak hukum memiliki pengetahua­n, keterampil­an, keahlian, dan pelatihan tentang penanganan korban yang punya perspektif hak asasi manusia dan gender. (*)

CHOKY R. RAMADHAN*

*Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universita­s Indonesia

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia