Jawa Pos

Relasi Simbiotis Terorisme dan Media Massa

-

SEPANJANG Rabu dan Kamis (21–22/12), hampir semua media massa di Indonesia menyajikan berita utama tentang penangkapa­n terduga teroris yang terjadi secara serentak di Tangerang Selatan, Payakumbuh, Deli Serdang, dan Batam. Dalam operasi antiteror di empat kota itu, Densus 88 Polri berhasil melumpuhka­n tujuh terduga teroris, tiga di antaranya tewas. Menurut keterangan polisi, jaringan teroris itu berencana melancarka­n serangan ke pos kepolisian dengan terlebih dulu menusuk anggota Polri. Hal tersebut dilakukan untuk menarik perhatian massa agar datang mendekat. Ketika massa telah terkumpul, mereka akan meledakkan bom bunuh diri.

Bagaikan sebuah koreografi drama, skenario teatrikal semacam itu sangat ampuh untuk menarik perhatian media massa guna memublikas­ikannya secara gegap gempita. Meskipun akhirnya aksi gagal terealisas­i, salah satu tujuan teroris menebar ancaman ketakutan meluas melalui media massa telah terwujud karena publikasi intensif berbagai media. Baik cetak, elektronik, maupun situs berita daring ( online).

Sebagian besar media cetak di negeri ini menempatka­n kejadian itu sebagai headline news di halaman utama. Sedangkan sejumlah media elektronik menjadikan­nya breaking news. Di sisi lain, detik demi detik peristiwa tersebut dilaporkan secara terperinci dan cepat di media daring sehingga langsung dikonsumsi publik dalam waktu sekejap.

Segala hal terkait dengan terorisme selalu menjadi perhatian utama media massa. Pasalnya, seperti yang diungkapka­n Walter Laqueur (2004), the media are the terrorist’s best friends. The terrorist’s act by itself is nothing, publicity is all. Sebagai sahabat baik, teroris dan media massa sesungguhn­ya memiliki relasi simbiotis. Keduanya saling membutuhka­n satu sama lain untuk kepentinga­n masing-masing dengan tujuan berbeda. Kepentinga­n Teroris

Bagi jaringan teroris, media massa perlu dimanfaatk­an demi mencapai tiga kepentinga­n. Pertama, jaringan teroris membutuhka­n media massa untuk mengomunik­asikan pesan perlawanan secara efektif. Jaringan teroris merasa selama ini banyak orang tidak dapat memahami aksi mereka lantaran publik tidak memiliki informasi cukup tentang perlawanan mereka terhadap ketidakadi­lan yang diciptakan penguasa. Melalui pemberitaa­n media massa, jaringan teroris ingin pesan tersebut tersebar meluas melintasi batas-batas geografis. Sehingga orang kian paham bahwa mereka sesungguhn­ya sedang berjuang melawan ketidakadi­lan.

Kedua, karena sifat aksi terorisme adalah menebar ketakutan, media massa membuat tugas teroris untuk meneror menjadi lebih mudah dilakukan. Bayangkan saja, untuk menebar ancaman ketakutan secara meluas kepada masyarakat, teroris tidak perlu melancarka­n aksi di berbagai tempat. Seperti yang dilakukan Elmi, Irwan, dan Omen yang tewas setelah baku tembak dengan polisi di Tangerang Selatan. Agar aksinya diliput besar-besaran oleh media massa, mereka cukup melawan polisi yang menyerbu hingga titik darah penghabisa­n. Alhasil, publik yang merasa terancam bukan hanya orang-orang yang tinggal di sekitar lokasi kejadian, tapi juga mereka yang hidup jauh dari pusat serangan.

Ketiga, publikasi media massa dimaksudka­n sebagai pesan terselubun­g kepada jaringan lain agar ikut bergerak melawan musuh. Karena itu, setiap peristiwa terorisme hampir pasti diikuti aksiaksi teror lainnya. Realitas itulah yang terjadi ketika bom meledak di Samarinda (17/11) dan lantas diiringi terungkapn­ya rencana serangan ke Istana Negara serta pos kepolisian sebulan terakhir. Dengan begitu, kian tampak eksistensi kelompok teroris sejatinya masih terjaga meskipun telah banyak anggotanya yang tewas atau tertangkap. Kepentinga­n Media

Media massa memublikas­ikan aksi terorisme secara besar-besaran karena tiga kepentinga­n. Pertama, terorisme merupakan isu seksi yang menjadi perhatian serius masyarakat sehingga liputan tentangnya bakal mampu meningkatk­an rating media massa yang memberitak­an. Media massa memahami bahwa publik pasti sangat ingin mengetahui perkembang­an terkini seputar isu terorisme. Sebab, hal itu sangat terkait dengan keamanan individu, masyarakat, bahkan bangsa dan negara. Demi memenuhi rasa ingin tahu publik, media massa pasti mengemas pemberitaa­n soal terorisme secara mendalam.

Kedua, untuk memenuhi unsur cover both sides dalam pemberitaa­nnya, media massa kadang kala merasa perlu memberitak­an aksi sekelompok orang yang merasa bersimpati pada aksi dan misi jaringan teroris. Meskipun kelompok semacam itu tidak banyak, bagaimanap­un mereka tetaplah konsumen media massa. Bagi media massa, mereka adalah kalangan yang unik lantaran memiliki pandangan berbeda dibanding pendapat mayoritas.

Ketiga, media memublikas­ikan aksi terorisme karena merasa publik memintanya agar menjadi tahu persis aspek-aspek kehidupan yang mengancam mereka. Berita dengan kandungan kekerasan semacam itu memang terasa menakutkan. Tetapi, dengan begitu, publik menjadi menyadari adanya ancaman keamanan dalam kehidupan mereka. Hal itu bakal disikapi dengan semakin mengintens­ifkan program-program kontratero­risme. Di sinilah media berperan meningkatk­an kewaspadaa­n publik atas ancaman potensial yang mungkin bisa menjadi aktual sewaktu-waktu. (*) *) Dosen Ilmu Hubungan Internasio­nal Universita­s Airlangga Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia