Merawat Ke-Bhinneka-an B
ARANGKALI, Anda juga merasakannya. Akhir-akhir ini isu bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) begitu banyak berseliweran. Di media sosial, grup e-mail, grup WhatsApp, grup BBM, hingga di situs-situs internet yang kian menjamur ribuan jumlahnya.
Sayang, sebagian masyarakat begitu mudah termakan isu-isu semacam itu. Tak peduli profesi maupun latar belakang pendidikannya, seringkali ikut menyebar ( share) informasi yang derajat validitasnya tak lebih dari isu atau kabar burung. Lalu, membumbuinya dengan komentarkomentar tajam penuh syak wasangka. Ritual tabayun atau klarifikasi seolah tak diminati.
Label ”kafir” pun begitu mudah disematkan oleh satu kelompok kepada kelompok lainnya. Begitu pula cap ”minoritas dan mayoritas” yang begitu mudah terlontar dalam sengitnya hujatan. Ada yang bilang, tenun kebangsaan kita mulai koyak di sana-sini. Barangkali, ada benarnya juga.
Karena itulah, akhir tahun menjadi momen tepat untuk introspeksi dan mawas diri. Isu ancaman konflik dan disintegrasi bangsa memang sumir terdengar, tapi tak boleh disepelekan.
Kualitas kita sebagai bangsa yang besar sudah cukup teruji. Pemberontakan-pemberontakan di awal republik ini berdiri, revolusi 1965, hingga krisis multidimensi pada 1998 sudah berhasil dilalui.
Di akhir 1990-an, ketika Indonesia terhuyung diterjang badai krisis moneter dan kerusuhan bernuansa SARA, banyak yang meramalkan Indonesia akan terjangkit virus balkanisasi, pecah berkeping-keping seperti negara-negara di Semenanjung Balkan.