Ciptakan Kopi Luwak, tapi Bukan dari Hewan
Tiga mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Jember meraih medali emas di Taiwan. Bahkan, mereka mendapat special award dari Kanada, Polandia, dan Makau.
TRI Angga Maulana, M. Ali Firdaus, dan Bagas Rizky Aldiano semakin percaya diri. Semua itu tak terlepas atas prestasi yang mereka raih dalam ajang Kaohsiung International Invention and Design Expo (KIDE) yang diselenggarakan World Invention Intellectual Property Associations (WIIPA) di Kaohsiung, Taiwan, 9–11 Desember.
Kreativitas yang mereka kembangkan mampu mengharumkan kampusnya, Universitas Jember. ”Awalnya, kami diberitahu teman melalui internet mengenai ajang internasional untuk mempromosikan produk inovasi dunia,” kata Bagas kepada Jawa Pos Radar Jember. Berbekal informasi tersebut, dia mencoba mengadu nasib dengan mengikuti event itu. Mereka mengirimkan abstrak dan artikel lengkap mengenai kreativitas di kampusnya, yaitu Kopi Luwak Buatan (Kolutan).
Tak dinyana, mereka dinyatakan lolos mengikuti event KIDE tersebut. Padahal, produk tersebut merupakan hasil penelitian program kreativitas mahasiswa bidang penelitian pada 2016 bersama dosen pembimbing Nurul Isnaini Fitriyana.
Mereka, ucap Bagas, mulai meneliti kemungkinan membuat kopi luwak artifisial sambil berkonsultasi dengan beberapa dosen. Dari hasil penelitian itu, mereka mencoba menemukan cara mengolah kopi yang memiliki cita rasa dan aroma yang mirip dengan kopi luwak. ”Kuncinya, bagaimana meniru kondisi lambung luwak saat mencerna kopi,” katanya.
Setelah meneliti selama lima bulan, ketiganya menemukan formula menciptakan kopi luwak artifisial. Resepnya, lanjut Bagas, bergantung pada tiga hal. Yakni, suhu saat menggoreng, pemberian enzim protease yang tepat, dan pengadukan yang pas. ”Semuanya ditiru dari kondisi lambung luwak saat mencerna kopi,” ungkap Rizki.
Penelitian tersebut, ujar dia, juga dilakukan karena kopi luwak adalah kopi Indonesia yang memiliki kualitas unggul dan sangat digemari di dunia. Selain itu, kopi itu memiliki harga yang mahal. Prosesnya diolah di dalam perut luwak dengan tidak mudah. ”Melihat fakta tersebut, kami berinovasi untuk bisa menghasilkan kopi yang menyerupai kopi luwak, tapi tanpa hewan luwak,” jelasnya.
Metode yang dilakukan adalah memfermentasi kopi arabika gelondong dengan enzim protease di dalam fermentor dengan mengendalikan suhu, lama fermentasi, dan pengadukan. Perlakukan tersebut berdasar pada aktivitas di dalam lambung luwak yang meliputi suhu dan lama fermentasi.
Karya itulah yang kemudian dibawa ke ajang KIDE 2016 yang diikuti 26 negara dengan lebih dari 300 peserta. Ada beberapa kategori dalam kegiatan itu. Di antaranya, kesehatan, energi, pertanian, desain, dan alat. ” Tim kami masuk kategori pertanian,” imbuh Ali Firdaus.
Dalam KIDE, produk mereka dinilai dan diuji dewan juri yang berasal dari WIIPA. Bahkan, Kolutan berkesempatan dipresentasikan di atas panggung sebagai salah satu perwakilan dari Indonesia.
Dari Indonesia ada enam. Yakni, 1 tim dari Universitas Jember, 2 dari Universitas Islam Indonesia ( Jogjakarta), 2 dari Universitas Mercu Buana (Jakarta), dan 1 tim dari Universitas Sumatera Utara. Unej mampu meraih medali emas dalam ajang tersebut.
Sementara itu, Angga menambahkan bahwa kopi luwak artifisial yang mereka buat bukan yang pertama. Sudah pernah ada sebelumnya. Namun, lanjut dia, yang membedakan adalah kadar cita rasa dan aromanya. ”Kami akan terus mengembangkan kopi ini,” ujarnya. (har/c5/diq)