Jawa Pos

Datangi Rumah Tua, Harus Pintar Memuji

Chrisyandi Tri Kartika, Tujuh Tahun Blusukan ke Tempat Bersejarah Chrisyandi adalah petualang sejarah sejati. Sejak 2009, dia blusukan ke berbagai sudutsudut Surabaya dan mencari bangunan-bangunan bersejarah. Setelah mengabadik­an keunikanke­unikan bangunan

-

CHRISYANDI punya gaya khas saat bertualang. Mengenakan celana bahan, jaket parka, dan sepatu pantofel. Empat kantong di jaketnya juga penuh dengan berbagai peralatan. Tangan kirinya menenteng tote bag berisi air minum. Yang mengalung di lehernya adalah kamera digital.

Pagi-pagi benar, dia sudah berangkat dari rumahnya di Jalan Manyar Sabrangan. Dia menempuh perjalanan 10 kilometer dengan motor Suzuki Shogun abu-abu menuju Jembatan Petekan. ’’Harus pagi. Kalau enggak, si kecil bakal kelayu (ingin ikut, Red),’’ ujar ayah dua anak itu saat duduk-duduk di dekat pusat perbelanja­an Jalajaya di timur Jembatan Petekan pekan lalu.

Pagi itu dia berencana mengubek sejumlah tempat di wilayah Surabaya Utara. Malamnya dia lebih dahulu menyusun rencana perjalanan. Pertama, melihat kondisi Jembatan Petekan yang sudah tidak lagi utuh. Kedua, masuk ke kompleks Pangkalan Armada Timur (Armatim). Kebetulan saat itu Naval Base Open Day. Dengan begitu, warga biasa seperti Chris –panggilan Chrisyandi– boleh leluasa masuk ke kompleks militer

Saat di Jembatan Petekan, Chris menuruni tangga landai. Itu bukan kunjungan pertamanya ke jembatan buatan pemerintah kolonial Belanda. Karena itu, dia hafal betul letak tuas, lampu, mesin penggerak jembatan, hingga pos penjagaan yang kini tinggal fondasinya. Puas melihat konstruksi jembatan, dia bergegas membuka tas kameranya. Mengarahka­n lensa ke arah suatu objek. Telat sebentar saja, momen yang ditungguny­a bisa hilang. ’’Ya gini. Telat sedikit bisa tidak dapat apaapa,’’ ucapnya, lalu memasukkan kembali kamera ke tas.

Rupanya, Chris sedang membidik pencari cacing yang dengan santai mengambang terbawa arus sungai. Mengapung, berpeganga­n pada ban dalam mobil. Potret kehidupan sungai semacam itulah yang dia cari. Suatu saat, aktivitas semacam itu bisa tinggal kenangan. Foto-foto tersebut bisa dinikmati di grup Facebook Surabaya Heritage Society. Di grup pencinta sejarah Surabaya itu, dia menjadi adminnya. Yang pasti, tak terhitung lagi tempat yang pernah dia datangi.

Tidak lama kemudian, ada yang memanggiln­ya. Dari kejauhan, wajahnya tidak terlihat. Tertutup silau sinar matahari dari timur. Ketika sudah dekat, Chris baru menyadari, pria itu adalah Sayfudin Endo. Pencinta sejarah yang juga tergabung dalam Surabaya Heritage Society. Masih muda dan penuh semangat. ”Hei, halo. Kok tahu saya di sini?” tanya Chris, lalu menjabat tangan Udin, panggilan Sayfudin.

Udin ternyata penasaran dengan dua motor yang terparkir di dekat Jembatan. Dia ikut memarkir sepedanya ketika mengetahui ada Chris. Keduanya lalu melihat kondisi besi- besi berkarat jembatan. Lalu, mereka mencocokka­nnya dengan foto saat jembatan masih utuh. Masih bisa buka-tutup agar perahu bisa melintas.

Tidak sekadar menikmati bangunan tua itu, Chris juga lebih detail mengamatin­ya. Dia menggedorg­edor besi tua yang berongga. Sebentar kemudian, dia memasukkan kepala untuk melihat apa yang ada di dalam besi berongga itu. Oh, rupanya di dalamnya ada tuas yang dulu dipakai untuk menyetop kendaraan. Semacam palang pintu. Namun, tuas itu sudah tidak bisa digerakkan karena sudah lengket dengan karat.

Nama Petekan sendiri didapat karena jembatan tersebut bisa dibuka-tutup hanya dengan menekan tombol atau dalam bahasa Jawa disebut petekan. Mereka bergantian memotret komponen-komponen jembatan. Diabadikan. Sebab, siapa tahu komponen tersebut hilang.

Hari itu, kunjungan Chris di Petekan cuma sebentar. Dia harus bergegas menyaksika­n Naval Base Open Day. Pengunjung sudah terlihat semakin membeludak pada pukul 09.00. Benar saja, saat masuk ke Armatim, kendaraan sudah mengantre. Tempat parkir penuh. Karena itu, Chris memutuskan untuk memarkir motornya di PT PAL. Perjalanan menuju lokasi ditempuh dengan berjalan kaki.

Tapi, ada hikmahnya. Di tengah perjalanan, Chris bisa melihat meriam-meriam yang dijadikan tambatan tali kapal. Juga, bungkerbun­gker pertahanan yang jarang diketahui banyak orang.

Setelah 20 menit berjalan, tambatan kapal dari meriam ternyata memang benar ada. Chris lalu memotret tambatan yang dicat hitam itu. Udin pun mengikutin­ya. Sesekali dia mengeluark­an botol minumnya. Semakin siang, cuaca semakin terik.

Suami Tri Dewi tersebut sontak berbelok ke kanan. Berjalan mendahului. Tangannya menunjuk ke arah bungker yang berbentuk lonjong dengan ujung runcing. Mirip kubah masjid, tapi lebih langsing. Orang-orang menyebutny­a Bungker Roti Manis. Dahulu roti manis Belanda berbentuk seperti bungker.

Seperti masuk rumah sendiri, Chris tidak segan membuka pintu bungker yang berbahan besi tersebut. Suara decitannya menunjukka­n engsel pintu kurang pelumas. Tapi, masih tergolong ringan untuk dibuka dan ditutup. Cahaya seketika sirna saat masuk ke lantai 2 bungker. Chris membuka tote bag- nya. Dia menamcapka­n lampu LED portabel ke power bank. Lampu seharga Rp 4.000 tersebut lumayan menerangi. Ini kali kedua Chris masuk ke sana.

Udara di dalam bungker menyesakka­n dada. Oksigen tipis. Setiap kali melangkah, debu-debu beterbanga­n. Menambah sulit bernapas. Dari lantai 2, terdapat tangga berbeda yang terhubung dengan pintu bungker di belakang. Dahulu bungker dibangun sebagai pos pertahanan Belanda untuk menahan serangan tentara Jepang. Chris memotret detail-detailnya. Mulai pintu, engsel, tangga, langitlang­it, hingga ruangan-ruangan sempit yang ada. Saat masuk, beberapa pasang mata tentara mengawasi. Sebab, nyaris tidak ada pengunjung yang berani blusukan. ” Westalah gak popo (sudahlah tidak apa-apa, Red). Hari ini khusus,” ujar pustakawan Universita­s Ciputra tersebut.

Hobi Chris berkelilin­g tempattemp­at bersejarah itu terpupuk sejak duduk di bangku SD. Dia makin giat mengelilin­gi bangunan cagar budaya tersebut setelah mendapatka­n dorongan dari Freddy H. Istanto, dekan Fakultas Industri Kreatif Universita­s Ciputra yang memprakars­ai Surabaya Heritage Society. ”Saya memberanik­an diri begitu mendapat tantangan dari Pak Freddy,” ucap alumnus SMAK Pringadi angkatan 1995 itu.

Ketika kali pertama berkelilin­g sendiri, dia memilih lokasi kota lama Surabaya di dekat Jembatan Merah. Beberapa rumah dan gedung lawas menjadi sasarannya. Sering diusir, sering juga dikira maling. Terkadang pemilik tidak nyaman rumah lawasnya difoto. Terkadang pula para satpam lebih galak daripada pemilik rumah. ”Tapi, sekarang sudah tahu caranya biar tidak dikira maling,” ucap Chris, lalu memandang ke arah Udin. Udin mengalami hal yang sama saat kali pertama mengunjung­i bangunan-bangunan lawas itu.

Menurut Chris, setiap kali memotret, hal yang harus dilakukan adalah meminta izin pemilik. Bila perlu, memuji keindahan arsitektur lawas yang masih terjaga. Jika beruntung, dia diizinkan memotret seisi rumah hingga perabotper­abotnya.

Kini aktivitas berburu tempattemp­at bersejarah jarang dia lakukan sendirian. Sudah banyak pencinta sejarah yang giat berkelilin­g Surabaya. Salah satunya, Komunitas Love Suroboyo. ”Ternyata kalau bareng-bareng lebih enak,” ucapnya.

Sebelum berpisah, Chris menyatakan rasa kecewanya. Sebab, sebelum berangkat dari rumah, dia bingung mencari payung merahnya. Payung yang selalu menemaniny­a saat berburu tempat-tempat bersejarah. Karena kebiasaann­ya itu, pencinta sejarah lain menyebutny­a Si Payung Merah. ”Makanya tadi ada orang bawa payung merah, pengen tak beli,” ucapnya, lalu melambaika­n tangan untuk berpisah. (*/c7/git)

 ?? SALMAN .MUHIDDIN/JAWA POS ?? PETUALANG SEJARAH: Chrisyandi Tri Kartika di depan Jembatan Petekan. Dia kerap blusukan ke sejumlah tempat dan mengabadik­an detail bangunan-bangunan tua tersebut.
SALMAN .MUHIDDIN/JAWA POS PETUALANG SEJARAH: Chrisyandi Tri Kartika di depan Jembatan Petekan. Dia kerap blusukan ke sejumlah tempat dan mengabadik­an detail bangunan-bangunan tua tersebut.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia