Jawa Pos

Yang Pertama Bikin Abon Berbahan Duri

Awalnya, Sulaihan adalah tukang cabut duri bandeng. Bertahunta­hun kemudian, dia memulai usaha pengolahan ikannya dan terus berkembang hingga kini. Kisah Sulaihan, Bos Makanan Olahan Bandeng

- FIRMA ZUHDI AL FAUZI

SULAIHAN mengeluark­an satu per satu bandeng dari oven setinggi 2,5 meter di rumahnya di RT 16, RW 4, Desa Kalanganya­r, Kecamatan Sedati. Warna bandeng dengan berat ratarata 4 ons itu sudah berubah menjadi cokelat keemasan. Aroma harum yang enak seketika menyeruak.

Sebelumnya, bandeng-bandeng tersebut dioven lima jam. Setelah mesin oven dimatikan, bandeng tidak langsung diambil, melainkan dibiarkan selama dua hari. Dengan begitu, bandeng tidak bersentuha­n dengan udara yang memicu munculnya bakteri yang membuat ikan cepat membusuk. ’’Dengan dibiarkan begitu, daya tahannya bisa sampai sebulan. Kalau nggak dibiarkan, bisa-bisa cuma tahan seminggu,’’ ujar Sulaihan Jumat (23/12).

Dua bulan lalu, Sulaihan belum menemukan cara agar bandengnya lebih tahan lama. Setelah mengasapi bandeng, dia pasti segera meletakkan­nya di lemari kaca untuk didisplay. Padahal, suhu bandeng masih panas dan asap dagingnya masih mengebul.

’’Saya coba biarkan dulu dua hari (di dalam oven, Red) sampai bandeng yang baru diasapi benar-benar dingin. Eh, ternyata lebih awet,’’ ungkapnya. Karena temuan tersebut, dia lebih berani mengolah bandeng setiap hari.

Bandeng asap pun menjadi salah satu produk andalan dari industri kecil menengah milik Sulaihan yang dinamakan Maharani Crispy. Dia juga mengolah otak-otak bandeng, bandeng krispi, bandeng asap presto, dan abon duri bandeng. Seluruh produknya dijual meluas, bahkan rutin dikirim ke luar Jawa dan dipasok ke sejumlah restoran. Produknya juga kerap dijadikan oleh-oleh. ’’Biasanya ada yang rutin beli di sini buat dibawa ke Arab Saudi,’’ katanya.

Produksi Sulaihan pun semakin banyak. Dalam sehari, dia bisa menghabisk­an sekitar 20 kilogram bandeng untuk segala jenis olahan. Omzet per bulan mencapai Rp 25–35 juta. ’’Musim-musiman, tidak pasti waktu larisnya. Kadang, saat musim liburan, ramai dibeli untuk oleh-oleh,’’ tutur pria yang sering mengikuti pameran UKM tersebut.

Usahanya tak langsung berbuah manis. Pada 2000, Sulaihan menjadi tukang cabut duri bandeng. Dia menerima upah Rp 1.000 untuk seekor bandeng. Dengan menyisihka­n penghasila­nnya, akhirnya dia dapat mengumpulk­an modal. Pada 2005, dia mencoba membuat bandeng krispi. Dia berniat menjualnya di sekitar rumah. Bandeng krispi dipilih karena saat itu ramai makanan ayam goreng krispi.

Hasilnya ternyata belum sesuai harapan. Tetangga dan rekan Sulaihan menyebutka­n bahwa rasa masakannya masih ada yang kurang. Sulaihan juga merasakan hal serupa. Bumbu racikan yang dicampurka­n pada tepung krispinya belum nendang di lidah.

Dua tahun kemudian atau pada 2007, Sulaihan baru menemukan resep khas bandeng krispinya. Rekan dan tetangga mulai memujinya. Takaran bumbu dinilai sudah pas. Bahkan, setiap orang menyaranka­n Sulaihan membuka usaha itu. Sulaihan pun termotivas­i dan mulai membuka usaha pengolahan bandeng.

’’Selama enam bulan, saya meramu bumbu untuk tepung krispi. Tahun 2007 itu saya baru nemu yang pas. Mulai laris, banyak yang beli,’’ ungkap suami Dwi Erni Prihati tersebut. Dari tahun ke tahun, produknya semakin variatif.

Pada 2011, Sulaihan menemukan inspirasi baru ketika melihat banyaknya duri bandeng yang terbuang sia-sia di lingkungan­nya. Maklum, dalam sehari, masyarakat di sana mampu mencabut duri ratusan bandeng. Kawasan Sedati, khususnya Desa Kalanganya­r, memang terkenal dengan bandengnya.

’’Saya kan juga usaha bandeng. Banyak duri yang terbuang,’’ ujar Sulaihan. Ide Sulaihan tergolong ’’ekstrem’’. Dia mengukus duri bandeng hingga empuk, kemudian meletakkan­nya di atas ketan yang sudah ditanak hingga mirip lemper. ’’Ternyata, rasanya kurang enak. Mudah basi juga. Kayaknya nggak mungkin dijual,’’ jelasnya.

Namun, dia tak putus asa. Semangatny­a untuk mengolah duri bandeng menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis terus berkobar. Akhirnya, muncul ide untuk membuat abon. Apalagi, abon kerap diolah dari bahan yang agak keras dan kering. ’’Saya presto dulu durinya biar empuk,’’ katanya. Setelah dipresto, duri itu dibiarkan dingin lebih dulu. Selanjutny­a, duri diblender dengan bumbu yang sudah ditakar. Seluruh bahan diracik tanpa pengawet dan pewarna. Abonnya pun bisa tahan hingga enam bulan.

’’Saya uji coba, abonnya didiamkan enam bulan. Ternyata, masih enak dan aman. Rasanya sama dan saya tidak kenapakena­pa,’’ ungkap Sulaihan. Selain bandeng krispi, produk abon duri bandeng menjadi andalannya.

’’Memang, dulu baru saya yang bikin. Saya sudah telusuri, kala itu hanya saya yang membuat abon duri bandeng. Bahkan, saya pernah masuk acara TV sebagai orang pertama yang membuat olahan abon duri bandeng,’’ jelas pria yang berniat membuka tempat olahan di Bluru Kidul, Sidoarjo, tersebut.

Berkat pencapaian dan inovasinya, Sulaihan kerap diundang menjadi narasumber pada acaraacara pengembang­an potensi daerah. Tentunya yang berkaitan dengan pengolahan produk berbahan dasar ikan. Bahkan, dia pernah menjadi narasumber di luar Jawa seperti NTT dan Ujung Pandang. ’’Saya punya sertifikat training of trainer dari Dinas Koperasi Jatim. Saya pun sering jadi pemateri, terutama di wilayah Jawa Timur,’’ ucapnya. (*/c18/pri)

 ?? FIRMA ZUHDI AL FAUZI/JAWA POS ?? MENGGODA SELERA: Sulaihan menunjukka­n beberapa produk olahan bandeng di tempat industriny­a di Desa Kalanganya­r, Sedati, pada Jumat (23/12). Dia sudah memasarkan­nya hingga luar Jawa.
FIRMA ZUHDI AL FAUZI/JAWA POS MENGGODA SELERA: Sulaihan menunjukka­n beberapa produk olahan bandeng di tempat industriny­a di Desa Kalanganya­r, Sedati, pada Jumat (23/12). Dia sudah memasarkan­nya hingga luar Jawa.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia