TKA Ilegal Bikin Khawatir
Ada Yang Buruh Kasar, KSPI Sebut Jumlahnya Mencapai Ratusan Ribu
JAKARTA – Tengara adanya serbuan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia bukan isapan jempol. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendapati bahwa jumlahnya mencapai ratusan ribu pekerja. Sebagian besar TKA dipastikan ilegal karena menjadi buruh kasar.
KSPI mendapatkan laporan ten- tang kondisi itu dari berbagai daerah. Para TKA tersebut bekerja di berbagai sektor yang selama ini ditekuni kaum buruh. Mulai sopir kendaraan berat, tukang batu, hingga teknisi. TKA ilegal itu menyebar di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Batam, dan Papua
”Temuan kami, banyak TKA asal Tiongkok yang bekerja sebagai sopir forklif, tukang batu, dan operator mesin,” kata Presiden KSPI Said Iqbal kemarin (26/12).
Said berharap pemerintah bisa menelusuri TKA ilegal itu. Bukan hanya mendata TKA legal yang berjumlah 21 ribu. ” Yang ilegal belum tercatat di Kemenaker,” imbuh dia.
Banjir TKA illegal, menurut Said, tidak lepas dari kebijakan bebas visa yang dimulai Maret lalu. Dia berharap pemerintah segera menemukan solusi untuk menyelesaikan persoalan itu. Sebab, jika kondisi tersebut berlanjut, pekerja lokal yang minim skill bisa tergusur.
Apalagi, berdasar data per Agustus 2016, masih banyak angkatan kerja yang berlatar belakang pendidikan SD-SMP. Jumlahnya 60,24 persen dari 125,44 juta pekerja. ”Kalau dibiarkan, bisa menghilangkan kesempatan kerja buruh lokal (level bawah, Red),” tutur dia.
Kalangan buruh tidak mempersoalkan kedatangan pekerja asing yang terampil atau punya skill. Sebab, para TKA itu tidak akan bekerja di sektor pekerja kasar. Selain itu, TKA terampil ( skilled worker) sudah diatur dalam Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Juga, secara teknis telah diatur dalam keputusan menteri ketenagakerjaan.
Berdasar aturan itu, pekerja asing yang diperbolehkan minimal menduduki posisi tenaga ahli. Mereka bisa bekerja di industri pengolahan, pertanian, kehutanan, dan perikanan. Setiap badan atau instansi yang mempekerjakan TKA mesti mengurus izin di Kemenaker. ”TKA skilled worker yang bekerja di Indonesia harus didampingi satu orang pekerja lokal,” jelasnya kepada Jawa Pos.
Sayang, kekhawatiran KSPI itu kurang mendapatkan respons yang semestinya dari Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri. Dia menegaskan, persoalan TKA sejatinya tidak perlu diperdebatkan. Sebab, penggunaan TKA sudah diatur dalam perundang-undangan. Mulai syarat izin kerja, tinggal, hingga pendidikan yang sesuai jabatan, kompetensi, jabatan yang diduduki, dan alih teknologi. Pemerintah juga memiliki sistem kendali yang ketat terkait dengan penggunaan TKA. Soal KSPI menemukan jumlah TKA yang begitu banyak tidak menjadi perhatian Menaker.
Sementara itu, pengamat ekonomi Enny Sri Hartati mengingatkan pemerintah agar tidak menganggap remeh dugaandugaan yang beredar di masyarakat. Menurut dia, masyarakat tidak mempermasalahkan tenaga kerja asal Tiongkok yang berjumlah 21 ribu. Sebab, itu adalah tenaga kerja legal. ” Yang dipermasalahkan adalah yang ilegal,” ujarnya kemarin.
Memang tidak mudah mendeteksi tenaga kerja ilegal asal Negeri Panda. Namun, kenyataannya, mereka ada dan bekerja di Indonesia. Tidak perlu sampai jutaan. Ribuan saja, bila memang ilegal, tentu menjadi masalah. Lebih sensitif lagi, TKA ilegal itu bekerja di sektor yang tidak memerlukan keahlian khusus. Padahal, di saat yang sama stok tenaga kerja jenis itu melimpah di Indonesia.
”Saran saya, pemerintah sebaiknya melakukan pendataan pada industri-industri yang ada saat ini,” lanjutnya. Dari situ, diharapkan bisa diketahui industri yang memenuhi ketentuan ketenagakerjaan dan yang tidak.
Kemenaker, papar dia, sudah memiliki regulasi mengenai kriteria TKA yang boleh bekerja di Indonesia. Salah satunya, TKA memiliki keahlian di bidang tertentu. TKA untuk pekerjaan kasar tidak diizinkan di Indonesia.
Dia juga menyarankan peninjauan ulang kebijakan bebas visa. Jangan sampai kebijakan tersebut disalahgunakan pencari kerja dari luar negeri untuk bekerja di Indonesia. Menurut Enny, masih ada cara yang bisa dilakukan untuk menggenjot kunjungan wisatawan mancanegara di luar membebaskan visa.
Untuk membuktikan penyalahgunaan kebijakan bebas visa itu, pihak imigrasi tinggal mengecek jumlah kunjungan turis bebas visa ke Indonesia. Apakah sama antara jumlah yang masuk dengan yang keluar sesuai tenggat. Bila yang keluar lebih sedikit, patut dicurigai.
Enny juga masih mempertanyakan motivasi perusahaan yang mempekerjakan TKA ilegal. Apakah memang upah TKA itu lebih murah atau ada faktor lain. ”Kalau upahnya di sini lebih tinggi dari UMP, misalnya, tentu secara bisnis tidak menguntungkan,” tambahnya. (tyo/jun/ byu/c11/ang)