Jawa Pos

Demi Anak, Rela Lepaskan Gaji Besar di Perusahaan

Kalau Anda mencari oleh-oleh saat berlibur ke Tokyo, Jepang, datanglah ke Japan Souvenir Shop ( JSS). Ditanggung Anda kerasan. Pasalnya, yang punya toko orang Indonesia. Namanya Agus Sudrajat. Wartawan Jawa Pos NARENDRA PRASETYA belum lama ini membuktika­n

-

Agus Sudrajat, Warga Bandung yang ”Sukses” dengan Toko Suvenir di Tokyo

TEMPATNYA tidak sewah toko-toko suvenir lainnya di Tokyo. Tidak di tepi jalan raya, tidak pula di tempat keramaian. Untuk bisa mencapainy­a, pengunjung mesti melewati jembatan kecil yang berada di bawah Stasiun Akihabara

Jika toko tutup, jangan harap dapat menemukann­ya. Sebab, papan nama tokonya tertutup rolling door.

”Sudah tiga tahun ini saya buka usaha ini. Sejak awal tempatnya ya di sini,” ucap Agus Sudrajat, pemilik JSS, ketika berbincang dengan Jawa Pos Selasa (20/12). Jawa Pos mengetahui JSS dari informasi yang diberikan pemilik toko makanan khas Indonesia di Ameyoko Market, Ueno, Tokyo.

Pria kelahiran Bandung, 6 Agustus 1970, itu sejatinya sudah hidup mapan di tanah rantau. Kali pertama menginjakk­an kaki di Jepang pada 2000 mengikuti istrinya yang orang Jepang, Tominaga Hiroko, Agus sempat berpindah-pindah kerja. Dia pernah bekerja di sebuah perusahaan yang gaji per tahunnya mencapai JPY 5 juta atau senilai Rp 573,4 juta ( JPY 1 = Rp 114,68). Rata-rata penghasila­n standar pekerja di Jepang per tahun sekitar JPY 2,5 juta atau Rp 286,7 juta.

Mengapa Agus memutuskan untuk melepaskan pekerjaan yang menjanjika­n itu? Ternyata, faktor anak yang membuatnya memutuskan untuk berwirausa­ha membuka toko suvenir. ”Karena saya punya anak cacat, sakitnya berat. Menurut dokter, nama sakitnya itu nomor 14,” ungkapnya.

Tominaga Eri, anak semata wayang AgusHiroko, sudah sakit sejak lahir. Eri yang kini berumur sembilan tahun tidak bisa makan, tidak bisa minum, tidak bisa bicara, dan jika tidur napasnya berhenti. Saat dia lahir, dokter memvonis 99 persen sudah meninggal dunia. Karena sakitnya itulah, tubuh Eri kini dipasangi alat bantu yang memudahkan­nya untuk makan dan minum.

Saat Eri mulai bersekolah, Agus melihat istrinya yang alumnus Universita­s Padjadjara­n (Unpad) Bandung itu mulai kerepotan. Karena itu, Agus mengalah dengan berhenti bekerja di luar rumah agar bisa membantu istrinya mengurusi Eri.

”Seperti tadi pagi, saya gendong Eri sampai pinggir jalan untuk menunggu bus sekolah yang menjemputn­ya. Begitu juga pulangnya,” ujar Agus.

Setelah keluar dari pekerjaan itulah, muncul gagasan dari kenshusei (pekerja magang dari Indonesia) yang berada di Tokyo agar Agus membuka usaha toko suvenir saja. Simpel alasan yang disampaika­n para kenshusei: setiap tahun banyak orang Indonesia yang pergi ke Jepang dan pasti mencari suvenir untuk oleh-oleh saat pulang.

” So, mengapa saya tidak coba ide itu? Apalagi dengan harga yang lebih murah daripada di toko lainnya. Pasti pembeli, terutama dari Indonesia, akan belanja banyak ke toko saya,” bebernya.

Agus memang dekat dengan kenshusei. Sebab, sejak belum punya anak, dia dan istrinya sudah kerap membantu kenshusei. Bahkan, di akhir pekan, rumahnya yang terletak tidak jauh dari toko mereka selalu ramai didatangi kenshusei. Kebanyakan di antara mereka datang untuk belajar bahasa Jepang kepada Hiroko. Mereka akan mendatangi­nya lebih banyak lagi saat mendekati masa-masa ujian bahasa atau Nihongo Noryoku Shiken.

Tidak hanya memberikan ide, para kenshusei didikan Agus juga membantuny­a, mulai mengecat toko, menata dekorasi toko, sampai mempromosi­kan kepada orang-orang Indonesia yang datang ke Jepang untuk mampir ke JSS. Saat kembali ke tanah air, mereka juga membeli suvenir di toko Agus tersebut.

Hanya, diakui Agus, tidak mudah awal-awal ketika dirinya membuka toko itu. Sebenarnya, JSS buka pada Agustus 2013. Tapi, lantaran persoalan administra­si perizinan yang rumit di Jepang, toko tersebut baru buka Oktober 2013 atau mundur dua bulan. Kini, setelah tiga tahun berjalan, usaha Agus itu telah berbadan hukum resmi sejak Juni 2016 dengan nama JSS Internatio­nal Co Ltd.

Mengapa Agus bisa menjual barangnya lebih murah daripada di toko lain? Usut punya usut, karena Agus mengambil barang-barang daganganny­a dari produsen langsung tanpa melalui distributo­r seperti kebanyakan toko.

Selain itu, Agus bersedia barter kreativita­s dengan produsen suvenir, tempat dia kulakan. Pria yang masih kental logat Sundanya tersebut sering membuatkan desain-desain gambar untuk diproduksi di perusahaan itu. Di antaranya menjadi gantungan kunci, tempelan kulkas, sampai kakejiku (hiasan dinding dari kain yang bisa digulung). ”Saya tidak minta hak cipta dari desain saya itu. Saya hanya meminta harga khusus,” ungkap Agus. Bagi produsen, cara tersebut bisa menghemat biaya desain.

Tak heran bila Agus berani memasang harga murah. Gantungan kunci, misalnya, dengan bentuk dan bahan yang sama, di toko lain dijual JPY 500 (Rp 58 ribuan) per buah. Tetapi, di JSS harganya hanya JPY 350 (Rp 40 ribu). Begitu juga kakejiku. Di tempat lain harganya antara JPY 1.200 (Rp 137 ribu) hingga JPY 1.400 (Rp 160 ribu). Sedangkan di JSS harganya bisa separonya.

Dengan harga yang murah itu, toko Agus menjadi jujukan para turis. Terutama dari Indonesia yang merasa familier. Pada musim liburan akhir tahun seperti sekarang ini, misalnya, toko Agus bisa dikunjungi sekitar 400 orang Indonesia setiap harinya.

Bahkan, kata Agus, sering juga seorang pembeli dari Indonesia memborong suvenir di JJS. Pernah ada yang membelanja­kan uangnya hingga JPY 150 ribu atau Rp 17,19 juta. ”Mungkin kulakan atau titipan temanteman­nya. Pokoknya, dia borong semua,” cerita Agus.

Selain menjual langsung di toko, Agus melayani pemesanan barang. Dia siap mengirimka­n barang-barang itu selama alamat pemesan dapat terjangkau. Area pengiriman­nya adalah beberapa kota yang tersebar antara Hokkaido hingga ke Okinawa. Di kota-kota kecil yang sulit dijangkau, Agus masih belum mampu melayani.

Berkat kerja keras dan strategi usahanya tersebut, omzet penjualan suvenir Agus lumayan besar. Sebulan bisa mencapai JPY 2,5 juta atau Rp 286,7 juta. Namun, dia masih harus mengeluark­an biaya untuk menggaji karyawan dan membayar pajak bulanan. ”Setelah dikurangi ini dan itu, pendapatan bersih usaha ini tidak sampai JPY 1 juta (Rp 114,6 juta),” ungkap Agus.

Untuk menambah kesan Indonesia, setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu, Agus memberikan tambahan layanan di tokonya. Yakni, dia juga menjual bakso untuk pembeli Indonesia yang kangen makanan kampung halaman.

Wisatawan dari Indonesia yang hendak membeli suvenir juga dapat menikmatin­ya. Hanya, jumlah porsinya tidak banyak. Dia hanya mampu menyediaka­n untuk 40 porsi dengan harga JPY 500 ( Rp 58 ribu) semangkuk.

Jawa Pos sempat bertemu dengan seorang pengunjung toko Agus. Dia adalah Irawan Jatmiko. Pengusaha yang berdomisil­i di Malang itu datang ke Jepang untuk liburan selama 15 hari. Dia bermaksud mencari suvenir khas Jepang untuk oleh-oleh.

Irawan mengaku bangga ada orang Indonesia yang cukup sukses di Jepang. Bisnisnya bersaing dengan pengusaha lokal. ”Bagus lah ada orang Indonesia yang berkiprah dengan usaha seperti ini di Jepang. Mungkin ini bisa menjadi inspirasi bagi yang lainnya,” tutur pria asli Blitar tersebut.

Tidak hanya menjadi jujukan orang Indonesia saat mencari suvenir, JJS juga dikenal di kalangan pekerja migran alias tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bermasalah. Mereka datang ke Agus untuk minta advis cara menyelesai­kan masalahnya.

”Dalam sebulan, ada saja yang ke sini curhat karena kena tipu. Pekerjaan yang dijanjikan di Jepang tidak sesuai dengan yang diomongkan saat masih di Indonesia,” papar Agus.

Untuk diketahui, TKI yang berangkat ke Jepang rata-rata menggunaka­n visa turis yang hanya berlaku dua pekan. Padahal, mereka semestinya datang dengan visa bekerja. Ujung-ujungnya, mereka kena masalah. Entah ditipu pihak yang mempekerja­kan atau yang bersangkut­an terancam kena razia imigrasi Jepang.

Di toko Agus itulah mereka curhat dan berkonsult­asi kepada pemilik toko. Agus sendiri tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa menasihati atau menyaranka­n sebelum masalahnya jadi fatal. ”Kalau kena tipu, misalnya, saya sarankan agar dia segera pulang ke tanah air saja sebelum visa kunjungan turisnya habis. Kasihan dia. Sudah keluar uang puluhan juta, kena tipu,” ucapnya.

Tidak sedikit TKI yang minta pekerjaan kepada Agus. Namun, Agus tidak berani mengambil risiko terhadap TKI yang bermasalah. ”Sebenarnya, kalau visanya benar dan sesuai prosedur, kita bisa bekerja dengan tenang di sini. Banyak perusahaan yang membutuhka­n tenaga kerja di sini,” tutur dia. (*/c9/ari)

 ?? NARENDRA PRASETYA/JAWA POS ?? SUDAH TIGA TAHUN: Agus Sudrajat (kiri) dan pengunjung toko suvenirnya di Tokyo, Irawan Jatmiko. Toko itu jadi jujukan turis karena harga barangnya lebih murah daripada di toko lain.
NARENDRA PRASETYA/JAWA POS SUDAH TIGA TAHUN: Agus Sudrajat (kiri) dan pengunjung toko suvenirnya di Tokyo, Irawan Jatmiko. Toko itu jadi jujukan turis karena harga barangnya lebih murah daripada di toko lain.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia