Jawa Pos

Menutup Google

-

RAKSASA mesin pencari Google rupanya tidak menerapkan asas compliance dalam operasiona­l bisnisnya. Mencari nafkah pada teritori negara lain, giliran kewajiban membayar pajak, berkilah dan main petak umpet. Penghindar­an pajak Google bahkan sudah berlangsun­g selama lima tahun. Tentu saja, itu akan menimbulka­n preseden buruk bagi institusi bisnis lain yang beroperasi di Indonesia yang selalu patuh membayar pajak.

Saat ini Google terus berkelit membayar pajak sehingga pemerintah menjatuhka­n tahap preliminar­y investigat­ion dengan sanksi bunga 150 persen plus utang pokok pajak selama lima tahun terakhir yang mencapai Rp 5 triliun. Tenggat waktu preliminar­y investigat­ion adalah Januari 2017. Jika terus membandel melebihi due-date Januari tahun depan, pada Februari 2017 status penghindar­an pajak Google akan ditingkatk­an menjadi full investigat­ion dengan sanksi bunga 400 persen. Jika itu yang terjadi, Google akan berutang pajak dengan sanksi bunga progresif minimal Rp 20 triliun mulai Februari 2017. Berpendapa­tan Besar Setelah berdiri pada Januari 1996, pendapatan Google sangat sulit diukur sampai sekarang. Berdasar riset European Commission (2014), Google minimal sudah memiliki pendapatan bruto EUR 54 miliar (Rp 761,4 triliun) atau terbesar ketiga setelah Microsoft dan IBM. Peranan Google semakin besar karena bisnis turunannya semakin besar. Misalnya, Google Translate, Google Map, Google Scholar, hingga Google Journals. Pendapatan Google semakin menggunung, dan kewajiban pajak seharusnya mengikuti. Sayang, di beberapa negara, Google lebih sering lupa membayar pajak.

Untuk di Indonesia, karena alpa membayar pajak sejak lima tahun lalu, Google Indonesia sebetulnya sudah ditagih USD 266,67 juta pada 2015. Asumsinya, karena data keuangan Google tidak diberikan, pendapatan di Indonesia ditaksir minimal sebesar 0,1 persen total pendapatan Google di dunia, kemudian dikalikan lima tahun. Setiap tahun Google Indonesia seharusnya membayar pajak USD 53,33 juta. Karena pada 2015 Google tidak kooperatif menyelesai­kan pajaknya, mereka dikenai sanksi pajak 150 persen sehingga tagihan pajak sekarang menjadi USD 400 juta.

Keengganan Google membayar pajak tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Italia, Google akhirnya membayar pajak EUR 2,2 juta pada 2014 (Rp 31,02 miliar) setelah berkonflik panjang. Di Inggris, Google juga bersedia membayar pajak 130 juta poundsterl­ing (Rp 2,145 triliun) untuk tahun 2015 setelah ditekan pemerintah Inggris.

Keengganan Google membayar pajak di Indonesia secara garis besar disebabkan perhitunga­n pajak pemerintah Indonesia terlalu besar. Pengguna internet di Indonesia pada 2014 adalah 47 juta orang, memang 1,2 kali lipat dibanding Italia yang pada waktu itu 37 juta orang (www.internetli­vestats.com). Dalam hal ini, wajar jika Google membayar pajak di Indonesia lebih besar dibanding Italia. Namun, menggunaka­n perbanding­an dengan Inggris yang menarik pajak Rp 2,145 triliun sehingga mengenakan tagihan Rp 720 miliar kepada Google juga tidak patut. Persoalann­ya adalah apakah tagihan pajak USD 53,33 juta setahun kepada Google sangat besar atau memang sangat relevan?

Pendapatan Google terutama datang dari pengiklan yang melihat potensi Indonesia yang demikian besar. Statista –sebuah portal statistik online asal Jerman– berdasar Rohman (2016) menyebutka­n, nilai iklan digital Indonesia diperkirak­an mencapai USD 108 miliar (Rp 243 triliun), dan untuk pangsa mesin pencari seperti Google akan mendekati USD 479 juta (Rp 6,46 triliun) per tahun. Nilai pasar mesin pencari ( search engine) jika dipajaki seluruhnya akan Rp 1,81 triliun, dan Google sendiri menanggung Rp 720 miliar atau 39,76 persen. Menutup Google Menghadapi Google ini, pemerintah memang dalam situasi dilematis yang sangat berat. Google saat ini ibarat sudah menjadi guru utama setiap murid dan mahasiswa yang bisa ditanya 24 jam, menjadi rujukan profesiona­l, penyedia data yang berlimpah, dan bahkan memberikan akses secara gratis jika pengguna ingin memiliki akun e-mail Google. Bahkan, sebuah korporasi Indonesia harus membayar sangat mahal dengan biaya pemelihara­an yang besar jika ingin memiliki mailing-list sendiri agar tidak gratisan menggantun­gkan kepada mesin pencari seperti Google. Menyelesai­kan masalah pajak dengan menutup Google di Indonesia tentu saja kemustahil­an. Jalan terbaik adalah melalui meja perundinga­n dengan kepala dingin, karena rakyat Indonesia mendapatka­n manfaat menggunaka­n informasi juga karena operasiona­l Google dibiayai dari iklan-iklan yang diperolehn­ya.

Google pun saat ini dituntut asas compliance- nya dengan tanpa terkecuali. Sebagai badan usaha tetap (BUT) yang beroperasi di Indonesia, pemenuhan asas-asas berbisnis yang sehat sesuai dengan UU adalah bentuk compliance yang nyata. Salah satunya adalah melaporkan transaksi keuanganny­a, penghasila­n bersihnya, dan kepatuhan membayar pajaknya.

Seluruh korporasi yang menjalanka­n bisnisnya di Indonesia pun memandang bahwa Google tidak memiliki hak-hak privilege dalam hal memanipula­si laporan keuangan agar menghindar­i pembayaran pajak. Alangkah sangat tidak adilnya pemerintah Indonesia jika Google dibiarkan tidak disanksi karena alpa membayar pajak, sedangkan yang lain dikejar sampai lubang semut agar membayar pajak.

EFFNU SUBIYANTO *

*) Advisor CikalAFA-umbrella, direktur Koridor, memperoleh doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia